Agama | ||||
Berikut adalah karya tulis Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc. yang berkaitan dengan masalah agama dan kehidupan beragama. | ||||
|
1. KARIKATUR NABI MUHAMMAD, KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN MULTIKULTURALISME Kariktur bertuliskan Nabi Muhammad yang dimuat dalam Majalah Jylland Posten, Denmark, beberapa minggu yang lalu, sangat menghebohkan. Reaksi dan protes bermunculan baik dari dunia Islam maupun dari umat beragama lain di dunia. Kita hampir dibuat tidak percaya dengan reaksi spontan yang dianggap ”sangat berlebihan” terhadap pemuatan karikatur itu, sehingga menimbulkan kerusakan gedung Kedutaan Besar Denmark dan negara Barat lainnya. Penutupan sementara kedutaan besar negara tersebut di Iran, Suriah, Pakistan, Libya, Sudan, Nigeria, Turki, Indonesia dan negara lainnya tak terhindarkan. Kemarahan tersebut tidak mereda sebaliknya seakan -- direncanakan -- ”api disiram bensin,” ketika seorang Menteri Italia secara demontratif mempertunjukkan karikatur pada T shirt yang ia pakai bukan di negaranya sendiri, tapi disalah satu kota di Libya. Kasus berturutan hanya senjang tiga hari itu menelan puluhan jiwa korban dan luka-luka. Mengapa Kemarahan Meledak? Karikatur, yang menimbulkan reaksi spontan dan dianggap berlebihan” itu, menampilkan tidak saja wajah lengkap ”seseorang” bertuliskan Muhammad -- yang merupakan larangan dalam Islam (religious restriction) untuk mengekspresikannya ke dalam bentuk apapun -- tetapi juga bentuk ”wajah” dengan kepala berkapiye (sorban yang digunakan para pejuang Pelestina) terselip sebuah bom. Karikatur itu juga berbentuk – maaf sebesar-besarnya -- seekor hewan yang diharamkan dalam ajaran Islam, dan tertulis Muhammad sedang menginjak al-Qur’an. Andaikata, karikatur itu hanya menampilkan wajah sesuai dengan kaedah pembuatan sebuah karikatur, kemarahan itu mungkin tidak akan meledak sehebat itu. Perlakuan seperti itu terhadap orang biasa saja yang mereka hormati, jangankan terhadap nabi atau rasul, akan menimbulkan kesedihan besar. Kebebasan Berekspresi dan Multikulturalisme. Kebebasan berekspresi dan multikulturalisme merupakan dua wajah dalam mata uang yang sama, dapat dibedakan tapi sulit dipisahkan. Mereka berjalan paralel sebagai suatu prinsip demokrasi. Salah satu unsur seharusnya memperkuat dan sebaliknya tidak boleh melemahkan atau menjegal yang lain. Kedua unsur di atas, yang telah dimasukkan oleh sebagian terbesar negara demokratis ke dalam peraturan perundang-undangan mereka, tampaknya bukan barang baru, demikian juga di Indonesia. Sebagai konsekuensi dari masyarakat majemuk (plural socienty) dan demokratis, kebebasan berekspresi dan multikultural – yang kebanyakan ilmuwan sosial menganggap unsur kedua in sebagai ideologi (Suparlan, 2001) -- telah ada lebih dari 1400 tahun lalu dalam masyarakat Madani yang didirikan oleh Nabi Muhammad di Madinah melalui sebuah traktat dengan nama yang sama. Kemajemukan itu terdiri dari berbagai suku atau kelompok etnis, seperti Arab, Persia, Yunani, Yahudi; berbagai kabilah atau anak suku, dan kelompok-kelompok pengembala dan pengembara lainnya; serta berbagai agama, seperti Islam, Kristen, Yahudi, agama suku, agama Sarahudza, animisme, dan sebagainya. Sebagai konsekuensinya, masyarakat di situ telah berkarakter multikultural yang menerima, menghargai, menghormati perbedaan yang mungkin timbul, seperti pendapat, pemikiran, nilai budaya, tradisi, ajaran agama, ideologi, dan apa saja dimiliki kelompok lain, walaupun berbeda. Belakangan kondisi ini disebut multikulturalisme. Dilain fihak, tiap kelompok etnis, sub etnis; dan penganut agama diijinkan untuk hidup, berkembang, mengurus, berpendapat, melakukan sesuatu, dan mengemukakan apa saja yang baik bagi perkembangan diri mereka sendiri – yang sekarang dikenal dengan kebebasan berekspresi -- sepanjang tidak menganggu keberadaan dan kepentingan orang atau kelompok lain. Akan tetapi, gaung dan popularitas dari prinsip dan ideologi tersebut lebih menjulang, dan pelaksanaan keduanya lebih mengikat, terutama setelah PBB, AS dan Uni Eropah mengaitkan mereka dengan persyaratan bagi Dunia Ketiga untuk dikategorikan sebagai negara demokrasi dan ingin mendapatkan ”bantuan” -- kalaupun tidak mau disebut pinjaman mengikat – dari, dan menjalin hubungan ”baik” dengan dan ”dilindungi” oleh mereka. Dalam kehidupan sehari-hari kebebasan berekspresi dan multikulturalisme merupakan dua dari beberapa katup pengaman dalam mengelola konflik dan kekerasan di dalam jaringan demokrasi (Harris dan Reiley, 2000). Multikulturalisme dan kebebasan berekspresi masing-masing merupakan salah satu dari beberapa ciri dan persyaratan penting demokrasi. Negara-negara industri maju (NIM) khususnya negara-negara Barat, menempatkan demokrasi tidak saja sebagai sistem pemerintahan (system of government) tetapi juga sebagai sistem kehidupan (system of life) atau cara hidup (way of life). Dengan segala cara, mereka menginginkan demokrasi sebagaimana diharapkan pada sistem pertama dapat segera dipraktekkan di negara-negara Dunia Ketiga. Pada sistem kedua, sering terjadi kontradiksi antara ideologi multikulturalisme yang lebih menekankan pada kewajiban menghargai perbedaan, sehingga melahirkan toleransi, disatu fihak, dengan salah satu dari persyaratan demokrasi yang lebih menekankan pada kebebasan sehingga tidak toleran dan, menimbulkan perbenturan, dilain fihak. Kontradiksi ini bertambah melebar, karena Barat yang menyebarkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan sering memiliki standar ganda dan tidak adil terhadap negara Dunia Ketiga. Multikulturalisme mengandung karakter yang menekankan pada kewajiban untuk menerima konflik atau perbedaan sebagai suatu realitas kehidupan (Fisher, dkk, 2000), artinya menerima, memahami, menghargai, dan menghormati baik pendapat, ide, cara pandang (perspectives), dan karya orang atau kelompok lain maupun nilai budaya, adat istiadat, kebiasaan, ajaran agama dan bahasa kelompok atau bangsa lain kendatipun berbeda. Karakter multikultural diharapkan dapat menciptakan hubungan saling hargai menghargai dan hormat menghormati dengan prinsip perbedaan dalam kesederajatan dan memperlakukan semua sisi kebenaran secara merata. Demokrasi memberikan kebebasan yang lebih besar kepada warga negara untuk melakukan apa yang menjadi hak sebagai konsekuensi dari telah dipenuhinya kewajiban mereka, seperti antara lain kebebasan untuk berpendapat, kebebasan berkreasi, kebebasan berekspresi dan sebagainya. ”Kebebasan” dan hak warga negara yang dilidungi oleh hukum berdasarkan kedudukan demokrasi sebagai sistem kehidupan atau cara hidup ini tampaknya sering menyumbat katub pengaman dalam mengelola konflik dan kekerasan di dalam jaringan demokrasi. Hal ini menyebabkan resolusi konflik sulit diperoleh sehingga kekerasan sulit dihindarkan. Kekurangan yang sering timbul pada sistem demokrasi Barat yang menekankan pada persaingan bebas dan kebebasan individu terlalu besar adalah bahwa negara tidak mampu mengerem dan ikut campur tangan terhadap kebebasan itu, karena kebebasan individu adalah persyaratan utama demokrasi, dan ia telah diatur dan dilindungi hukum. Kasus karikatur Nabi Muhammad membuktikan kontradiksi yang tidak terhindarkan dalam demokrasi sebagai sistem kehidupan antara penekanan pada hak kebebasan individu untuk berekspresi dengan kewajiban menerima dan menghargai perbedaan. Kontradiksi tersebut cenderung menimbulkan Gangguan komunikasi (distorted comunication) Barat - Timur yang bukan semata-mata disebabkan, sebagaimana diperkirakan oleh Habermas (1990), oleh perbedaan ideologi dan ideologi itu sendiri, tetapi lebih oleh penerapan keliru terhadap demokrasi baik oleh karakter standar ganda maupun oleh kedudukan demokrasi sebagai sistem kehidupan: kesenjangan antara penerapan yang berlebihan pada hak kebebasan individu -- terutama berekspresi -- dengan kewajiban menghargai perbedaan. Kesenjangan yang menimbulkan hubungan tidak harmonis, saling curiga mencurigai dan kekecewaan Dunia ketiga terhadap NIM, paling tidak disebabkan oleh dua faktor. Pertama adalah faktor individu dan komunikasi. Intensifnya komunikasi melalui media cetak maupun elektronik -- TV dan radio-- tentang Barat telah menambah cakrawala, wawasan dan pengertian bangsa Timur terhadap Barat. Sebaliknya, kondisi seperti itu tidak terjadi di Barat. Tidak sedikit orang Barat kurang memahami Timur. Apa yang diperlihatkan oleh media komunikasi di Barat, AS dan Eropah, tentang Dunia Ketiga tidak lebih dari kasus-kasus kemiskinan dan perang. Pertanyaan mereka tentang apakah Indonesia terletak di Pulau Bali, membuktikan pernyataandi atas. Ini diperburuk dengan fakta bahwa kebanyakan orang Barat tidak pernah melihat dan mendengar serta tidak perlu tahu tentang Indonesia. Kedua terletak pada karakter standar ganda Barat dalam mana pemahaman demokrasi sebagai sistem pemerintah lebih dilihat effektivitasnya ketika dikaitkan dengan kepentingan ekonomi dan politik mereka. Intervensi meliter dan politik yang menghancurkan Irak, kasus nuklir Iran, persepsi mereka terhadap kemenangan Hamas, dan banyak lagi lainnya, membuktikan standar ganda itu. Campur tangan pemerintah terhadap kasus penghinaan lewat karikatur kepada warga negara mereka lebih dapat dijelaskan dengan karakter standar ganda ini juga.
Syarif Ibrahim Alqadrie, Visiting Profesor Nordic Institute of Social Science (NIAS), Copenhagen, Denmark, dan Tenaga Pengajar UNTAN, Pontianak
2. MESIANISME DALAM MASYARAKAT DAYAK DI KALIMANTAN BARAT[1] Keterkaitan antara Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi Syarif Ibrahim Alqadrie2PendahuluanKebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dengan agama atau sistem kepercayaan (believe system). Kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa sering melahirkan suatu agama atau sistem kepercayaan tertentu. Sebaliknya suatu sistem kepercayaan tertentu yang dianut oleh mayoritas penduduk di suatu tempat merupakan manifestasi dari sistem budaya yang berlaku di situ atau paling tidak memiliki kesesuaian dengan sistem nilai yang dianut oleh penduduk yang bersangkutan. Sebagai contoh, sistem kepercayaan (agama) Shinto (Shintoisme) dan Kong Hu Cu (Confusionisme) dilahirkan msing-masing oleh budaya Jepang dan Cina. Demikian pula Hinduisme India mencerminkan nilai budaya dari masyarakat India yang berkasta dan nilai budaya mayoritas penduduk India tersalur ke dalam Hinduisme. Kristianisme, khususnya Protestanisme, hampir tidak dapat dipisahkan dengan budaya Barat, paling tidak sebagai dinyatakan secara tidak langsung di Amerika Serikat (AS) [Hunter, 1984]. Selain kedudukan yang unik sebagaimana dikemukakan di atas, sistem kepercayaan memainkan peranan yang penting di negara-negara sedang berkembang, khususnya dalam periode perjuangan nasional merebut kemerdekaan dan konslidasi. Pada periode-periode tersebut, sistem kepercayaan memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam menciptakan kesatuan, persatuan dan solidaritas kelompok yang pada akhirnya mampu menciptakan atau memperkuat potensi bangsa dalam perjuangan melawan kekuasaan penjajahan. Agama juga melahirkan kekuatan moral baru yang menampilkan sikap anti-kolonialisme dan anti-imperealisme dalam segla bentuk (Alqadrie, 1987b). Peranan agama tidak semata-mata sebagai kekuatan yang menciptakan suatu kesatuan maupun yang menghasilkan konflik, tetapi juga sebagai suatu kekuatan yang cenderung mendukung sosial order atau status quo (Durkheim, 1975; parsons, 1964; Billings, 1988). Agama bahkan merupakan kekuatan pemprotes, penentang dan pendobrak ketidakbenaran dan ketidakadilan (Ellen, 1983; Ismael, 1982). Uraian di atas menunjukan bahwa peranan agama meciptakan kondisi atau sikap pasif atau tidak kreatif (pasivism and quiescence) maupun menampilkan sikap aktif dan kreatif (activism and creative characters) [Weber, 1976]. Di samping aspek-aspek religius atau teologis dan ideologis, agama atau sistem kepercayaan juga mengandung aspek-aspek sosial dan kemasyarakatan, sehingga agama mempunyai dampak dan hubungan timbal balik dengan masyarakat. Ini berarti bahwa agama mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya masyarakat mempengaruhi agama (McGuire, 1981:3). Bilamana pandangan semacam ini dikaitkan dengan sistem kepercayaan nenek moyang dalam masyarakat Dayak di pedalaman Kalbar, ada semacam persepsi umum bahwa keprcayaan itu tidak saja mengandung unsur hubungan timbal balik dengan sistem nilai budaya mereka, tetapi juga mempengaruhi atau mewarnai sistem ekonomi dan sistem pertanian kehutanan (agro-forestry system) yang mereka anut. Jawaban non-fisik yang lebih bersifat keagamaan dari kelompok yang menghancurkan sistem ekonomi pertanian tersebut menghasilkan mesianisme.
Beberapa Pengertian MesianismeMesianisme dapat dipandang sebagai gerakan sosial. Gerakan sosial tidak selamanya berbentuk partai politik, organisasi massa, kesatuan akasi, atau gerakan separatis. Gerakan sosial itu dapat juga berbentuk kritik dan reaksi sosial jangka panjang yang dilancarkan suatu kelompok tertentu-sering terjadi pada kelompok etnik tidak dominan-terhadap tekanan dan ketidakadilan yang dilakukan kekuasaan dari luar atau kelompok sosial yang mendominasi sebagaimana terjadi pada masyarakat Syi’ah (Cole dan Nikkie, 1986) dan masyarakat pedalaman Jawa yang dikenal sebagai gerakan Ratu Adil (Bruinessen, 1992:20). Mesianisme pada awalnya berkembang dalam masyarakat berbudaya Kristen Barat, yaitu sebagai protes dan oposisi dari suatu sekte terhadap Gereja dan usaha untuk memisahkan diri, karena gereja terlau kaku dan telah kehilangan semangat aslinya (Troeltsch, 1931; lihat juga Taufik Abdullah, 1979:41:78). Dua macam aliran atau gerakan dalam budaya Kristen Barat yang berkaitan dengan protes sosial ini adalah sekte dan denominasi. Milton Yinger (1957:147:155) membedakan bahwa sekte yang lahir sebagai protes sosial cenderung bertahan sebagai sekte dan tetap terpisah dari kelompok dominan mayoritas (main stream), sedangkan sekte yang lebih menitik beratkan pada permasalahan moral pribadi cenderung menjadi denominasi. Dengan membangun tipologi yang lebih luas, tidak tergantung pada konteks budaya Kristen Barat tetapi berdasarkan pada sikap sekte yang bersangkutan terhadap realitas di sekitarnya, Bryan Wilson {1961} mengklasifikasi tujuh tipe ideal sekte. Tipe ideal ini tampaknya terwakili oleh gerakan sosial di Indonesia pada umumnya dan dalam masyarakat Dayak pada khususnya. Tipe pertama adalah sekte Conversionist yang diarahkan pada perbaikan moral individu. Kegiatan utamanya adalah mengkonversi atau mentobatkan orang, karena dunia menjadi baik kalau moral individu diperbaiki. Contoh sekte ini dalam Dunia Barat ialah Bala Keselamatan, di Dunia Islam Jamaati Tabligh. Kedua adalah tipe revolusioner yang mengharapkan perubahan masyarakat secara radikal agar manusia menjadi baik dan dunia bersih dari ketidakadilan. Contoh dari gerakan ini adalah mesianistik yang menunggu dan mengharapkan kedatangan seorang mesiass, Ratu Adil, dan sebagainya, dan gerakan millenarian yang mengharapkan kehadiran kembali zaman keemasan. Gerakan ini secara tidak langsung merupakan kritik sosial, ekonomi dan politik terhadap status quo dan kemapanan. Ketiga disebut sekte introversionist yang memusatkan keselamatan rohani para anggota sendiri ketimbang pada usaha perbaikan dunia sekitarnya. Salah satu contoh dari gerakan mesianistik yang telah menjadi gerakan introversionist adalah Gerakan Samin di Jawa. Keempat adalah gerakan manipulationist atau gnostic (berma’rifah) yang mirip sekte dengan sekte introversionist, namun gerakan ini memiliki kekuatan ilmu yang khusus dan metode yang lebih baik untuk mencapai tujuan. Untuk menjadi anggota gerakan ini diperlukan proses tapa dan sistem bai’at. Theosofie dan Christian Science merupakan contoh dari gerakan ini di dunia Islam dan dunia Barat. Kelima adalah sekte thaumaturgicul yang menitik beratkan kekebalan, kesaktian, pengobatan secara batin, dan kekuatan paranormal lainnya dalam menciptakan daya tarik bagi anggota. Sekte dalam Islam seperti Muslimin dan Muslimat serta aliran kebatinan lainnya merupakan contoh dari sekte ini. Keenam adalah sekte reformist yang menekankan usaha pembaruan melalui kerja nyata yang dikaitkan pada konsistensi dengan ajaran agama. Dengan demikian sekte ini memandang akidah dan ibadah harus dilengkapi dengan pekerjaan sosial agar dapat diterima oleh Tuhan dan kemanusiaan. Tipe ketujuh adalah sekte utopian yang menolak tatanan yang ada dalam masyarakat, menginginkan adanya perubahan atau perbaikan terhadap tatanan itu dengan memberikan alternatif, namun tidak bersedia mengadakan perubahan melalui revolusi. Sekte ini lebih aktif dari pada sekte introversionist dalam merealisir tujuan mereka melalui keteladanan terhadap komunitas mereka sendiri. Kelompok Isa Bugis di Sukabumi dan di Lampung, maupun Islamic Village di Sungai Penyuh, Malaysia adalah contoh khas dari tipe ini.
Sistem Kepercayaan Nenek Moyang Dalam Masyarakat Dayak Sistem kepercayaan atau agama bagi kelompok etnik Dayak hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi mereka sehari-hari. Ini berlaku pula antara nilai-nilai budaya itu dengan etnisitas (ethnicity) dalam masyarakat Dayak. Ini berarti bahwa kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan kegiatan sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari, sebagaimana disinyalir oleh beberapa Dayakolog (Coomans 1987; 1991b:1-14) dibimbing, didukung oleh dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat istiadat atau hukum adat, tetapi juga dengan nilai-nilai budaya etnisitas. Dengan demikian, respon mereka terhadap stimulus atau tekanan dari luar sering didasarkan pada kompleksitas unsur-unsur di atas. Kelompok etnik Dayak memiliki suatu sistem kepercayaan yang kompleks dan sangat berkembang (Alqadrie, 1987a:60). Kompleksitas sistem kepercayaan berdasarkan tradisi dalam masyarakat Dayak mengandung dua hal prinsip, yaitu (1) unsur kepercayaan nenek moyang (anchestral belief) yang menekankan pada pemujaan nenek moyang, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan yang satu (the one god) dengan kekuasaan tertinggi dan merupakan suatu prima causa dari kehidupan manusia (Alqadrie, 1990b:103). Dalam penelitian Tim Penelitian Kantor Perwakilan Departermen Pendidikan dan Kebudayaan Kalbar (1988-89:1-2) ditemukan bahwa sistem kepercayaan nenek moyang dalam masyarakat Dayak berisi berbagai peraturan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek moyang, dan manusia dengan alam beserta isinya. Tuhan tertinggi yang satu (the one highest God) memiliki dua fungsi atau karakter ketuhanan (divinity). Karakter yang satu mendiami dunia “atas” atau dunia yang “lebih tinggi” atau yang “lebih rendah”. Orang Dayak percaya kedua karakter ini masing-masing memusatkan sifat yang baik dan buruk. Kompleks sistem kepercayaan orang Dayak ditandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamaan atau kepercayaan dari luar, seperti pengaruh Cina dalam penggunaan barang-barang keramik-mangkok dan temapayan-yang dianggap memiliki kekuatan magis dan dapat mendatangkan keberuntungan, maupun penggunaan berbagai macam dekorasi naga (tambon atau dragon) yang melambangkan secara mitologis tuhan tertinggi yang satu sebagai penguasa dunia. Pengaruh ekstern lainnya berasal dari unsur-Hinduisme dan Islamisme. Kedua unsur ini dapat ditemukan dalam istilah-istilah keagamaan yang digunakan untuk menggambarkan Tuhan satu, seperti mahatara yang mungkin berasal dari istilah dalam agama Hindu Maha Batara yang berarti Tuhan Maha Besar, maupun Mahatala atau sering Lahatala/Alatala yang berasal dari ucapan Allah Ta’alah dalam Islam yang berarti Allah Maha Tinggi. Selain itu, Tuhan tertinggi yang satu secara simbolis diekspresikan oleh burung enggang yang menyajikan Ketuhanan dunia “atas”. Penggunaan burung enggang dan naga sebagai simbol dari Tuhan yang satu mengingatkan kita pada diskusi Durkheim (1902/1985; 1912/1915) tentang totemisme. Unsur penting dari kepercayaan nenek moyang dalam masyarakat Dayak- barang-barang keramik Cina, dekorasi-dekorasi yang menggunakan simbol naga dan burung enggang, dan kelompok etnik dayak sendiri sebagai penganut kepercayaan nenek moyang mereka-sejajar dengan tiga unsur totemisme Australia yang ditemui oleh Durkheim (1912/1915:128-130)-lambang totemik (totemic emblem), hewan atau tumbuh-tumbuhan, dan anggota dari anggota dari kaum atau suku (clan). Tiga unsur dalam masyarakat Dayak ini merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan merupakan menifestasi dari organisasi sosial. Dalam kaitan dengan itu,, Mc Lennan (1986) mungkin saja benar ketika ia melihat hubungan yang dekat antara totemisme dan bentuk spesifik dari organisasi sosial. Penggunaan naga dan burung enggang bukanlah suatu manifestasi dari kesederhaan pemikiran orang dayak Kalbar tetapi justru merupakan refleksi dari kompleksitasnya sistem kepercayaan mereka pada mana totemisme bukan semata-mata suatu kepercayaan, tetapi mungkin pula menjadi sumber, atau paling kurang, suatu embrio dari agama-agama berkembang lainnya. Tambahan pula, penggunaan dua jenis hewan diatas juga merupakan perwujudan dari organisasi sosial yang kahas dalam masyarakat dayak. Durkheim (1912/1915:235-36) menyatakan bahwa objek Tuhan yang berbentuk hewan atau tumbuh-tumbuhan bukan sungguh-sungguh Tuhan atau dewa-dewa, tetapi merupakan perlambangan dari unsur-unsur yang penting dalam masyarakat tersebut.
Sistem Kepercayaan dan Organisasi Sosial Unsur penting dalam organisi sosial masyarakat Dayak adalah hutan yang diperlambangkan oleh burung enggang yang lebih lanjut melambangkan dunia yang “lebih tinggi”, sesuatu yang “di atas” atau “lebih tinggi” di kalangan masyarakat Dayak adalah sesuatu yang sangat penting. Hal kedua yang penting dilambangkan oleh naga yang merupakan perwujudan dari kekuasaan atau kekuatan berdasarkan mitologi dalam kebudayaan Dayak dan Cina. Itulah kekuasaan naga yang menyajikan organisasi sosial masyarakat Dayak dan yang belokasi di dunia “bahwa”- atau burung enggang dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Dayak. Kedudukan lebih tinggi burung enggang dibandingakan naga merupakan manifestasi tidak saja dari fakta filosofis tentang keberadaan sumber ekonomi utama masyarakat pedalaman, hutan dengan segala isinya, yang dilambangkan oleh eksistensi burung enggang, tetapi juga dari fakta konkrit sosial, ekonomi, budaya dan politik kolompok etnik Dayak. Posisi lebih tinggi burung enggang daripada posisi naga juga menunjukan bahwa walaupun anggota masyarakat Dayak bersifat terbuka dan tidak berprasangka buruk terhadap pendatang dari luar, itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa mereka tidak lagi menilai atau menghargai pengaruh intern atau kemampuan kelompok sendiri sebagai lebih rendah dibanding dengan sumber atau pengaruh luar/asing . Konsep Durkheim (Gidden, 1972:26) mengenai eguasi bahwa Tuhan “sama dengan” masyarakat mungkin menjelaskan pentingnya peranan hutan tidak hanya bagi kehidupan sosio-ekonomi masyarakat Dayak tetapi juga bagi keberadaan dan kelanjutan kehidupan budaya, tradisi dan sistem kepercayaan mereka. Tuhan tertinggi yang satu, yang mendiami dunia “atau” dan yang dilambangkan oleh burung enggang sebagai manifestasi dari keberadaan hutan, merupakan perlambangan pula dari keberadaan dan kelanjutan basis organisasi kelompok etnik Dayak. Dalam prinsip totemisme, penduduk Aborigin Australia, penyajian imajinasi dalam menggambarkan eksistensi Tuhan, sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim [McLennan, 1968:135], dilakukan dengan menggunakan bentuk-bentuk hewan atau tumbuh-tumbuhan yang dapat dilihat yang bertidak sebagai totem. Tuhan, di dalam kepercayaan nenek moyang masyarakat Dayak, disimbolkan ke dalam bentuk nyata-burung enggang yang hidup dalam hutan yang kaya dan subur-yang keberadaannya dibuktikan oleh eksistensi masyarakat Dayak. Tuhan bagi masyarakat Dayak sejajar dengan kepentingan mereka terhadap keberadaan dan kelanjutan hidup. Ini berarti bahwa eksistensi hutan dan kehidupan alam lainnya di sekitar masyarakat pedalaman adalah satu jaminan bagi keberadaan dan kelanjutan hidup mereka sebagai kelompok etnik. Oleh karena itu dapat dimengerti jika mereka percaya bahwa kehancuran secara berangsur-angsur hutan dengan segala isinya merupakan ancaman serius tidak saja terhadap kehidupan sosial ekonomi di masa depan, tetapi juga bagi keberadaan dan kelanjutan hidup nilai budaya dan sistem kepercayaan mereka. Dari uraian di atas dapat dimengerti timbulnya keresahan dan kecenderungan “rendahnya” partisipasi masyarakat Dayak maupun sinyalemen adanya penolakan atau oposisi mereka bahkan kemungkinan konflik di kawasan tersebut dgnorg-orang “luar” atau proyek-proyek ekonomi dari “luar” sebagai reaksi dan protes terhadap sumber yang menimbulkan ancaman terhadap keberadaan dan dan kelanjutan kehidupan sosial ekonomi, budaya dan kepercayaan mereka, daripada sebagai manifestasi dari apa yang dianggap selama ini sebagai unsur tradisionalisme, primordialisme, etnosentrisme dan rendahnya tingkat pendidikan mereka. Realitas Sosial, Ekonomi, Budaya dan Mesianisme dalam Masyarakat Dayak Hutan bagi masyarakat pedalaman merupakan “dunia” atau kehidupan mereka. Kedudukan dan peranan hutan semacam ini telah mendorong petani Dayak memanfaatkan hutan di sekitar mereka dan sekaligus menumbuhkan komitmen untuk menjaga kelestariannya demi keberadaan dan kelanjutan hidup hutan itu sendiri, kehidupan mereka sebagai individu dan kelompok, dan juga demi hubungan baik mrkdgn alam dan Tuhan mereka. Untuk melaksanakan tugas dan komitmen di atas, masyarakat Dayak dibekali dengan mekanisme alamiah dan nilai budaya yang mendukung pemanfaatan hutan demi kelanjutan hidup mereka dan pelestarian alam. Sistem pertanian mereka yang khas, sistem perladangan berpindah (Shifting or swidden cultivation system) ternyata tidak hanya merupakan jawaban yang tepat bagi “perjuangan” mempertahankan kehidupan di atas tanah yang relatif kurang subur, yang menurut Vadya (1979), model penggunaan tanah yang lebih intensif dengan padat modal akan menimbulkan problematika-tetapi juga merupakan alternatif utama dan kenisme yang tepat, paling tidak dalam masa transisi menuju sistem pertanian menetap secara penuh (full permanent sultivation system). Perladangan berpindah yang dipraktekkan oleh ptani Dayak tidak dapat dituding sebagai sumber kerusakan hutan. Dasar perladangan berpindah (biasanya 10 sampai 15 tahun) secara teratur tampaknya, menurut pengamatan pakar Kehutanan Sosial (society forest scientist) (Ruthenberg, 1980:30-69, khusunya hal.64; Vayda, 1979; Alwadrie, 1990b:199202) telah menyebabkan hutan cenderungmjd subur berkelanjutan. Beberapa pakar kehutanan (Akcaya, 18/11 1992:1) percaya bahwa perladangan berpindah yang dilakukan di sekitar hutan pada dasarnya secara ekologis tidak merusak hutan, karena para peladang, yang sudah ratusan tahun mempraktekkan sistem itu, tidak akan menghabiskan hutan. Sistem perladangan berpindah adalah suatu proses yang mendukung kehidupan masyarakat petani di atas tanah yang kurang subur maupun kehidupan hutan itu sendiri secara teratur dan alamiah dengan cara-cara yang tidak merusak alam dan lingkungannya (Weinstock, 1981; Alqadrie, 1990b:203). Mekanisme alamiah seperti itu telah digariskan oleh kepercayaan nenek moyang dan sistem nilai budaya masyarakat Dayak. Ada suatu paham yang dianut oleh masyarakat Dayak, yaitu hancurnya hutan akan menghancurkan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka, dan bahwa Tuhan akan mengutuk “kita” semua atas perbuatan yang menghancurkan tersebut. Pemahaman seperti itu dan analogi Durkheim tersebut di atas melalui konsepnya mengenai “equasi antara Tuhan dengan masyarakat” ternyata dapat dimengerti dan relevan, terutama dengan konteks pentingnya hutan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pedalaman, kehidupan bangsa dan kehidupan umat manusia. Unsur lain yang terdapat di dalam sistem budaya dan kepercayaan nenek moyang dalam kehidupan masyarakat Dayak adalah nilai dan sikap yang menekankan manusia sebagai bagian yang integral dari alam. Berdasarkan nilai budaya dan sistem kepercayaan tersebut, anggota kelompok etnik Dayak dilarang untuk membunuh hewan yang tidak membahayakan mereka maupun tidak menghancurkan sumber-sumber alam lainnyascr serakah, tetapi sebaliknya didorong untuk bersikap hemat. Sikap mental ini, ditambah dengan mekanisme kerja dalam praktek pertanian mereka sebagaimana telah diuraikan terdahulud disosialisasikan oleh orang-orang tua dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini merupakan salah satu alasan pembenar bahwa kehancuran hutan, kerusakan sumber alam lainnya dan gangguan terhadap keseimbanan ekologis sepanjang diketahui bukan disebabkan oleh tangan-tangan penduduk setempat. Namun demikian, banyak yang telah berubah. Masuknya pengaruh asing melalui penyebaran agama, kolonialisme dan imperialisme pendatang demi kepentingan ekonomi, transmigran spontan maupun transmigran yang dibiayai oleh negara yang merindukan tanah, masuknya perusahaan-perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), perusahaan agroforestri lainnya, maupun perusahaan-perusahaan perkebunan besar diikuti oleh buruh dan karyawan yang mereka bawa, dan beroperasinya perusahaan-perusahaan dan industri tersebut yang tidak peka terhadap lingkungan alam dan sosial budaya di sekitar mereka maupun yang kapasitas operasinya cenderung melebihi kapasitas yang biasa dilakukan oleh perusahaan lokal, telah mengubah wajah daerah pedalamandan telah mempengaruhi secara sangat berarti kehidupan sosial, ekonomi dan budaya petani Dayak di pedalaman Kalbar. Pengaruh dan dampak kehadiran dan beroperasinya institusi, perusahaan dan kegiatan ekonomi di atas mengandung segi positif dan segi negatif. Dampak negatif tampaknya lebih dirasakan oleh penduduk setempat khususnya dalam bdiang sosial dan budaya, bahkan dalam segi mata pencaharian. Sejak tahun 1967 hutan di pedalaman Kalimantan, terutama di Kaltim dan Kalbar secara perlahan-lahan semakin berkurang baik dalam jumlah maupun dalam kualitas (Hasil Rapat Kerja Kehutanan III se Kalimantan 1991, di dalam Akcaya, 6 Mei 1991:12; Akcaya, 7 Mei 1991:2). Dibanding dengan tiga propinsi lainnya di Kalimantan ternyata hutan Kalbar paling rusak (Akcaya, 18 Nopember 1991:1). Ini tampaknya mempengaruhi pendapatan masyarakat petani di pedalaman pada umumnya dan petani Dayak pada khususnya. Hasil penelitian lapangan (Alqadrie, 1992a:192-214, khususnya hal.208; 1992b:93-102)menunjukkan bahwa sebagai akibat dari kehadiran dan beroperasinya perusahaan HPH, penghasilan petani penduduk setempat berkurang sebesar 33,3% dari penghasilan sebelumnya. Dari jumalh prosentasi tersebut di atas, ternyata 20% penghasilan yang berkurang itu berasal dari subsektor kehutanan, sedangkan 13,3% sisanya berasal dari subsektor pertanian ladang dan subsektor perkebunan yang ditanam di sekitar hutan. Tingginya rosentase subsektor kehutanan yang mengurangi penghasilan petani Dayak merupakan akibat dari berkurangnya areal hutan dalam jumlah yang cukup besar baik sebagai akibat dari penebangan maupun dari larangan untuk memanfaatkan hutan. Hal ini disebabkan 74,32% dan 46,60% dari masing-masing luas areal kawasan hutan dan luas seluruh wilayah Kalbar dikuasai oleh atau telah menjadi areal perusahaan HPH (BAPPEDA, dan Kantor Statistik Propinsi Kalbar, 1990, Alwadrie, dkk, 1992:93). Berkurangnya penghasilan petani setempat secara intrinsik juga disebabkan oleh perluasan areal perkebunan besar sehingga mereka tidak lagi dapat mengumpulkan hasil hutan, berkebun di celah-celah pohon dalam hutan sekunder, mereka tidak juga dapat memperluas areal pertanian mereka. Keadaan ekonomi petani setempat semakin bergantung kepada pedagang perantara dan tengkulak. Kerugian yang diderita petani setempat masih harus dibayar dengan tuduhan sebagai “yang bertanggung jawab” bagi kehancuran hutan karena perladangan berpindah dan penebangan liar. Perkembangan ekonomi secara relatif yang terjadi di Kalbar dan yang bergaung pula di kota propinsi dan kota kabupaten, ternyata kurang banyak membawa perbaikan berarti bagi kehidupan ekonomi petani kecil di pedalaman. Pukulan dan kerugian dm bidang ekonomi diperberat dengan pukulan dalam bidang budaya. Oknum pemuda dan penduduk setempat, khususnya mereka yang bekerja sebagai buruh di perusahaan HPH secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam beberapa aktivitas “baru” di daerah mereka seperti perjudian, perkelahian, pelacuran dan pencurian. Tempat-tempat aktivitas pelacuran bermunculan di daerah kecamatan baik secara terbuka maupun tertutup. Dari banyak penghuninya, beberapa disinyalir berasal dari daerah setempat. Sebelum masuknya kegiatan ekonomi, gejala ini rasanya belum pernah terjadi di daerah pedalaman Kalbar. Hiruk pikuk kegiatan ekonomi mungkin membawa dampak positif pada beberapa kelompok elit desa dan kecamatan, tetapi “mencabut” penduduk setempat dari akar kehidupan sosial budaya mereka ke arah “keterasingan”. Dalam kondisi seperti ini dikhawatirkan berkembangnya individualisme, hilangnya semangat gotong royong, dan sebaliknyatimbulnya penghargaan yang berlebihan pada material dan status ekonomi dengan mengesampingkan harga diri. Pelanggaran terhadap hukum adat meningkat rata-rata sebesar empat kali per tahun dibandingdgn masa sebelumnya dengan 45% dari jumlah pelanggar itu dilakukan oleh penduduk pendatang. Banyak dari mereka “mengharapkan” untuk bisa melanggar adat, krndenda adat atas pelanggaran seperti mengganggu anak gadis atau istri orang lain, poligami, meninggalkan atau menyia-nyiakan tanggung jawab keluarga dan lain sebagainya relatif “murah” dari segi ekonomi. Kasus kawin “kontrak” cenderung terjadi dan meningkat jumlahnya. Pukulan dan tekanan terhadap masyarakat Dayak dalam bidang sosial ekonomi dan budaya telah mereka alami sejak pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, beberapa anggota dari kelompok etnik ini mengalami peningkatan status dalam bidang sosial politik dan pemerintahan dan membawa pula perbaikan dalam bidang ekonomi. Namun secara keseluruhan tidak ada perubahan berarti. Mereka tidak menguasai sektor perdagangan. Dua pukulan yang merugikan kelompok etnik ini dalam bidang keamanan terjadi secara hampir bersamaan yaitu konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964-65 dan pengacau gerombolan PGRS / PARAKU tahun 1966-69. kedua peristiwa itu, yang terjadi di sepanjang perbatasan Indonesia-Sarawak/Sabah, juga merupakan pukulan dalam bidang ekonomi bagi mereka yang bertempat tinggal di kawasan tersebut, namun lebih kecil dampaknya dibanding dengan kehadiran perusahaan HPH secara besar-besaran sejak 1968 yang menyangkut bidang kehidupan yang lebih kompleks. Dihadapkan pada tekanan dan pukulan dari luar yang dialam iscr beruntun itu, masyarakat Dayak merindukan kembalinya suatu keadaan aman dan sejahtera. Kerinduan itu, berdasarkan pengamatan Alqadrie (1991:9), merupakan harapan bagi terciptanya suatu keadaan dimana tidak ada gangguan, penguasaan dan eksploitasi dari manusia atas manusia, yang ada hutan yang subur dan kaya, tempat mereka dapat leluasa bertani, berkebun di sekitar hutan dan memungut hasilnya, tempat mereka dapat tinggal di rumah panjangdan melaksanakan upacara adat tanpa dianggap “primitif” dan “tradisional”, dan dimana mereka dapat hidup terlepas dari belenggu hutan dan ketergantungan pada orang lain. Gerakan sosial yang bercorak keagamaan dan etnik mungkin merupakan salah satu alternatif dalam usaha merealisir harapan itu paling tidak meredam kerinduan tersebut. Gerakan sosial yang bercorak keagamaan dan etnik mungkin berwujud (1) gerakan etnik keagamaan yang mengandung konflik fisik, dan (2) gerakan etnik keagamaan yang tidak mengandung konflik fisik Alqadrie (1991b:10). Bentuk pertama dari gerakan sosial ini terjadi beberapa kaili dalam sejarah Kalbar dengan intensitas yang relatif besar. Dalam studi mengenai masalah etnisitas antara tiga provinsi di Kalimantan, King (1978:14) menemukan bahwa potensi konflik fisikdari gerakan etnik dan keagamaan yang terdapat pada masyarakat Dayak Kalbar lebih besar / dahsyat (more violent) dibanding dengan gerakan sosial di tiga provinsi lainnya. Sebelum kemerdekaan tercatat berkali-kali konflik fisik antara anggota etnik Dayak dengan aparatur pemerintah Kolonial Belanda, dengan anggota kongsi dagang Cina yang terpusat di Montrado dan dengan balatentara Jepang. Setelah kemerdekaan, konflik fisik itu terjadi beberapa kali. Lima di antaranya merupakan konflik berdarah bahkan sampai menimbulkan pengungsian besar-besaran, seperti “peristiwa 1967”, peristiwa Samalantan tahun 1969 dan 1971, peristiwa “tahun 1972”, peristiwa “tahun 1977” dan peristiwa “Sungai Ambawang” tahun 1986. Pada peristiwa-peristiwa di atas, nilai budaya merupakan faktor yang kurang berarti dalam menjelaskan timbulnya konflik fisik tersebut . faktor ini tampaknya hanya menjadi faktor perantara (mediating factor)yang ikut memacu faktor non budaya, seperti faktor struktural ekstern (external structural factors). Yang terakhir ini mampu membuka faktor tersembunyi yang menekan dan menghambat masyarakat setempat seperti faktor ketidakseimbangan dalam pembangunan ekonomi (unbalanced economic development) dan ketidakseimbangan dalam distribusi pekerjaan dan pendapatan (unbalanced distribution of occupation and income) yang timbul dari prinsip pembagian pekerjaan berdasarkan pertimbangan etnik dan asal usul buruh (ethnic division of labour). Prinsip pembagian kerja yang tidak adil ini masih banyak diterapkan oleh perusahaan perkebunan besar maupun perusahaan HPH yang beroperasi di pedalaman Kalbar (Alqadrie, 1990b:176-179; 1992:178-243). Prinsip ini sering menimbulkan oposisi dan konflik. Gerakan etnik yang tidak menimbulkan potensi konflik fisik paling tidak dalam jangka waktu pendek tampaknya merupakan gerakan yang mengandung unsur mesianistik. Dalam hal ini tipe kedua dalam kalsifikasi tipologi Wilson, seperti telah dikemukakan di muka, mengambil bentuk dalam masyarakat Dayak di pedalaman. Gerakan semacam ini timbul sebagai reksi, jawaban dan oposisi dari masyarakat setempat terhadap tekanan dan hambatan dari luar. Berbeda dengan mesianisme pada petani Jawa yang mengharapkan “turunnya” Ratu Adil dan pada golongan Syiah yang mendambakan “hadirnya” Imam Mahdi ke bumi untuk membantu mereka memerangi kebathilan dan membawa mereka kembali ke zaman keemasan (Coplin, 1975), mesianisme dalam masyarakat Dayak lebih konkrit dan riil. Persamaan pokok antara ketiga gerakan sosial mesianistik di atas dan juga dengan gerakan mesianisme lainnya adalah bahwa para anggota gerakan sosial tersebut memiliki kerinduan dan harapan religiositas yang didukung oleh semacam ketakutan yang mengandung semacam unsur natural. Harapan semacam itu biasa disebut dengan harapan eskatologis (eschatological expectation). Kelompok masyarakat yang memiliki harapan tersebut merasa bahwa mereka membawa misi suci (sacred mission) untuk merealisir atau paling tidak mempercayai terwujudnya harapan eskatologis tersebut. Dalam hubungan dengan inilah sistem kepercayaan nenek moyang masyarakat Dayak menjadi faktor atau pengubah antara yang menentukan (decicive mediating factors) bagi timbulnya reaksi dan oposisi terhadap keadaal sosial ekonomi yang menekan dan tidak menguntungkan mereka melalui apa yang disebut harapan mesianistik. Telah disebutkan bahwa mesianisme dlmmsy petani Dayak lebih konkrit dan riil. Ini disebabkan masyarakat Dayak secara langsung atau tidak langsung telah menampilkan secara perlahan-lahan dan pasti mesiah(s)-mesiah(s) yang dianggap sebagai “pahlawan-pahlawan” atau “raja-raja” semacam Ratu Adil dan Imam mahdi dan dipercaya akan muncul ke bumi secara riil dan konkret melalui generasi muda etnik Dayak yang berpendidikan dan memiliki keterampilan dan keahlian dalam berbagai bidang. Mereka inilah yang dianggap sebagai mesiah(s)-mesiah(s) dan dipercaya mampu menciptakan kembali “zaman keemasan” bagi masyarakatnya. Seperti sistem budaya Islamisme dan Yudaisme yang menghargai tingginya pendidikan dan intelektualisme (Abdalati, 1975:33-52; Hilberg, 1961), sistem budaya masyarakat Dayak tampaknya memungkinkan mereka untuk memberikan persepsi dan penilaian yang tinggi terhadap pendidikan dan untuk percaya, sebagaimana teah disinyalir oleh peneliti (Alqadrie, 1990, 1991:11-12; 1992:247-50), bahwa pendidikan merupakan “jalan” atau “jembatan emas” terpendek untuk mencitakan anak-anak mereka sebagai “pahlawan” yang dapat membangun kembali “zaman keemasan” bagi kelompok etnik ini. Proses in isebenarnya telah dimuali sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Dayak-Melayu maupun Dayak-Bugis-Melayu di pedalaman Kalbar, seperti Kesultanan Sintang, Silat, Bunut, Ngabang, Landak, Tanjungpura, Matan, danMEmpawah. Sukses besar dalam bidang politik lokal melalui persekutuan yang harmonis itu dilanjutkan oleh kelompok etnik Dayak dalam pendidikan formal sekarang ini dengan hasil yang spektakuler baik dalam pendidikan tinggi maupun tingkat pendidikan di bawahnya (Alqadrie, 1990,1992) yang dimulai sejak awal tahun 1960. Sebagai gambaran keberhasian di sektor ini dapat dilihat bahwa pada tahun 1960 hanya ada seorang sarjana (S1) yang berasal dari kelompok etnik Dayak Kalbar. Sekarang ini tidak kurang dari 1.250 orang kualifikasi S1 dan 50 orang S2 dimiliki oleh kelompok etnik ini yang nota bene berasal dari daerah pedalaman (Alqadrie, 1992:251). Hasil yang dicapai dalam sektor pendidikan hanya dalam jangka waktu 32 tahun tampaknya mustahil jika dibandingkan dengan kemampuan ekonomi orang Dayak di pedalaman untuk mengirim dan membiayai anak-anak mereka mengikuti pendidikan di kota. Sebagian terbesar dari putra-putri Dayak yang bersekolah di Pontianak dan kota besar lainnya di Jawa tidak dibekali biaya atau memperoleh biaya yang sangat minim dari orang tua mereka. Untuk membiayai pendidikannya, mereka tinggal di rumah-rumah orang tua asuh (fostered parents) yang sebagian besar dari kelompok etnik non Dayak dan bersedia membantu keluarga asuh mereka sebagaimana layaknya keluarga sendiri. Dari 539 orang mahasiswa yang berada di seluruh lokasi penelitian yang pernah diadakan (Alqadrie, 1992:251-52), sekitar 75% di antaranya termasuk mahasiswa yang memanfaatkan sistem orang tua asuh ini. Ternyata mereka ini, tanpa disadari adalah sebagian kecildari mesiah(s)-mesiah(s) yang diharapkan oleh masyarakat petani Dayak untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera di daerah mereka. Peningkatan pencapaian pendidikan dalam masyarakat Dayak tampaknya tidak disebabkan oleh peningkatan penghasilan ekonomi, khususnya dari dampak masuknya perusahaan HPH dan perkebunan (Alqadrie, 1990:335-36; 1992:252). Fenomena ini mungkin dapat menerangkan peranan unsur mesianisme melalui harapan eskatologik dlmmendorong pencapaian tingkat pendidikan yang tinggi pada masyarakat Dayak di pedalaman. Ini merupakan reaksi positif (?) terhadap tekanan dari luar dan penderitaan yang mereka alami sejak lama.
Daftar Pustaka Abdalati Hammudah. 1975 Islamic in Focus. New Delhi: Crescent. Abdullah, Taufik [penyt.]. 1979 Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Akcaya. 6/5-1991:12; 7/5-1992; 17/11-1992, hal 1; 18/11-1992:1. Alqadrie, Syarif. 1987a. Cultural Differences and Social Life Among Three Ethnic Groups in West Kalimantan. Tesis M.Sc. Lexington, Kentucky: College of Agriculture, Agricultural and Rural Sociology, University of Kentucky. _______. 1987b. Religion As A Uniting and Opposing Forces in Developing Countries: The Iraq-Iran War and Indonesian Cases. Unpublished Seminar Paper at University of Kentucky. Lexington, Ky.: Departement of Sociology, University of Kentucky. _______. 1990a. “Paradigma dalam Ilmu Sosial”. Dalam Suara Almamater. No.8. Nopember. [Publikasi Ilmiah Universitas Tanjungpura]. _______. 1990b. Ethnic and Social Change in Dyaknese Society of West kalimantan, Indonesia. Departement of Sociology, University of Kentucky. _______. 1991a. “Pembangunan Ketergantungan dan Kesederhanaan Etnik”. Dalam Suara Almamater. No.1. April . _______. 1991b. “Kepercayaan Nenek Moyang dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat dan Budaya Mereka”. Dalam Suara Almamater. No.3. Juli. _______. 1992. Dampak Perusahaan Pemegang HPH Terhadap Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Penduduk Setempat di Pedalaman Kalimantan Barat. Jakarta-Pontianak: DP3M Dirjen Dikti, Dept. Dikbud - Balai Penelitian UNTAN. Bennet, John. 1978. The Ecological Transition, Cultural Anthropology and Human Adaptation. New York: Pergamon Press. Billings, Dwight. 1988. ReligionAs Opposition: An Application of Gramsci’s Sociology of Religion. Lexington Ky.: University of Kentucky Press. Bruinessan, Martin. 1992. “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang sosial Budaya”. Dalam Ulumul Qur’an. III No.1. Cole, Juan dan Nikki Kiddie, 1986. Shi’ism and Social Protest. New Haven: Yale University. Coomans, Mikheal. 1987. Manusia Daya: Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. Jakarta: PT. Gramedia. Coplin, William, danCharles Keyley [penyt.]. 1975 Analyzing International Relations: A Multimethod Introduction. New York: MacMillan. Durkheim, Emile 1915 [terbitan aslinya 1912]. Terjemahan Swain Yoseph The Elementary Forms of Religious Life. New York: MacMillan. ________. 1975 [terjemahan Jacqueline dan Pickering]. Durkheim on Religion: A Selection of Reading with Biblographies. Boston: Routledge and K. paul. ________. 1985 [terbitan aslinya 1902]. Terjemahan R.A. Jones. “Totemism” Dalam History of Society. Vol. 1. Ellen, Roy. 1982. “Social Theory, Ethnography and The Understanding of Practical Islam in South-East Asia”. Dalam Hooker, Islam in South-East Asia. Leiden: E.J. Brill. Helberg, Paul. 1961. The Destruction of Eroupean Jew. Chicago: Quadrangle Books. Hunter, James D. 1984. American Evangelicanism: Conservative Religion and the Quandaryof Modernity. New Brunswick, N.J.: Rutgers University Press. Ismael, Victor. 1978. “Revitalization Movement in Kalimantan. Dalam Borneo Research Bulletin.4. King, Victor. 1978. “Revitalization Movement in Kalimantan. Dalam Indonesia Circle. 17. MacBoin, Gary, 1974. Northen Ireland. New York: Holt Rehart & Winston. McGuire. Meredith. 1981. religion: The Social Context. Belmont, California: Wadsworth Publishing, Co. McLennan, J. 1986 [terbitan aslinya 1970]. “The Worship of Animals and Plants”. Dalam R.A. Jones [penyt.]. Emile Durkheim: An Introduction to Four Major Work. Beverly Hill, Ca. Sage Publishing. O’Sallivan. See, K. 1986. First Word Nationalism: Class andEthnic Politics in Northern Island and Quebec. Chicago: University of Chicagop Press. Parsons, Talcott. 1964. Social Structure and Personality. New York Free Pressof Clencoe. Ruthenberg, Hans. 1980. Farming Systems in the Tropics. New York: Oxford University Press. Tim Penelitian Kantor Wilayah Departemen pendidikan dan Kebudayaan Propinsi KALBAR. 1988-89. “Kebudayaan Agama dan Adat kebiasaan Orang-orang Dayak”. Dalam Media Informasi. No.5 Juli. Troeltch, Ernst. 1931. The Social Teachingof the Christian Churches. London: Cambridge University Press. Vayda, Andrew. 1979. “Human Ecology and Economic Development in Kalimantan and Sumatera”. Dalam Borneo Research Bulletin. 11 September. Webwe, Max. 1976 [diterjemahkan oleh Talcott Parsons dalam bahasa Inggris]. The Protestant Ethic and The Spitir of Capitalism. New York: Charles Scribner’s Son. Weinstock, J. 1981. “Weighing Environmental Factors as Determinant of Dyak land Tenure”. Dalam Borneo Research Bulletin. 13 September. Wilson Bryan. 1961. Sects and Society. Heinemann. Ca.: California University Press. Yinger, Milton. 1975. Religion, Society Indonesia the Individual. New York: MacMillan, Co. [1] Makalah atau karya tulis ini merupakan sumbangan tulisan yang akan disampaikan kepada para peserta Pra Kongres Kebudayaan Ke II bertema Peranan Kebudayaan Nasional dan Daerah Dalam dan Tantangan yang ditimbulkannya Terhadap Pembangunan dan Integrasi Nasional. yang diselenggarakan di Bali, 28 – 30 April 2003. 2 Alqadrie adalah Profesor Sosiologi pada FISIPOL UNTAN, Pontianak. Sejak Agustus 1995 s/d September 2001 ia menjabat Dekan pada fakultas tsb. selama dua kali masa jabatan. Pengalaman kerjanya dimulai dari menjadi Guru SD Islamyah Kampung Bangka (1966-1968), Guru SMEP Negeri Ptk. (1968-1972), Guru SMEA Negeri, Ptk. (1972-1974), Asisten Dosen Luar Biasa (UNTAN) (1969-1974) dan Dosen Tetap UNTAN (1975-sekarang). Pendidikan S1 diperolehnya dalam Jurusan Ilmu Administrasi Negara (IAN) di FISIPOL UNTAN (1974), S2 [M.Sc] tahun 1987 dan S3 [Ph.D) tahun 1990 diperolehnya masing-masing dalam Jurusan Sosiologi Pertanian dan Pedesaan (Agricultural and Rural Sociology) dan Jurusan Sosiologi Politik dan Etnisitas (Political Sociology and Ethnicity) pada University of Kentucky, Lexington, AS. Tahun 1993 ia memperoleh Penghargaan David Penny Award dari Yayasan Agro Ekonomika (YAE) bekerjasama dengan David Penny Foundation, Australia, sebagai peneliti dan penulis terbaik tentang Kemiskinan. Tahun 1998 mengikuti Kursus Singkat Angkatan (KSA) VII LEMHANNAS (selama 4½ bulan) di Jakarta. Pada tahun 1999 dianugrahi Bintang Jasa Utama oleh Presiden R.I. Sejak Juli 2000 diangkat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial UNTAN.
3. ZAKAT, POTENSINYA DAN PEMBERDAYAAN UMAT Syarif Ibrahim Alqadrie
Jumlah umat Islam setelah ditinggalkan Muhammad SAW memang relatif bertambah banyak. Kuantitas itu perlu diimbangi dengan kualitas, kerja keras, teknologi dan kekompakan dalam menghadapi tantangan dan strategi dari luar yang tidak menginginkan Islam menjadi salah satu kekuatan dunia. Tanpa itu semua, umat Islam menjadi lemah, mudah dipermainkan ombak seperti buih – sebagaimana pernah diingatkan oleh Rasulallah SAW -- segera hancur dan hilang ditelan gelombang! Ramalan itu tampaknya pelan-pelan telah mulai tampak ketika umat ini menjadi tergantung sebagai masyarakat pinggiran (peripheral society) di dalam sistem dunia pada yang mengandung ketidakadilan. Agar tidak menjadi seperti buih umat ini perlu kompak dan bersatu, bukan untuk mengadakan perlawanan fisik sebagai reaksi yang dikonotasikan terbalik sebagai teorisme, tetapi dengan menghimpun dana dan memberdayakan umat melalui zakat. ***** Usaha penghimpunan dana bagi pemberdayaan umat bukan masalah baru di kalangan umat Islam, ia tidak akan mengalami kesulitan, bahkan melalui usaha ini sebenarnya umat Islam akan menjadi lebih kuat daripada umat yang lain, karena penghimpunan dana yang dikenal dengan zakat merupakan salah satu kewajiban umat dalam Islam. Lebih khusus lagi ia merupakan salah satu atau rukun keempat dari 5 (lima) rukun Islam. Karena itulah zakat akan terus mengalir dari umat Islam yang lebih mampu kepada umat Islam lainnya yang berhak menerimanya dalam proses penghimpunan dana yang tidak akan pernah berhenti. Sebagai proses penghimpuan dana, zakat, baik zakat fitrah maupun zakat harta (mal), memiliki kedudukan sangat penting dan strategis dalam mendukung kebangkitan umat Islam. Kedudukan ini menjadi sangat jelas di Indonesia yang umat Islamnya dikategorikan sebagai terbesar di dunia dalam segi jumlah. Adalah mudah difahami kalau banyak orang berpendapat bahwa zakat merupakan salah satu jalan bagi pemberdayaan dan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Ada korelasi positif antara besarnya jumlah umat yang berkewajiban membayar zakat dengan besarnya jumlah dana yang terhimpun dari zakat sehingga dana yang terkumpul itu dapat digunakan bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) umat Islam dalam berbagai sektor dan aspek seperti antara lain pendidikan, keahlian atau kepakaran, kesehatan, wawasan, komitmen, semangat, keuletan, kemampuan, tanggung jawab, mentalitas, integritas dan harga diri (dignity). Peningkatan kualitas SDM dalam sektor di atas merupakan perwujud dari dan mengarah pada kebangkitan umat. ***** Dari segi besarnya jumlah umat, anggaplah jika pemeluk Islam di Indonesia rata-rata 85 % dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 260.000.000, maka umat Islam Indonesia berjumlah rata-rata 221.000.000 orang. Dari jumlah ini, katakanlah 30% diantaranya masih belum dewasa sehingga 70% atau 154.000.000 orang telah memiliki kewajiban untuk membayar zakat. Anggaplah 40% dari jumlah mereka yang berkewajiban membayar zakat ini dikategorikan tidak mampu memenuhi kewajiban mereka, sehingga hanya 60% dari mereka atau 92.400.000 orang dikategorikan mampu dan aktif membayar zakat. Kalau seorang diasumsikan rata-rata membayar zakat Rp. 5.000 per bulan, maka akan terhimpun dana sebulan Rp. 462.000.000.000,00 (Empat Ratus Enam Puluh Dua Milyar Rupiah) setiap bulan atau Rp. 5.544.000.000.000,00 (Lima Triliun dan Lima Ratus Empat Puluh Empat Milyar Rupiah) dalam setahun -- jumlah yang fantastis dan tidak kecil! Tapi mengapa sebagian umat Islam di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya masih tetap terpuruk terutama dalam bidang ekonomi? Keterpurukan sebagian besar umat Islam di Indonesia, yang dikategorikan sebagian negara sedang berkembang (NSB), khususnya dalam bidang ekonomi, menurut Cordoso (1990), Amin (1989) dan Todaro (1990) yang kemudian disebut sebagai perspektif luar (external perspektif), bukan saja disebabkan oleh keterbatasan dana atau modal, yang merupakan konsekuensi antara lain dari penarikan surplus ekonomi mereka sebagai masyarakat pinggiran ((peripheral societies) [Wallerstein, 1997] atau kawasan satelit (satellite areas) [Gunder Frank, 19..] oleh masyarakat inti (core societies) [Wallerstein, 1997] atau Pusat (Center/Cosmopolitan) [Cordoso, 1990] sejak dari era kolonialisme dan imperialisme lama sampai era sekarang yang disebut Globalisasi dan dari hubungan perdagangan luar negeri antara kedua masyarakat tersebut yang sangat tidak adil dan tidak seimbang (unfair and unbalanced foreign trade and relations). Akan tetapi keterpurukan ekonomi sebagian umat Islam di Indonesia, dilihat dari perspektif dalam dan psikologis atau budaya (cultural, psychological and internal perspective) yang memunculkan factor kebiasaan dalam menghimpun dana – dalam hal ini kewajiban membayar zakat -- juga atau lebih berkaitan dengan strategi dan kebiasaan membayar zakat. Sehingga, hal ini menimbulkan pertanyaan apakah zakat hanya sekedar memenuhi kewajibana agama atau kewajiban sosial kemasyarakatan yang berujung pada pencapaian pemberdayaan dan kebangkitan umat? ***** Berkaitan dengan zakat sebagai sarana penghimpunan dana, zakat memang merupakan kewajiban agama yang sangat mengikat, karena ia tergolong sebagai fardu ‘ain. Akan tetapi, menurut saya penghimpunan dana melalui zakat tidak hanya sekedar memenuhi kewajiban agama, ia juga merupakan kewajiban social kemasyarakatan bagi pemberdayaan umat. Dalam Islam, ibadah, bagaimanapun kecilnya konteks hubungan pribadi seseorang dengan Khaliknya, tidak lepas sama sekali dengan kepentingan masyarakat. Dalam hubungan antara Allah dengan masyarakat atau dengan pribadi, dikenal prinsip Habluminnallah dan Habluminnas. Hubungan jenis pertama adalah hubungan pribadi antara manusia, umatNYA, dengan Khaliknya, yang harus dilaksanakan dan disempurnakan oleh manusia sendiri, tetapi hubungan ini terkandung di dalamnya bagi kesempurnaan manusia itu sendiri yang melakukan hubungan tersebut termasuk peningkatan kualitas pribadi manusia itu sendiri. Sedangkan pada hubungan jenis kedua – hubungan antara sesama manusia, Allah akan menjadi Maha Hakim yang akan memutuskan apakah hubungan itu telah tuntas, berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan perintahNYA, apakah satu fihak telah memuaskan dan memenuhi kewajiban yang menjadi hak fihak lain atau sebaliknya, dan apakah satu fihak tidak menyakiti atau merugikan fihak lain dengan memperoleh kepuasaan dari fihak yang dirugikan? Zakat, yang di dalamnya mengandung pemberdayaan umat yang terpuruk, memiliki kedua hubungan dan kewajiban yang telah disebutkan di atas sekaligus. ***** Penghimpunan dana melalui zakat secara maksimal bagi pemberdayaan masyarakat menghadapi paling tidak tiga hambatan yaitu (1) kekurangtahuan dan keraguan masyarakat terhadap tim atau panitia penampung zakat atau Badan Amil zakat; (2) cara penyaluran zakat atau kepada siapa zakat disalurkan; (3) sasaran pemungutan zakat; dan (4) penggunaan dana yang dihimpun dari pembayaran zakat. Kekurangtahuan dan ketidakpercayaan masyarakat untuk menyerahkan zakat mereka secara terpadu atau terpusat kepada fihak petugas penerima zakat merupakan hanbatan utama. Untuk mengurangi hambatan ini kekurangtahuan, keraguan dan ketidakpecayaan ini perlu dihilangkan melalui penerangan atau promosi zakat dan meyakinkan pembayar zakat bahwa zakat mereka betul-betul sampai ke tujuan dan tidak disalahgunakan. Pengumpul zakat diperlukan petugas jujur dan amanah. Ketidakmampuan Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah (Bazis) dalam mengurangi keraguan para pembayar zakat terhadap sampai tidaknya zakat mereka ke tujuan merupakan hambatan kedua, dan ini mendorong mereka untuk menyalurkan langsung zakat itu kepada fihak fihak yang mereka kenal baik, seperti guru agama atau guru mengaji, orang yang dituakan dan miskin di kampung, bidan kampung yang membantu persalinan keluarga, dan lain sebagainya. Penyaluran zakat seperti ini jelas tidak dapat dikategorikan sebagai penghimpunan dana produktif bagi pemberdayaan umat, karena cara seperti itu akan menumpuk dana zakat pada satu fihak dan tidak mengandung pemerataan. Karena itu pembayaran zakat melalui Bazis merupakan cara terbaik untuk menciptakan pemerataan dan pemberdayaan umat. Hambatan ketiga berkaitan dengan pemerataan dalam memilih sasaran pemungutan zakat. Golongan menengah ke atas, seperti para pegawai golongan III ke atas, karyawan BUMN, Bank, perusahaan jasa lainnya, pengusaha, para eksekutif, banker, profesional, dan lain sebagainya, perlu dipungut kewajiban zakat mereka secara proaktif, misalnya dengan memotong langsung 4 permil dari penghasilan mereka pada struk gaji, upah atau penghasilan mereka. Hambatan keempat dalam penghimpunan zakat terletak pada fakta bahwa zakat masih banyak digunakan untuk keperluan konsumsi sesaat dan tidak produktif, seperti antara lain penggunaan hanya untuk makanan dan minuman buka puasa dan hari lebaran, pakaian baru, pernik-pernik, peralatan dan hiasan rumah tangga menjelang lebaran dan keperluan tidak produktif lainnya. Untuk menjadikan zakat sebagai penghimpunan dana bagi perberdayaan dan kebangkitan umat Islam dari keterpurukan, dana dari zakat hendaknya dihimpun secara terpusat dan terpadu melalui semacam yayasan yang penyalurannya dibagi dua macam: (1) sebagian disalurkan langsung ke masyarakat yang memerlukan dan dapat digunakan untuk konsumtif habis terpakai, dan (2) sebagian lagi dihimpun di dalam semacam bank Syari’ah untuk digunakan secara produktif bagi keperluan umat misalnya antara lain pembukaan lapangan kerja, pemberian pinjaman berupa kredit bunga sangat rendah bagi umat yang memerlukan modal usaha, dan keperluan dana social untuk biaya pengobatan dan biasiswa. Yayasan yang bertugas untuk ini harus transparan, dikelola oleh tokoh masyarakat yang sudah teruji integritas, komitmen dan pengabdian mereka terhadap umat, namun mereka harus selalu dikontrol. Dengan strategi penghimpunan, pengelolaan dan penyaluran dana zakat seperti ini, zakat akan mampu meningkatkan pemberdayaan umat dan pada gilirannya akan dapat menciptakan kebangkitan umat Islam. Semoga.
|
|||
|
Copyright 2006, Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc.