Budaya | ||||||||||||
Berikut adalah karya tulis Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc. yang berkaitan dengan masalah budaya. | ||||||||||||
|
1. KESADARAN SEJARAH, KONSEP PUTERA DAERAH DAN MULTIKULTURALISME BINGKISAN ULANG TAHUN KE 234 KESULTANAN QADRIAH DAN SEKALIGUS KOTA PONTIANAK (23 Oktober 1771 - 2005). Syarif Ibrahim Alqadrie* Memperingati ulang tahun ke 234 Kesultanan Qadriah, saya teringat ucapan dua orang berbeda dengan pandangan hampir sama terhadap Kalimantan Barat (Kalbar), khususnya Pontianak. Orang pertama, seorang guru sejarah pada sebuah SMA Negeri dan telah lama berada di kota ini, menjelaskan kepada anak-anak didiknya di depan kelas bahwa para pendiri Kesultanan Qadriah adalah para bajak laut. Singkatnya kota ini berasal dari Kesultanan yang didirikan atas hasil membajak di laut dan berdasarkan pada pengalaman dunia bajak laut. Orang kedua, seorang peserta dalam salah satu seminar nasional tentang Pluralisme dan Politik Pemberdayaan Daerah di Semarang mengemukakan pandangan “pluralisme” nya tentang daerah ini yang dianggapnya tidak toleran, provinsialisme, kedaerahan, tertutup dan sering melakukan politik ”pembersihan etnis” (ethnic cleansing). Saya tidak banyak menanggapi pandangan miring itu, tetapi hanya menyarankan agar ia banyak membaca buku sejarah Kalbar, khususnya sejarah Pontianak, baik ditulis orang-orang Indonesia, Asia Tenggara maupun Barat. Sebagai seorang guru sejarah, ia bukan saja tidak mendalami bidang tugasnya, tetapi juga tidak memiliki kesadaran kesejarahan (historical consciousness), sehingga pak guru itu telah memutarbalikkan sejarah daerah yang telah menerimanya dengan ikhlas bahkan menghidupkannya. Saya justru merasa kasihan kepadanya, karena tampaknya ia merupakan salah seorang dari banyak penganut mashab sejarah yang berprinsip bahwa sejarah merupakan produk tidak saja dari setiap system politik yang berlaku tetapi juga dari setiap penguasa yang menguasai system itu dengan dukungan dari kelompok mayoritas dominan yang diuntungkan oleh system tersebut. Dengan demikian, arah dan isi sejarah dapat dibentuk, diatur dan diubah sesuai dengan kepentingan politik dari system yang berlaku dan penguasa yang dominant di dalamnya. Akan halnya pernyataan kedua yang menyatakan masyarakat Kalbar sangat provinsialisme, eksklusif dan tertutup, saya hanya menyarankan agar ia dan orang lain di luar Kalbar yang belum pernah ke luar dari daerah mereka, datanglah ke provinsi ini, dan melihat bahwa daerah ini sangat terbuka, telah dikunjungi oleh orang luar sejak beberapa tahun setelah berdirinya Kesultanan Qadriah, dan mereka telah mempunyai tanah berhektar-hektar, terbukti adanya Kampung Banjar, Kampung Bugis dan Arab, Kampung Bangka, Belitung, Kamboja, Jalan Jawa, Jalan Masrono (sekarang Jalan Johar), Gang Nurdin, Gang Wijayasari, Gang Sukarame, dan lain-lain wilayah dengan penamaan bukan nama orang Kalbar. Lagipula, mereka juga dapat membuktikan pejabat-pejabat instansi pemerintahan, militer, kepolisian dan sipil atau swasta di Kalbar, khususnya di kota Pontianak yang dalam satu dan dua priode kepemimpinan, Kalbar baru memiliki seorang Gubernur, Walikota dan Bupati beserta wakil mereka masing-masing yang berasal dari daerah ini. Itupun merupakan “rahmat” dari pemilihan kepala daerah (PILKADA) langsung dalam era otonomi nyata, yang selama ini tidak lebih dari “kepala dilepas, ekor dipegang, seperti Ki Dalang main wayang.” Bahkan sampai sekarangpun tidak sedikit pejabat pemerintahan tingkat di bawahnya, baik aselon I, II dan III masih dijabat oleh saudara-saudara dari luar, terlebih-lebih Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perbankan, tidak hanya pejabat teras tetapi juga aselon di bawahnya didatangkan dari luar. Masyarakat Kalbar, khususnya buda’- buda’ Pontianak, tidak pernah menganggap keadaan tersebut sebagai hal yang luar biasa, tidak juga sebagai suatu bentuk “dominasi” Pusat dan instansi-instansi atau BUMNnya terhadap daerah ini melalui dropping penjabat. Hal ini dipandang sebagai hal yang “konstruktif” dari gejala bangkitnya profesionalisme. Pandangan positif ini merupakan konsekuensi logis dari Konsep Putera Daerah yang dikembangkan oleh Alqadrie (2000). Konsep ini bukan datang begitu saja dari proses pemikiran akedemis melalui paradigma dan kesadarn kritis (critical consciousness and paradigm) sebagaimana diintrodusir masing-masing oleh Jurgen Habermas (1972;1975) dan Paulo Freire (1981;1986). Ia telah hidup sejak Sultan Abdurrahman merencanakan puteranya Kasim Al-Qadrie untuk menjadi Sultan di Panembahan Mampawah, dan Usman Al-Qadrie memangku jabatan sultan di Qadriah. Pemikirannya itu didasarkan pada pertimbangan bahwa ibu dari Kasim Al-Qadrie, Utin Candramidi, adalah keturuan Dayak Mempawah, sedangkan ibu dari Usman Al-Qadrie, Ratu Kusumasari, adalah keturunan Dayak Pontianak. Konsep Putera Daerah yang masih sangat sederhana itu selanjutnya diwujudkan secara konkrit oleh Sultan Kasim dan Sultan Hussein (adik Sultan Kasim yang menggantikannya berkuasa di Mampawah) melalui keputusan mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Rahman, dkk. (2000:105), untuk mengembalikan pemerintahan Mempawah ke tangan pewarisnya yang paling berhak, Pangeran Adijaya. Selain konkretisasi dari konsep itu, keputusan tersebut juga merupakan bentuk kesadaran politik untuk menciptakan kesetiakawanan sosial antar kesultanan di kawasan tersebut dalam menghadapi Belanda. Penjelasan dari perspektif kesejarahan, pemikiran dan kesadaran kritis tersebut di atas sebenarnya telah dapat menjadi penolakan, penjelasan bahkan pencerahan (enlightment) terhadap dua tuduhan memojokkan yang sebenarnya masih ada sampai sekarang dalam benak mereka yang tidak faham betul dengan kondisi daerah dan karakter masyarakat Kalbar, yang bahkan, menurut Parsudi Suparlan (1999), memiliki faktor penarik (pulling factors) bagi para pendatang dari luar untuk datang dan hidup di daerah ini. Kalaulah anggapan itu benar bahwa pendiri Kesultanan Qadriah adalah ”bajak laut,” apakah para ”bajak laut” dan beberapa ”generasi setelah mereka” mampu mendirikan istana/kraton dan menjalankan pemerintahan dengan dukungan sepenuhnya dari rakyat, termasuk para pendatang dan anggota kelompok komunitas Tionghoa, serta melahirkan konsep pembauran seperti didiskusikan sebelumnya? Kalaulah masyarakat Kalbar bersifat provinsialisme atau kedaerahan sempit, ekslusivisme dan tidak menyukai pendatang sebagaimana anggapan selama ini, mungkin sudah dari dulu Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD, pejabat pemerintahan pada aselon I, II dan III serta Pejabat-pejabat BUMN, perusahaan negara dan instansi swasta lainnya tidak didatangkan atau tidak berasal dari luar Kalbar, seperti terjadi di beberapa daerah di luar pulau Kalimantan yang tertutup sama sekali bagi para pejabat dari luar daerah. Mereka yang memiliki dua pandangan negatif tersebut merupakan gambaran paling tidak dari tiga hal: pertama, mereka tidak memiliki wawasan cukup, karena mereka belum pernah mengetahui apa, bagaimana karakter masyarakat Kalbar. Kalau itu dilakukan oleh mereka yang telah berada di daerah ini, mereka tidak merasa dan tidak mau menjadi anggota masyarakat Kalbar. Padahal Konsep Putera Daerah seperti telah didiskusikan sebelumnya memberi kesempatan kepada siapapun dan darimanapun asal mereka untuk memiliki hak dan kewajiban sama sebagai putera daerah, seperti pada Dayak dan Melayu, asal mereka dilahirkan dan berada di daerah ini 25 tahun – ukuran satu generasi. Kalau begitu siapa yang eksklusif dan siapa yang menganggap satu budaya etnis lebih hebat dan dominan dari budaya etnis lain, mereka sendiri atau masyarakat daerah ini? Kedua, mereka belum mempraktekkan multikulturalisme, yaitu suatu ideologi budaya yang menghargai, menerima, mengagungkan dan menilai tinggi perbedaan dan keberagaman/kemajemukan baik dalam nilai budaya, termasuk adat istiadat, tradisi dan kebiasaan; pendapat, ide dan wacana; karya orang lain; maupun dalam keyakinan agama, dengan tetap berada dalam kesederajadan – tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Masyarakat Kalbar juga seharusnya meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan terhadap ideologi ini. Ketiga, warga bangsa ini akan sulit untuk terus hidup di dalam satu kesatuan Negara yang disebut NKRI, kalau masih ada yang berfikir sempit seperti itu, -- prasangka buruk (prejudice) -- terhadap masyarakat daerah lain sebagai barbar, bajak laut, provinsialisme dan ethnic cleanser, dan menganggap daerah dan anggota kelompok etnis mereka sendiri lebih berbudaya, lebih beradab dan berperadaban lebih tinggi. Saya fikir tidak ada seorangpun saudara kita yang berasal dari luar Kalbar merasa dan bermotif seperti itu, apalagi Konsep Putera Daerah akan membuat hak dan kewajiban sesorang, secara sosiologis, politis dan legalistis, lebih jelas di daerah ini, tetapi perasaan ikut memiliki, ikut berperanserta, dan ikut bertanggung jawab dengan mempraktekkan ideologi multikulturalisme akan membuat NKRI menjadi lebih kuat dan langgeng. Dengan komitmen seperti itu, kita rayakan ulang tahun ke 234 kota ini dengan mengisi Kalbar, khususnya Kota Pontianak, dengan kerja keras, kejujuran dan persatuan, sehingga ia menjadi kota perdagangan dan pendidikan bertaraf internasional. Semoga. * Syarif I. Alqadrie Staf Pengajar FISIP UNTAN; Guru Besar Tamu (Visiting Professor) pada Nordic Institute for Asian Study (NIAS), Kopenhagen, Denmark; dan Dosen Tamu pada Program Doktor UNRI Pekanbaru, Riau
2. KESULTANAN QADARIYAH PONTIANAK: PERSPEKTIF SEJARAH DAN SOSIOLOGI POLITIK[1]
O l e h : Syarif Ibrahim Alqadrie[2]
1. Pendahuluan. Kesultanan Pontianak (Pontianak Sultanate) merupakan satu-satunya kesultanan termuda di kawasan Nusantara, bahkan di dunia, khususnya termuda di Kalimantan Barat (Kalbar) (Alqadrie, 1979:12). Kesultanan didirikan oleh dinasti campuran antara Arab, Melayu, Bugis dan Dayak ini, dan menjadi termuda di dunia, artinya termuda berdirinya dibandingkan dengan kesultanan lain di dunia. Mengapa demikian? Kesultanan ini didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771 bersamaan 12 hari bulan Rajab tahun 1185 (Rahman, dkk., 2000). Ia didirikan relatif lebih akhir dibanding dengan kelahiran kesultanan lainnya tidak hanya di Kalbar, tetapi juga di kawasan lainnya di Nusantara, karena tidak ada kerajaan atau kesultanan lainnya, selain kesultanan Pontianak, yang berdiri pada periode/tarikh yang sama dengan atau lebih akhir dari/setelah tanggal kelahiran kesultanan Pontianak (Alqadrie, 1979:35). Selain terbungsu, kehidupan pemerintahan kesultanan ini hanya berlangsung relatif singkat, 179 tahun, dan hanya diperintah oleh 8 (delapan) generasi sultan dari dinasti Al-Qadrie, sejak kelahirannya 1771 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 1945. Setelah itu, kesultanan ini tidak lebih dari sekedar warisan budaya yang tidak mempunyai kekuasaan politik apapun lagi . Kesultanan termuda ini memiliki keunikan (uniqueness) sebagai warisan sejarah Nusantara, karena walaupun kesultanan ini lahir lebih akhir atau paling bungsu, tetapi ia telah menjadi pemersatu, “unggul” dan memimpin kesultanan lainnya di kawasan Kalimantan bagian barat, diperhitungkan oleh kesultanan lainnya di kawasan regional -- di Nusantara, seperti Riau, Siak, Tambelan, Siantan, Palembang, Banjar, Paser (Rahman, dkk. 2000: 4; Alqadrie, 1979), Malaka, Johor, dan Trengganu, serta Banten dan Demak (Iskandar, dkk., 1987:58-59,60-62). Keunikan lain terletak pada letak geografisnya yang sangat strategis dan menguntungkan dari segi baik ekonomi dan social budaya maupun pertahanan dan keamanan (Hankam). Hal ini dimungkinkan oleh letak dan kedudukannya yang tidak terlalu jauh tidak hanya dari perairan laut dan selat, yaitu Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Natuna -- ketiga jalur transportasi tersebut menghubungkan kesultanan ini masing-masing dengan Batavia, Demak, kesultanan lainnya di utara Jawa, Banjarmasin, Kutai dan Paser; Palembang, Riau; dan Deli (sekarang dikenal dengan Medan), Malaka (sekarang Singapura), dan Johor (sekarang menjadi sebuah kota penting di Malaysia Barat dekat Singapura dan Kuala Lumpur). Letaknya juga tidak terlalu jauh dari kawasan pedalaman yang menghubungkannya dengan kesultanan lain di pedalaman dekat (interior valley) dan perhuluan/ pedalaman jauh (interior upland). Letaknya strategis ini memungkinkan kesultanan ini mampu bertindak sebagai kekuatan pengawas (controlling power) dalam hal pengumpulan/ pemasukan pajak dan pungutan lainnya, di satu fihak, serta penertiban di bidang Hankam, di lain fihak, terhadap penggunaan transportasi lalu lintas perairan di situ untuk tujuan perdagangan maupun kegiatan militer. Selain itu, letak kesultanan Pontianak yang strategis secara interen di kawasan Kalbar sendiri -- pada simpang tiga antara Sungai Kapuas Kecil dengan Sungai Landak -- letak mana memiliki nilai positif dari segi geopolitis, menyebabkan pendiri kesultanan ini -- Syarif Abdurrahman bin Habib Hussein Alqadrie -- disebut sebagai ahli Maritim (Maritime specialist) (Alqadrie, 1979:9) yang memungkin serangan militer ke jantung kesultanan ini, walaupun melalui dua jalur -- Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak -- dapat dimentahkan. Letak geografis seperti itu memungkinkan Kesultanan Pontianak memiliki keuntungan dalam segi geopolitis dan geostrategis baik ke luar berkaitan dengan terciptanya hubungan akrab, saling menghormati dan saling menguntungkan dengan kesultanan-kesultanan lain di Nusantara di luar kawasan apa yang dikenal sekarang dengan Kalbar, maupun ke dalam berkaitan dengan diakuinya kesultanan ini secara implicit sebagai kekuatan hegemonis di kawasan yang disebut sekarang dengan Kalbar. Pengakuan seperti ini lebih diperlancar dari hasil tiga strategi yang dilakukan oleh para Sultan Pontianak terhadap para kesultanan atau panembahan di kawasan ini yaitu: (1) penguasaan, (2) pengembangan ikatan kekeluargaan melalui perkawinan, pengangkatan keluarga/anak, dan (3) peningkatan kewibawaan lewat pendalaman agama pada mana para penguasa dan kerabat Kesultanan Pontianak dianggap memiliki pengetahuan agama Islam lebih mendalam. Menghadapi pertahanan tangguh dari letak geografisnya yang strategis, Kompeni Belanda menggunakan tiga taktik non-militer yaitu (1) taktik penguasaan konvensional tradisional melalui perundingan yang mengikat, (2) taktik adu domba atau pecah belah (devide et impera), dan (3) taktik penguasaan “moderen” melalui pengembangan kawasan di bagian lain dari kawasan kesultanan sebagai kekuatan pesaing (competing power) untuk memperlemah pusat pemerintahan kesultanan. Dengan taktik tersebut, kesultanan ini berangsur-angsur surut dan hampir kehilangan pengaruh dan kontrol terhadap kesultanan lainnya di Kalimantan. Tulisan ini diharapkan dapat mengungkapkan fenomena keunikan Kesultanan Pontianak, pendiri pertama, latar belakang atau asal usul pendiri tersebut, dan 8 (delapan) generasi sultan yang pernah berkuasa dengan karakter masing-masing. Selain itu tulisan ini diharapkan juga dapat menguraikan pengaruh besar dan disusul dengan merosotnya pengaruh tersebut dalam waktu relatif pendek, serta factor-faktor utama penyebab berkembang dan merosotnya pengaruh tersebut, serta pola tingkah laku politik local dan nasional kaitannya dengan kesultanan tersebut.
2. Pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak, Asal Usul dan Latar Belakangnya. Kesultanan Pontianak dikenal dengan nama Kesultanan Qadriah, karena ia didirikan oleh dinasti Al-Qadrie. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, putera Sayyed Hussein Al-Qadrie, atau Habib Hussein Al-Qadrie[3]. Kesultanan ini pada khususnya dan kesultanan-kesultanan lainnya di kawasan Kalbar tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) figur tersebut di atas. 2.1. Habib Syarif Hussein Al-Qadrie. Menurut catatan sejarah (Haji Yahya, 1999: 224; Alqadrie, 1979; Rahman, 2000:13-14; Sahar, 1982:12), Habib Hussein bin Habib Ahmad Al-Qadrie dilahirkan di dan berasal dari kota kecil bernama Trim, Hadralmaut, yang sekarang dikenal dengan Yaman Selatan pada tahun 1706. Hussein dibesarkan, dididik orang tuanya secara Islam sampai berumur 18 tahun. Ia melanjutkan memperdalam tidak saja ilmu Islam, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, dari gurunya Sayyid Muhammad Hamid di Kulandi, Al-Mukalla, salah satu kota besar di Yaman Selatan, selama lebih dari 4 (empat) tahun, sehingga ia memiliki pengetahuan agama dan umum serta wawasan luar negeri yang cukup mendalam. Ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan, dan bergabung dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampai ke Kalkuta dan di pantai Barat Afrika. Dari pengalamannya tersebut, Hussein muda terdorong untuk menambah pengalamannya dengan berlayar lebih jauh lagi ke negeri Timur dimana terdapat banyak kerajaan Islam. Keinginannya itu diperkuat oleh 3 (tiga) orang rekannya satu perguruan yaitu Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi (Haji Yahaya, 1999:224). Keinginan mereka untuk melakukan perjalanan bukan saja untuk berdagang sepanjang pelayaran yang dapat digunakan untuk biaya perantauan mereka, tetapi lebih pada motivasi untuk menyebarkan agama Islam (uchuwa Islamiyah) dengan menjadi mubalig dan penyebar agama Islam. Hal menarik dari para perantau Arab tersebut, menurut Alwi Shahab (2000:7) adalah bahwa mereka datang ke Indonesia tanpa membawa wanita -- kebanyakan mereka perjaka (unmarried men). Sesampai di kawasan Nusantara[4] mereka menikah dengan wanita-wanita setempat, menyebut penduduk setempat (pribumi/bumi putera) sebagai achwal -- saudara dari ibu mereka -- dan mereka berperan di sektor perdagangan, sector lain dalam bidang ekonomi dan penyebaran agama Islam. Setelah hampir satu tahun berlayar, sampailah mereka di Aceh dan bermukim di daerah ini hampir satu tahun. Menurut Haji Yahaya (1999:224) dan Rahman ( 2004: 16) berdasarkan kesepakatan mereka, Sayid Abu Bakar Alaydrus tetap tinggal di Aceh sampai akhir hayatnya, sebagai guru agama, imam besar dan diberi gelar Tuan Besar Aceh; Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan ke Kesultanan Siak dan menetap di sana sampai ia wafat, juga diangkat sebagai seorang ulama ulung dan mendapat gelar Tuan Besar Siak; Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi melanjutkan perjalanan ke kawasan Semenanjung Malaka dan akhirnya menetap di Kesultanan Trengganu sampai akhir hayatnya, diberi gelar Datuk Marang. Sesuai dengan petunjuk gurunya agar ia mencari tempat pemukiman di sebelah timur negeri yang subur penuh dengan pepohonan menghijau, Hussein Al-Qadrie meninggalkan Aceh menyelusuri Pantai Timur Sumatera melalui beberapa kerajaan Islam yang didengarnya dari para pedagang lainnya. Kerajaan dimaksud adalah kesultanan Islam di Semenanjung Malaka, Siak, Riau, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram dan di Jawa Timur, serta negeri Betawi atau Batavia yang menjadi pusat perdagangan VOC (Rahman, dkk., 2000; Haji Yahaya, 1999:224-225; cari Sejarah Indonesia lainnya). Akhirnya ia sampai di Betawi dan berada di sana lebih dari 7 (tujuh) bulan untuk melakukan syiar Islam bersama dengan para sayyid -- pedagang dan perantau Arab lainnya -- yang berada di situ. Selama di Batavia Habib Hussein sering mengikuti pelayaran pulang pergi ke Cirebon, Pekalongan dan Semarang. Ia menyaksikan perkembangan Agama Islam di kawasan pantai utara Pulau Jawa, lalu memutuskan untuk menetap di Semarang bersama dengan Syech Salam Hambal -- seorang pedagang dan ulama yang juga berasal dari Arab -- yang mengajaknya menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat. Setelah dua tahun berada di Semarang, Habib Hussein masih ingin melanjutkan perjalanan ke kawasan yang dipesankan oleh gurunya untuk mencari pemukiman yang cocok untuk tempat tinggal keturunannya -- kawasan yang subur dengan hutan lebat menghijau. Kawasan tersebut adalah pantai barat Kalimantan sebagaimana diceriterakan oleh Syech Salam kepadanya yaitu Matan, Sukadana -- dua kesultanan Islam yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Ketapang -- dan Mempawah -- sebuah kesultanan Islam tertua di Kalbar dan menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Pontianak. Dengan dukungan moril dan material dari dan dihantar oleh Syech Salam Hambal, Hussein Al-Qadrie dalam umur 29 tahun melanjutkan perjalanan ke Matan. Di sini ia diterima penduduk setempat, disenangi oleh murid-muridnya dan mendapat simpati dari keluarga Kerajaan,sehingga Habib Hussein Al-Qadrie diangkat sebagai tokoh penting, yaitu Hakim atau Qadhi dalam peradilan di Kerajaan Matan. Dari perkawinannya dengan Nyai Tua -- puteri Sultan Ma’aziddin[5] -- Habib Hussein Al-Qadrie memperoleh 4 orang putera dan puteri yaitu bernama Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Mariyah dan Syarif Alwie Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman Al-Qadrie lahir di Matan pada pukul 10 pagi, hari Senin 15 Rabiul Awal tahun 1151 H bertepatan dengan 1739 M. Baru 3 (tiga) tahun Habib Hussein berada di Kerajaan Matan, kemasyhurannya sebagai ulama dan hakim pengadilan telah tersebar ke Kerajaan Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. Raja Mempawah, Opu Daeng Manambon, yang berkedudukan di Sebukit[6] yang bernama Pangeran Tua, meminta kepada Sultan Matan dan Habib Hussein agar bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama Islam dan menjadi imam besar di sana (Sahar, 1983:18; Rahman, 2000:25-26). Permintaan itu tidak segera dipenuhi oleh Hussein Al-Qadrie, karena ia belum lama berada di Matan. Setelah berada di Matan selama 17 tahun, akhirnya pada tahun 1755M Habib Hussein baru dapat memenuhi permintaan tersebut, dan pada tahun 1755 ia bersama keluarganya pindah ke Mempawah dan membangun pemukiman baru di Galah Herang[7] dalam kawasan kerajaan itu. 2.2. Syarif Abdurrahman Al-Qadrie – Pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak. Dua tahun Habib Hussein berada di Kerajaan Mempawah, puteranya, Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, yang berumur 18 tahun, dikawinkan dengan Utin Candramidi, puteri Opu Daeng Manambon dengan Puteri Kusumba. Perkawinan ini tidak saja memperkuat kedudukan Habib Hussein yang diperlukan oleh rakyat dan Kerajaan Mempawah. Itu juga mempererat hubungan tiga kerajaan yaitu Matan, Mempawah dan Luwuk di Sulawesi Selatan, karena Putri utin Cadramidi adalah puteri Opu Daeng Menambon yang berasal dari Kerajaan Luwuk. Perkawinan ini juga dianggap sebagai permulaan yang baik bagi dorongan politik terhadap kelanjutan cita-cita Habib Hussein untuk menemukan pemukiman baru bagi keluarganya dan bagi penyebaran Islam yang diharapkannya dapat direalisasikan oleh putera tertuanya itu. Setelah perkawinannya dengan Utin Candramidi, Abdurrahman bergelar Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Di dalam tubuh Abdurrahman mengalir darah ayahnya (sebagai keturunan Arab, ia memanggil Habib Hussein sebagai aba) sebagai pedagang, perantau, pelayar dan ulama penyebar ajaran Islam, ia juga tidak menyimpang dari apa yang telah dilakukan ayahnya. Abdurrahman muda tumbuh menjadi pedagang muda. Jiwa pedagang dan semangat maritimnya semakin berkembang. Pada tahun 1759 Syarif Abdurrahman mengadakan pelayaran ke beberapa tempat seperti ke Pulau Tambelan, Siantan dan Negeri Siak, ketika ia berumur sekitar 20 tahun, dan pada tahun 1765 ke Kerajaan Palembang dan Banjarmasin, ketika ia berumur kurang dari 26 tahun. Di Palembang Sultan kerajaan ini -- yang telah mengenal baik ayah dan mertuanya -- memberinya hadiah berupa sebuah perahu, 100 pikul timah dan uang 2.000 ringgit. Pemberian ini merupakan modal awal yang mendorongnya menjadi pedagang, pelayar dan pengelana labih jauh lagi. Setelah ia berada lagi di Mempawah sekitar dua tahun, modal awal tersebut ditingkatkannya lagi berupa penambahan sebuah perahu dan barang modal lainnya. Pada tahun 1767 Syarif Abdurrahman Al-Qadrie meninggalkan Mempawah menuju Kerajaan Banjarmasin dan Paser -- sekarang lebih dikenal dengan Kabupaten Paser dengan ibukotanya Tanah Gerogot -- yang masing-masing terletak di kawasan selatan dan pantai timur Pulau Kalimantan. Kerajaan Banjarmasin adalah kota perdagangan yang sudah lama maju dan lebih berkembang dibanding dengan kota dan kerajaan lainnya di kawasan Kalimantan. Kota kerajaan ini telah menjadi pusat pengembangan Islam di kawasan sekitarnya. Kerajaan Paser belum begitu berkembang, tetapi memiliki potensi besar dalam hal penyediaan sumberdaya alam, termasuk perkebunan, dan dinamika penduduknya dalam hal religiositas. Karena letak geografisnya tidak begitu jauh dari Banjarmasin pada mana pengaruh sosial budaya kerajaan ini sangat besar terhadap Kerajaan Paser, maka sampai sekarang Islam berkembang pesat hampir di seluruh kawasan Paser, termasuk di kawasan pedalamannya, dan budaya Banjar, termasuk bahasanya, berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di situ. Abdurrahman memperdagangkan rempah-rempah, lada, kain-kain sutera, lenen, dan hasil perkebunan lainnya di sana, dan ia juga berkenalan dengan para pedagang Inggeris, Perancis, Portugis, Belanda dan Cina yang sangat memerlukan barang-barang tersebut untuk dipertukarkan dengan produksi negara mereka. Masyarakat Barat, menurut Wallerstein (1997), memerlukan sumberdaya alam (SDA) dan kerajinan lainnya yang tidak mereka miliki, dan mereka berkompetisi dalam memperolehnya untuk mempertahan status mereka agar tidak terlempar menjadi masyarakat pinggiran (peripheral societies). Kalau saja pemenuhan kebutuhan akan bahan-bahan hasil bumi tersebut diselenggarakan melalui perdagangan yang adil (fair trade), tidak melalui cara-cara kolonialistis dan imperialistis, maka sudah lama Dunia Timur sama majunya dengan Dunia Barat. Dari keuntungan yang diperolehnya dari perdagangan tersebut, Syarif Abdurrahman dapat menambah armada perdagangannya berupa sebuah kapal layar besar yang dinamainya Tiang Sambung dilengkapi dengan meriam gurnada, lila dan pamuras (Rahman, 2000:52-53). Dengan armada, peralatan dan barang modal yang semakin bertambah dari hari kehari, ia telah memenuhi keinginannya baik untuk menjadi pedagang dan pelayar ulung, maupun untuk memenuhi ambisinya membangun tempat pemukiman tetap yang strategis dalam segala hal yang ia dan ayahnya telah lama dambakan untuk anak, cucu, para pengikut setianya dan keturunan mereka. Dengan pemukiman itu mereka tidak hanya menjadi qadhi, imam besar dan pemuka agama, tetapi menjadi pemimpim yang mengayomi umat dan bagi kemaslahatan rakyat dan keturunan mereka. Untuk memenuhi ambisinya tidak ada jalan lain ia harus memiliki armada dan peralatan yang lengkap, serta didukung oleh awak kapal yang cukup dari segi jumlah, kualitas dan kesetiaan, serta nakhoda yang memiliki keahlian dan keberanian. Beruntung, ia telah memiliki sebagian besar dari keperluan itu, dalam pelayarannya ia selalu bersama armada dan peralatan yang relatif lengkap serta didampingi oleh sejumlah awak dan Nakhoda yang bernama Daud yang setia (Rahman, 2000:52-53). Setahun berada di Banjarmasin, pada tahun 1768 Abdurrahman Al-Qadrie mengawini puteri Raja Banjar bernama Syarifah Anum atau Ratu Syahranum dan memperoleh gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Perkawinan ini, selain merupakan sekedar keinginan pribadi yaitu untuk mengembangkan tali kekeluargaan antara keluarga kerajaan Banjar dengan kerajaan Mempawah, juga dianggap sebagai perkawinan politik untuk memperkuat aliansi paling tidak antara tiga kerajaan di Kalimantan: Mempawah, Matan dan Banjar. Aliansi ini berdampak positif bagi dukungan terhadap Abdurrahman dan armadanya untuk menciptakan keamanan pelayaran dan perdagangan kapal-kapal dagang sipil Inggeris, Perancis, Cina dan pedagang Islam lainnya dari perompak atau bajak laut yang mengganggu keamanan kawasan Selat Karimata, Selat Malaka dan Selat Makassar. Perkawinan politik itu juga bermanfaat dalam mendukung obsesinya untuk mendirikan pemukiman tetap dan mengusir dominasi Barat yang ingin menguasai perdagangan di Nusantara ini. Sekembalinya dari penjelajahan[8]nya beberapa kawasan disekitar Selat Karimata, Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Bangka, Laut Jawa dan Selat Makasar, pada 11 Rabiul Akhir tahun 1185 atau pertengahan 1771, Habib Hussein dan Panembahan Opu Daeng Menambon telah meninggal dunia. Wafatnya kedua orang yang sangat dihormati dan dibanggakannya itu telah menjadi salah satu pendorong kuat bagi Syarif Abdurraham untuk mencari tempat pemukiman baru tidak saja sebagai pusat perdagangan tetapi juga sebagai pusat pemerintahan dari kerajaan baru yang dipimpim oleh salah seorang dari empat orang saudara laki-lakinya. Setelah bermusyawarah dengan keluarga besarnya, termasuk dengan Panembahan Adijaya -- putera Opu Daeng Menambon yang diangkat sebagai Panembahan Mempawah -- dan empat saudara laki-lakinya -- Syarif Ahmad, Syarif Abubakar, Syarif Alwie dan Syarif Muhammad, akhirnya mereka meninggalkan Mempawah mencari pusat pemukiman, dan Syarif Abdurrahman ditunjuk sebagai kepala rombongan besar itu. Penunjukan dengan suara bulat kepada Abdurrahman disebabkan tidak hanya ia merupakan saudara laki-laki tertua dari keluarga atau dinasti Al-Qadrie tetapi juga ia memiliki pengetahuan, pengalaman dan wawasan yang luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan persetujuan itu cita-cita ayahnya dan obsesinya sejak kecil serta persiapan matang yang dilakukan Abdurraman sejak lama, tampaknya akan terealisasikan. Pada pukul 14.00 Jum’at, 9 Rajab tahun 1185 H atau 1771 M, setelah sembahyang Jum’at, Pangeran Abdurrahman Al-Qadrie berangkat bersama seluruh keluarganya menuju ke pemukiman baru yang belum mereka ketahui dalam satu konvoi besar yang terdiri dari dua kapal besar dan 14 kapal kecil beserta dengan awak kapalnya lengkap dengan peralatan tidur, makanan, minuman untuk dua bulan. Armada yang terdiri dari 16 buah kapal itu dilengkapi dengan persenjataan beberapa buah meriam, persenjataan konvensional lainnya, para pengikut setianya dan sejumlah awak kapal cukup banyak jumlahnya diantaranya terdiri dari orang-orang Benggali yang berasal dari kapal-kapal Perancis yang pernah dikalahkannya. Armada besar ini dinakhodai oleh Juragan Daud pengikut setianya. Setelah empat hari perjalanan sampailah rombongan Abdurrahman ke sebuah pulau kecil yang dinamai Batu Layang terletak 15 km dari muara Sungai Kapuas atau lima kilo meter dari kota Pontianak. Tempat itu kemudian menjadi tempat pemakaman resmi keluarga Kesultanan Qadriah sampai sekarang. Dari tempat ini rombongan melanjutkan perjalanan sampai mendekati persimpangan tiga pertemuan Sungan Kapuas dan Sungai Landak. Di kawasan ini, berdasarkan mitologi atau dongeng tradisional Kalbar rombongan Pangeran Abdurrahman diganggu oleh dan berperang dengan “makhluk halus” khas Pontianak yang disebut “hantu kuntilanak.”[9] Pada subuh hari Rabu tanggal 14 Rajab 1185 bertepatan dengan 23 Oktober 1771 rombongan Pangeran Syarif Abdurrahman Al-Qadrie memasuki kawasan perairan di pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak dan menembaki “hantu Kuntilanak” itu sampai perompak itu melarikan diri. Pada pukul 08.00 hari yang sama rombongan itu mendarat pada salah satu kawasan tepi Sungai Kapuas tidak jauh dari muara Sungai Landak. Mereka mulai menebang dan membersihkan pohon-pohon serta mendirikan surau yang sekarang menjadi Mesjid Jami’ Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Kemudian Abdurrahman dan para pengikutnya mulai mempersiapkan tempat pemukiman yang letaknya menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau tersebut. Pemukiman itulah kemudian menjadi Istana Kesultanan Qadriah Pontianak. Mengapa Abdurrahman memutuskan untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan kesultanannya? Pertama, dari segi religiositas, sebagai seorang yang taat beragama ia telah meminta petunjuk dariNya dan yakin akan petunjuk itu, karena sebelum sampai ketempat itu ia telah sampai ke beberapa tempat, antara lain Segedong di Sungai Peniti -- berlokasi sekitar 20 km dari kota Pontianak, namun tempat itu tidak menjadi pilihannya. Kedua, keputusan itu merupakan hasil musyawarah antara Syarif Abdurrahman dengan empat saudara laki-lakinya, isterinya, Nakhoda Daud dan beberapa pengikutnya. Ini menunjukkan bahwa walaupun Abdurrahman telah dipercaya menjadi pemimpin dalam keluarga besarnya, namun ia masih menginginkan musyawarah. Kebiasaan semacam ini terus dipraktekkannya walaupu a telah menjadi sultan. Ketiga, keputusan itu merupakan hasil dari pengetahuan maritim praktis yang diperolehnya selama bertahun-tahun menjelajah berbagai pulau, laut dan sungai sehingga ia menemukan pemukiman sebagaimana ia dambakan sebelumnya. Keberhasilan Syarif Abdurrahman menemukan Kawasan pemukiman yang sangat strategis dalam geografis yang aman dari bencana alam seperti banjir, gempa bumi, tsunami dan angin taufan hingga sekarang, menurut Jimmy Ibrahim (1971:59), tidak terlepas dari latar belakang budaya dan pendidikan non formal ditambah dengan wawasan luas, pandangan strategis dan jiwa pionir yang dimilikinya. Dengan masih tegak berdirinya istana Kesultanan Qadriah Pontianak hingga sekarang ini tidaklah berlebihan kalau Syarif Abdurrahman disebut sebagai seorang yang akhli Maritim dan akhli strategi. 3. Para Sultan yang Berkuasa di Kesultanan Qadriah Pontianak. Kesultanan Qadariyah Pontianak merupakan kesultanan termuda dan terbungsu di Nusantara, setelah itu tidak ada lagi kerajaan lain yang lahir di kawasan kepulauan jamrud Khatullistiwa ini. Selain itu usia kesultanan ini juga secara politik pemerintahan relatif tidak terlalu panjang dibanding dengan kerajaan-kerajaan lain di kawasan Kalimantan bagian barat ini. Kekuasaan politik riil dan relatif mutlak tidak lebih dari 179 tahun, 2 bulan 13 hari, dihitung dari kelahirannya -- 23 Oktober 1771-- berakhir pada awal kemerdekaan negara Republik Indonesia (RI) -- tepatnya 5 Januari 1950 -- yaitu berakhirnya kekuasaa Sultan Hamid II. Selama berusia 173 tahun lebih dua bulan 20 hari, kesultanan ini dipimpin oleh 8 (delapan) raja atau sultan yang jangka waktu atau usia pemerintahan mereka berbeda antara satu sultan dengan sultan lainnya. Kedelapan sultan yang pernah memerintah Kesultanan Qadriah adalah sebagai berikut: 1) Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, 1778 – 1808. 2) Sultan Syarif Kasim Al-Qadrie, 1808 – 1819, 3) Sultan Syarif Usman Al-Qadrie, 1819 – 1855; 4) Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, 1855 – 1872; 5) Sultan Syarif Yusuf Al-Qadrie, 1872 – 1895; 6) Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie, 1895 –1944; 7) Sultan Syarif Thaha Al-Qadrie, Agustus – Oktober 1945. 8) Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, 1945 – 1950. 3.1. Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie Nur Alam bin Habib Hussein Al-Qadrie. Syarif Abdurrahman lahir di Matan pada tahun 1739. Delapan tahun lamanya setelah membangun dan bermukim di kerajaan Pontianak ia dinobatkan oleh Raja Riau Sultan Haji sebagai sultan pertama di Istana Qadriah Pontianak pada hari Senin 8 Syakhban 1192 H bertepatan dengan tahun 1778 M. Penobatan itu dihadiri oleh para Panembahan dan Sultan Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, Banjar, dan Riau[10] Raja Haji adalah putera Daeng Celak dan ponakan Daeng Manambon. Kedua Sultan keturunan Bugis Luwuk ini adalah dua dari lima orang bersaudara putera dari Opu Daeng Relaka. Kelima bersaudara ini berperan besar dalam membantu perkembangan Kerajaan Matan, Sukadana, Mempawah, Riau, Siak, Pontianak, Banjar, Indragiri, Jambi, Palembang, Malaka, Johor, Kedah, Selanggor dan Perak. Raja Haji sendiri dari Kesultanan Riau berjuang mempersatukan kerajaan-kerajaan disepanjang pantai Timur Sumatera, Semenanjung Malaya dan Pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan bagian Barat. Hubungan erat dan sentimental antara sesama kerajaan-kerajaan tersebut merupakan perwujudan dari perpaduan antara keturunan Arab, Bugis, Melayu, Dayak, dan Banjar, yang sekaligus telah memperkokoh Wawasan Nusantara dan Wawasan Nasional – jauh sebelum konsep dan ide wawasan ini diperkenalkan dalam ideologi kebangsaan. Di sini peranan Kesultanan Pontianak, khususnya Sultan Abdrrahman Al-Qadrie, sangat menentukan. Hubungan kekeluargaan dan politik dalam satu wawasan seperti ini sangat dicurigai oleh VOC. Kongsi Dagang Belanda ini menganggap bahwa kedekatan hubungan antara kerajaan sepanjang pantai Timur Sumatera dan Kalimantan merupakan bentuk persekutuan politik yang ingin menentang VOC. Oleh karena itu, apapun motifnya “persekutuan politik” seperti itu, menurut VOC (cari sejarah nasional/perjuangan Indonesia) perlu dihancurkan. Setelah Nicholas De Cloek, utusan Batavia pertama ke Kerajaan Pontianak akhir tahun 1778, dianggap gagal “menjinakkan” Sultan Abdurrahman, pada Juli 1779 VOC mengirim lagi utusannya ke Pontianak yaitu Willem Adriaan Palm yang menjabat Komisaris VOC. Dengan dalih ingin mendirikan perwakilan dagang di kerajaan ini, VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di kerajaan Pontianak. Willem Adriaan Palm digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang menjabat sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779 – 1784) berkedudukan di Pontianak. Melalui Resident ini VOC mulai membangun pemukiman, pabrik-pabrik, pertahanan dan benteng di seberang tepian Barat Sungai Kapuas tepat di kawasan seberang istana Kerajaan Pontianak. Kawasan ini mulanya diperoleh dari kebaikan hati Sultan Abdurrahman dengan memberikan ijin pinjaman untuk mendirikan tempat kegiatan dan pemukiman orang-orang Belanda yang, menurut Ansar Rahman (2000:90-91), dikenal dengan penguasaan tanah seribu, karena tanah yang dipinjam itu seluas 1.000 meter2. Akan tetapi dalam waktu tidak lebih lama dari sekitar 10 tahun, Pemerintahan Belanda di Batavia telah memperoleh hak atas pemukiman tersebut, bahkan kawasan itu telah menjadi kosentrasi atau pusat politik, yaitu tempat pusat kegiatan administrasi Karesidenan van Borneo’s Wester Afdeling I, dan pusat kegiatan ekonomi Pemerintah Batavia. Kawasan pusat kegiatan pemeritahan dan ekonomi ini telah menjadi bukan hanya saingan Pemerintahan Kesultanan Abdurrahman, tetapi juga kekuatan pengontrol terhadap hampir setiap aktivitas kesultanan ini. 3.2. Sultan Syarif Kasim Al-Qadrie, 1808 – 1819. Sultan Syarif Kasim, yang lahir 1767 adalah putera tertua Sultan Abdurrahman dengan Utin Candramidi. Sebelum menjadi Sultan Pontianak Kedua, 1808 – 1819, ia diangkat oleh ayahnya sebagai Panembahan Mempawah 1787 - 1790 yang dikehendaki oleh Batavia. Pengangkatan ini dimaksud untuk mengisi kekosongan sementara. karena Gusti Jamiril, Panembahan Adijaya Kusuma Negara, mengungsi bersama panglima perangnya, Tan Kapi, untuk menghindari peperangan dengan tentara Batavia yang dipimpin oleh Mayor Ambral dan Kapten Salpitsin. Kerajaan Mempawah dalam rentang waktu tersebut berada dibawah Kesultanan Pontianak, dan baru sekitar tahun 1854, kekuasaan pemerintahan kerajaan Mempawah pulih kembali. Kompeni Belanda semakin kuat menusukkan kuku-kuku kekuasaannya di tubuh Kesultanan Pontianak dan Mempawah. Hal ini terbukti tidak saja dari campur tangan Batavia di bawah Gubernur Jenderal Willem Arnold Alting dalam pengangkatan Syarif Kasim sebagai Panembahan Mempawah, tetapi juga dari terselenggaranya perjanjian yang dipaksakan pada 27 Agustus 1787 antara VOC dengan Syarif Kasim sebagai penguasa Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110). Perjanjian yang berat sebelah itu ternyata telah memperkuat kekuasaan imperalisme Belanda terhadap Kesultanan Pontianak dan Mempawah, dan sekaligus memperlemah kedudukan Sultan dikedua di kesultanan itu. Rasa tidak senang dan kekecewaan Sultan Syarif Abdurrahman terhadap puteranya, Syarif Kasim, bertambah besar dan disebabkan oleh beberapa hal: (1) usaha campur tangan Belanda terhadap Kesultanan Mempawah yang ternyata dipermulus jalannya oleh Syarif Kasim, tidak lain adalah strategi politik kolonial Belanda untuk mengadu domba Syarif Abdurrahman dengan puteranya; (2) Syarif Kasim, berdasarkan sumber Belanda (Rahman, 2000:110) diduga telah membunuh seorang Kapten kapal Inggeris, seorang nakhoda Jung Cina dan beberapa orang lainnya tanpa alasan jelas; (3) dan tindakan kekerasan dan tercela lainnya terhadap lawan-lawan politiknya. Tindakan negatif itu menyebabkan Syarif Kasim tidak diterima di Pontianak dan tidak mendapat restu dari Sultan Syarif Abdurrahman untuk mewaris tahta Kesultanan Pontianak menggantikannya. Sebaliknya, Syarif Abdurrahman telah berencana menunjuk Syarif Usman Alqadrie, putera dari isterinya bernama Nyai Kusumasari, sebagai Pangeran Ratu, calon Sultan Pontianak, untuk menggantinya. Ketika ayahnya mangkat, fihak istana, keluarga besar kesultanan Qadriah dan rakyat Pontianak, dengan penuh perasaan berat dan kekhawatiran, terpaksa menyetujui tradisi kerajaan menerima Syarif Kasim untuk menjalankan kekuasaan sebagai Sultan untuk sementara waktu, dengan pertimbangan: 1) Syarif Usman masih kecil dan merasa belum mampu menjalankan tugasnya sebagai Sultan; 2) Ia sangat menghargainya saudaranya, Syarif Kasim, yang lebih tua darinya; 3) Syarif Kasim berjanji hanya akan menjabat sebagai Sultan selama 10 tahun, dan selama itu ia akan melunasi hutang ayahnya. Sampai akhir kekuasaannya, Sultan Syarif Kasim tidak juga dapat memenuhi janjinya melunasi hutang ayahnya, bahkan ia banyak berhutang kepada pedagang Cina, kesultanan lainnya dan Kompeni Belanda, serta melakukan beberapa kesalahan lain. Kesalahan paling fatal adalah bahwa Belanda dapat menanamkan pengaruh kolonialismenya lebih dalam di Kalbar pada umumnya dan di Pontianak pada khususnya, karena atas permintaannya, berdasarkan catatan Rahman (2000:112), Pemerintah Kolonial Belanda menugaskan Komisaris Broek Holts bersama sejumlah serdadunya untuk datang ke Pontianak untuk melindunginya keamanannya. Kesalahan-kesalahan seperti itu harus dibayar mahal. Secara resmi Belanda berkuasa kembali di Pontianak sesudah pemerintahan Kolonial Inggeris di bawah Thomas Stanford Raffles, yang ditandai dengan berkibarnya kembali bendera Belanda di Pontianak pada 9 Agustus 1818. Syarif Kasim menandatangani perjanjian baru, yang sangat merugikan dan mengikat rakyat dan Kesultanan Pontianak, dengan Belanda di bawah Komisaris Nahuys pada 12 Januari 1819, dan di bawah Gubernur Jenderal Du Bus, Belanda membangun lagi benteng di Pontianak bernama Marianne’s Oord[11] (Rahman, 2000:112-113). Taktik Belanda mengikat para sultan di Kesultanan Pontianak ternyata berhasil, dan ini tampaknya, menurut Alvin So (1990: … - …) dan Gunder Frank, 1989), merupakan realisasi awal dari keserakahan Barat, dalam hal ini Belanda, untuk menciptakan ketergantungan kerajaan-kerajaan di timur yang sekarang dikenal dengan negara sedang berkembang (NSB) dengan menarik surplus ekonomi dari kawasan ini melalui hubungan eksploitatif. Akan tetapi, tidak sedikit keluarga besar kesultanan tidak setuju dengan “ketundukan” seperti itu terhadap Belanda, dan mereka yang “membangkang” meninggalkan istana dan membangun pemukiman sendiri bernama Kampung Luar (Alqadrie, 1984:84). 3.3. Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855). Syarif Usman Alqadrie menduduki jabatan Sultan Qadriah Pontianak Ketiga menggantikan Syarif Kasim dan pengangkatan ini mendapat dukungan dari sebagian terbesar rakyatnya. Alasan mengapa Sultan Usman mendapat dukungan baik dari keluarga besar Kesultanan Qadariyah dan sebagian besar rakyat Pontianak maupun dari Batavia antara lain adalah penghargaan atas kesetiaan dan kesabarannya menjadi Pangeran Ratu dan mengamankan kekuasaan Sultan Kasim selama 11 tahun. Ia dikenal jujur, dianggap dapat melunasi hutang-hutang ayahdanya, dan lebih umanah dan mampu untuk membangun kesultanan Qadriyah. Menyadari terbatasnya kemampuan militer yang dimilikinya, Sultan Syarif Usman hampir tidak berdaya menghadapi Belanda dengan persenjataan relatif lengkap walaupun ia mendapat dukungan dari sebagian terbesar kerabat kerajaan dan penduduk setempat. Ia melihat bahwa hampir tidak ada jalan lain kecuali sementara “mengikuti” keinginan Pemerintah Kolonial Belanda dengan meneruskan perjanjian yang telah dibuat pendahulunya, dengan menanda tangani perjanjian baru pada tahun 1819, 1822 dan 1823. Tiga buah perjanjian tersebut di atas yang sangat mengikat dan merugikan fihak kesultanan, rakyat dan dirinya antara lain adalah bahwa fihak kesultanan tidak lagi memiliki kekuasaan dan penghasilan sepenuhnya tetapi kekuasaan pemerintahan dan penghasilan kesultanan telah dibagi dua dengan Pemerintah Belanda di Batavia. Bahkan, menyusul lagi ketentuan baru, berdasarkan catatan Rahman (2000:118) Sultan tidak lagi mendapatkan separuh (50%) dari penghasilan kesultanan sebagaimana ketentuan sebelumnya, tetapi Sultan hanya diberikan tunjangan 42.000 gulden setiap tahun. Ketentuan ini tidak saja menimbulkan kerugian bagi fihak kesultanan secara material, tetapi juga merupakan penghinaan terhadap dan penghancuran martabat/marwah (dignity) kesultanan yang berdaulat dan memperoleh dukungan dari rakyat. Belanda memperlakukan sultan dan para pemuka Kesultanan Qadriah sebagai tidak lebih dari para pegawai dan buruh kontrakan yang makan gaji dari Belanda. Hal lain yang sangat memukul martabat kesultanan dan rakyat adalah diberlakukannya perjanjian 14 Oktober 1823 yang menetapkan bahwa kekuasaan pengadilan Belanda diperluas terhadap rakyat pribumi setempat disamping orang-orang Eropah dan Cina (Rahman, 2000:118). Ini bermakna bahwa Pemerintah kesultanan telah kehilangan kekuasaan dan ikatan terhadap rakyatnya. Kondisi penghancuran harga diri seperti ini ternyata telah menambah kebencian dan pembangkangan terhadap Belanda baik dari sebagian besar kerabat istana maupun dari tokoh/pemuka masyarakat, dan ini telah pula membesarkan Kampung Luar dan kampung-kampung lain sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda. Walaupun kesulitan dalam keuangan dan dalam menghadapi Belanda, berkat dukungan dari kerabat kesultanan dan rakyat, Sultan Usman mampu membangun kembali Mesjid Agung/Jami’ tahun 1821 yang pernah dirintis oleh ayahdanya Sultan Abdurrahman, dan melanjutkan membangun istana kesultanan beserta tiang bendera kesultanan pada 19 Januari 1845 yang masih dapat ditemui sampai sekarang. Cengkeraman kuku kolonialisme Belanda ke dalam setiap sendi kehidupan kesultanan dan rakyat Pontianak ternyata merupakan penghalang utama bagi obsesi Sultan Syarif Usman untuk membangun kesultanan Islam yang berwibawa dan sejahtera di Nusantara pada umumnya dan di Kalimantan pada khususnya. Alasan ini merupakan salah satu pertimbangannya untuk mengundurkan diri 5 (lima) tahun lebih awal dari seharusnya. Berdasarkan tata aturan kerajaan seorang raja baru akan diganti setelah ia wafat, Syarif Usman wafat tahun 1860 tetapi ia telah mengundurkan diri pada bulan April 1855. Lima tahun sisa waktu hidupnya digunakannya bergabung dengan para “pembangkang” untuk melawan Belanda. 3.4. Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855 - 1872). Syarif Hamid Alqadrie, lahir 1802, putera tertua Sultan Syarif Usman bin Syarif Abdurrahman Alqadrie, dari isterinya Syarifah Zahara, menggantikan ayahdanya pada April 1855 sebagai Sultan Qadriah Pontianak Keempat, wafat 22 Agustus 1872. Semasa pemerintahannya dan sebagai kelanjutan dari masa kekuasaan ayahdanya, wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda semakin luas, sebaliknya wilayah kekuasaan Kesultanan Pontianak menjadi berkurang, karena pada tahun 1856 Belanda mengadakan kembali perjanjian dengan Sultan Syarif Hamid, perjanjian mana masih tetap sangat merugikan rakyat dan kesultanan. Disamping meluasnya wilayah kekuasaan Kolonial Belanda, ada sesuatu kontradiktif yang tampaknya dibuat oleh Pemerintahan Batavia. Residen Borneo Barat, menurut catatan Rahman (2000:123), melalui Keputusannya 4 Januari 1857, memasukkan kembali distrik Cina di Mandor (sekarang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak) ke dalam wilayah Kesultanan Pontianak. Alasan formal dari penyerahan itu adalah sebagai imbalan atas “kebijaksanaan” Sultan Usman yang “tidak berfihak” atas kasus kekacauan kongsi cina di Mandor pada 1850. Motivasi penyerahan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh kesulitan Pemerintah Kolonialisme Belanda menghadapi perlawanan anggota sub kelompok etnis Dayak, anggota komunitas dan kongsi Cina terhadap Belanda yang sewenang-wenang menanam kuku kolonialismenya dan memonopoli dalam pengeksploitasian pertambangan emas di Mandor dan Monterado (sekarang terletak di Kabupaten Bengkayang). Kawasan sebelah barat Sungai Kapuas Kecil yaitu seberang sungai dari Kesultanan ini, yang secara de facto dan de jure dikuasai Belanda, semakin berkembang dan telah menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan residen Belanda di Kalbar. Taktik Belanda seperti ini, yang dimulainya sejak Pemerintahan Sultan Kasim, dilaksanakan terus dalam rangka memperkecil pengaruh Kesultanan Qadriah Pontianak serta mengucilkan Sultan Hamid. Untuk mengatasi kesulitan keuangan sebagai akibat dari perjanjian yang diterapkan Belanda hanya memberi penggajian kepada sultan, petugas kesultanan dan kerabatnya, Sultan Hamid menerapkan suatu pendekatan “kekeluargaan” terhadap petani kelapa di Sungai Kakap sehingga ia banyak memperoleh keuntungan dari sub sektor ini yang justru dianggap “merugikan” Belanda. Karena itu Belanda mendirikan semacam Persatuan Petani Kelapa diketuai oleh Syarif Abdurrahman untuk mengatur keserasian antara hukum kesultanan dengan hukum kolonial Belanda. 3.5. Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895). Putera tertua Sultan Syarif Hamid Alqadrie dari isterinya Syarifah Fatimah, yang bernama Syarif Yusuf Alqadrie, lahir 1850 dan wafat 15 Maret 1895 dalam usia 45 tahun, diangkat sebagai Sultan Pontianak Kelima menggantikan ayahdanya beberapa bulan setelah ayahdanya meninggal pada tahun 1872. Sultan Syarif Yusuf bin Syarif Hamid Alqadrie merupakan satu-satunya sultan di Kesultanan Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat kuat berpegang pada aturan agama, dan merangkap pula sebagai penyebar agama Islam. Oleh karena itu, sultan ini sangat terkenal dan dihormati oleh raja-raja di kawasan Kalimantan, Nusantara, bahkan sampai di luar negeri, sebagai kepala negara dari kerajaan Islam yang disegani kawan maupun lawan. Seperti kebiasaan Belanda sebelum-sebelumnya, begitu ayahdanya wafat dan ia naik tahta, 22 Agustus 1872, Belanda mengadakan lagi perjanjian baru dengan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie. Perjanjian itu antara lain mengatur bahwa kekuasaan kepolisian terhadap penduduk pribumi di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada kesultanan. Dengan persetujuan pejabat tinggi pemerintahan Belanda (Bestuur Ambenaar) untuk pertama kalinya kesultanan Pontianak diperkenankan memungut pajak di wilayahnya. Penyerahan kekuasaan polisi kepada kesultanan didasarkan pada fakta bahwa selama dipegang oleh Belanda, penduduk pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Ketika mereka melakukan apa yang disebut sebagai “pelanggaran” hukum, mereka menghilang dan bersembunyi ke hutan atau ke kawasan pedalaman, sehingga hanya fihak kesultanan yang dapat membujuk mereka untuk diadili. Penyerahan pemungutan pajak kepada kesultanan juga didasarkan pada pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda, karena hasil pajak itu tidak dinikmati sendiri oleh kesultanan tetapi dibagi dua dengan Belanda. Dimasa pemerintahan Sultan Syarif Yusuf, banyak pendatang (imigrants) Bugis/Makasar gelombang kedua berdatangan. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, petani dan pekebun, dan memilih bermukim di kawasan kesultanan, yaitu Kampung Dalam Bugis, Jungkat, Peniti, Wajok (sekarang termasuk kecamatan Siantan), dan Sungai Kakap serta sepanjang Sungai Jawi (sekarang bagian dari Kabupaten Potianak dan kota Pontianak). Pendatang lain berasal dari Banjar, Serasan, Sampit, Pulau Bangka, Belitung, Tambelan, Melaka, dan Kamboja sehingga kawasan pemukiman mereka masing-masing dinamai Kampung Banjar, Sampit, Bangka, Belitung, Serasan, Tambelan dan Kampung Kamboja. Para pendatang dari Banjar yang sangat terkenal adalah Haji Muhammad Kahfi datang tahun 1846 dan Haji Muhammad Yusuf tahun 1884 yang masing-masing mendirikan Kampung Banjar Serasan dan Kampung Saigon (Alqadrie, 1984:80) , karena isterinya adalah seorang wanita Vietnam. Kedatangan mereka sangat menguntungkan kesultanan baik secara psikologis, sosial, ekonomi dan politik, karena mereka dan keturunan mereka adalah pendukung setia kesultanan, mengindentifikasikan diri sebagai Melayu Pontianak, maupun secara material dan finansil merupakan sumber ekonomi berupa penghasilan atau pendapatan kesultanan. Mereka, terutama Bugis Makasar, datang ke kawasan kesultanan ini dimotivasi oleh faktor budaya (cultural factor), yaitu siri’ masiri’ (Alqadrie dalam Latif Usman, 2000:146-161), sehingga mereka menjadi petani sangat produktif dan pekebun yang mengusahakan tanam-tanaman tahunan (year-round trees) yang cepat menghasilkan uang (cash crops) sebagai tabungan hari depan. Paling kurang tiga hal penting terjadi pada masa pemerintahan Sultan Yusuf Alqadrie. Pertama, Belanda mengeluarkan Undang-Undang Boemi tahun 1870 yang mengizinkan pemilik modal membuka perkebunan dan mengelola hutan. Sejak saat itu sub sektor perkebunan karet di kawasan kesultanan ini mulai mengalami primadona, dan eksploitasi hutan mulai dilakukan. Modal swasta Belanda mulai berdatangan ke dalam dua sub sektor ini. Alasan utama keluarnya UU tersebut adalah bahwa Belanda memerlukan dana untuk biaya perang Aceh (1873-1907) dan perang Lombok (1894), dan bahwa UU itu merupakan alat kontrol dan penghancur mobilisasi, soliditas dan solidaritas rakyat, terutama sub kelompok etnis Melayu, Dayak, Bugis, Banjar, keturunan Arab, yang dicurigai terpusat di luar kota kesultanan (luar bandar) khususnya di kawasan hutan dan pedesaan, dengan memasukkan penduduk dari Pulau Jawa, Ambon dan Nusa Tenggara Timur. Kedua, Sultan Yusuf semakin kehilangan kekuatan dan kekuasaannya, karena ia tidak memiliki kekuatan maritim, seperti kapal perang dan persenjataan lengkap yang dapat dihandalkan. Padahal secara geopolitik dan geostrategis, pertahanan dan kekuatan Kesultanan Pontianak terletak pada maritimnya yang didukung oleh armada kapal perangnya. Ketiga, pada 10 Agustus 1886 dibuat pula perjanjian perbatasan Kesultanan Pontianak dan kerajaan Landak ditandatangani oleh Sultan Yusuf Alqadrie dan Pangeran Kusuma Dinata, Wakil Panembahan Landak, dengan disaksikan oleh Residen Belanda. Perjanjian itu mengkhiri pertikaian antara kedua kerajaan itu. 3.6. Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944). Putera tertua Sultan Syarif Yusuf Alqadrie dan Syarifah Zahra Alqadrie -- Syarif Muhammad bin Syarif Yusuf Alqadrie, lahir 8 Januari 1872, diangkat sebagai Sultan Pontianak Keenam pada tanggal 6 Agustus 1895 ketika ia masih berumur 23 tahun. Syarif Muhammad merupakan sultan terakhir dari dinasti Alqadrie yang berkuasa dan memimpin pemerintahan pada masa pemerintahan kolonialisme Belanda. Sultan dari generasi selanjutnya, tidak lebih hanya merupakan seseorang yang ditunjuk sebagai ketua atau kepala dari istana yang mewakili kerabat atau keluarga besar untuk kelanjutan dinasti dan budayanya. Bahkan menurut beberapa penulis sejarah (Rahman, 2000:138; Alqadrie, 1979:89) Syarif Muhammad adalah sultan yang mewarisi sisa-sisa kekuasaan yang “diberikan” Belanda. Enam belas tahun kekuasaannya, 23 Juni 1911, Belanda memaksakan perjanjian baru kepada Muhammad yang dilaksanakan 26 Maret 1912. Isinya (Rahman, 2000:138) antara lain adalah: (1) Pemerintah Hindia Belanda secara aktif menentukan personalia kesultanan; (2) Belanda memberlakukan Hukum Pidana dan Perdata di lingkungan kesultanan; (3) Seluruh pegawai kesultanan digaji oleh pemerintah Belanda. Dua hal mendasar terkandung di dalam perjanjian yang sangat mengikat ini adalah: pertama, apa yang disebut globalisasi yang berkarakter penundukan dan penciptaan ketergantungan di Indonesia, khususnya di sektor hukum, sebenarnya dimulai di Kesultanan Pontianak pada 1912[12]; kedua, perjanjian ini tidak lain menghancurkan martabat atau marwah (dignity) kesultanan dan rakyat Pontianak, karena para anggota kesultanan dianggap sebagai pegawai rendahan pemerintah Hindia Belanda. Apapun bentuknya, penjajahan adalah penghancuran martabat dan hak-hak asasi manusia. Meskipun kekuasaannya secara de jure berkurang dan harga diri kesultanan semakin direndahkan Belanda, namun kewibawaan dan pengaruh Sultan Muhammad tetap diakui di hati rakyat. Hal ini antara lain disebabkan pergerakan nasional dan moderenisasi di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik, seperti pendirian yayasan perguruan/pendidikan, kesehatan, kebudayaa dan kesenian, serta organisasi social dan politik, dilaksanakan oleh sultan sendiri, kerabat kesultanan, tokoh masyarakat, yayasan/organisasi Islam, misi Katolik, zending Protestan, dan sebagainya. Kesemua ini telah mendukung peran dan otoritas sultan yang menyebabkan antara lain masa kekuasaan Sultan Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, dibanding dengan masa pemerintahan enam sultan lainnya di kesultanan ini. Sultan Syarif Muhammad, yang memerintah dalam dua zaman, Belanda dan Jepang, telah mendorong terjadinya banyak perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia pertama kali berpakaian kebesaran Eropah sebagai pakaian resmi disamping pakaian Melayu dan mendorong berkembangnya pendidikan dan kesehatan. Di bidang ekonomi, ia melaksanakan perdagangan dengan dalam dan luar negeri seperti dengan Kerajaan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, Banjarmasin, Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, dan India. Ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropah dan Cina. Khususnya di sektor pertanian dan industri, Sultan Muhammd mendorong petani Melayu, Bugis, Banjar dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa untuk diekspor ke luar negeri. Dalam bidang politik, ia memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat lainya. Peranannya dan kegiatan masyarakat dalam kegiatan di bidang terakhir ini menyebabkan Sultan Mohammad dicurigai dan dibenci oleh dua pemerintahan -- Belanda dan Jepang ketika Nusantara masih dikuasai masing-masing oleh pemerintahan kolonial Belanda dan oleh pemerintahan bala tentara Fasis Jepang sejak 1942 – yang berdampak negatif yaitu diperketatnya kontrol pemerintah kolonial Belanda terhadap hampir semua kegiatan dan sektor kehidupan rakyat, dan ditangkap dan dibunuhnya 30 orang kerabat kesultanan, para pemuka, pemimpin dan tokoh masyarakat Pontianak yang semuanya berjumlah sekitar 10.000 ( Yanis, 1983: 170-182; Alqadrie, 1984:65) oleh Militer Fasis Jepang, termasuk Sultan Muhammad serta ayah penulis makalah ini, Syarif Akhmad Alqadrie. Sultan Muhammad ditangkap Balatentara Jepang pada malam hari Senin, 24 Januari 1944. Penangkapan pada gelombang berikutnya dilakukan Balatentara Jepang terhadap tokoh, pemuka masyarakat dan cendekiawan, dan mereka dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Juni 1944. Dua tahun kemudian tempat dimana jenazah Sultan Muhammad dikuburkan baru dapat ditemukan (Rahman, 2000:146,155; Yanis, 1983: 182-183), dengan petunjuk dari seorang penggali kuburannya bernama Mat Kapang yang selamat dari pembantaian Jepang (Rivai, 1995:26).
3.7. Sultan Syarif Thaha Alqadrie (Agustus – Oktober 1945). Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad, beserta para kerabat istana, tokoh dan pemuka masyarakat Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, yang dikenal dengan Peristiwa Mandor, ternyata menghancurkan semangat, mental dan moril keluarga besar kesultanan, bahkan masyarakat Pontianak dan Kalbar. Ternyata adalah sangat sulit mencari pengganti Sultan Syarif Muhammad Alqadrie untuk diangkat sebagai sultan, karena beberapa penulis (Rahman, 2000: 146-153; Yanis, 1983: 172-182, Rivai, 1995: 24-27, Alqadrie, 1984:64) memperhitungkan sejumah 30 orang kerabat istana yang dekat dengan lingkaran kekuasaan dan sekitar 24 orang terdiri dari sultan atau panembahan, tokoh, pemuka masyarakat dan cendekiawan Kalbar, dan Pontianak khususnya, dari berbagai anggota kelompok etnis, termasuk Cina keturunan, juga menjadi korban keganasan Balatentara Fasis Jepang. Rapat di istana Qadriah tanggal 29 Agustus 1945 untuk mencari pegganti Sultan Syarif Muhammad yang dihadiri oleh Majelis Kerajaan (Zitiryo Hyogikai), wakil dari pemerintah balatentara Jepang, para tokoh/pemuka masyarakat, cendekiawan Pontianak, dan kerabat istana yang luput dari pembunuhan, akhirnya memutuskan bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua Sultan Muhammad dari puteri keduanya bernama Syarifah Fatimah gelar Ratu Anom Bendara, dilantik sebagai Sultan Qadriah Pontianak Ketujuh. Sebenarnya pengganti Sultan Syarif Muhammad, berdasarkan tata krama tradisional kerajaan, seharusnya adalah salah seorang dari 5 (lima) puteranya, tetapi 4 (empat) puteranya, menurut catatan Ansar Rahman (2000:154,173) dan Mawardi Rivai (1995:25-26) juga menjadi korban keganasan Jepang. Seorang puteranya yang masih hidup, bernama Syarif Hamid Alqadrie -- perwira KNIL -- sedang berada dalam tahanan Jepang di Batavia. Pengangkatan Syarif Thaha sebagai sultan disetujui oleh sebagian kerabat istana termasuk Syarifah Maryam -- bibi atau kakak/embakyu bundanya -- puteri tertua dari Sultan Muhammad, oleh para pemimpin, tokoh pergerakan, sebagian masyarakat dan pemukanya, serta wakil pemerintaha Jepang yang masih berada di Pontianak. Berbeda dengan kakekdanya, Sultan Syarif Muhammad yang masa kekuasaannya merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, masa pemerintahan Sultan Syarif Thaha, sangat pendek, hanya sekitar 3 (tiga) bulan. Dalam masa pemerintahanya, kondisi Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, masih tidak stabil. Berita tentang kemerdekaan NKRI dan penyerahan Jepang kepada sekutu terlambat diterima di Pontianak. Tiga dari beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam menyambut kemerdekaan adalah: (1) Berita tentang kedatangan tentara Sekutu untuk melucuti tentara Jepang; (2) Pasukan kelompok etnis Dayak dipimpin oleh Panglima Burung memasuki Pontianak menuntut diangkatnya Sultan Pontianak untuk menghindari kekosongan kekuasaan; (3) Masyarakat Pontianak gelisah, karena anggota komunitas keturunan Cina membentuk pasukan penjaga keamanan (PKO) sendiri dan ada isu bahwa tentara Cina akan mendarat di Pontianak. Berbeda dengan masyarakat keturunan Arab yang banyak berbaur dengan masyarakat setempat, mengikuti organisasi pergerakan dan berorientasi pada kepentingan dan identitas penduduk mayoritas, sebagian besar anggota komunitas keturunan Cina tampaknya memiliki jarak dengan masyarakat setempat. Padahal, pada pola pembauran ala Filipina, mereka membaur dan masuk ke dalam kehidupan budaya mayoritas penduduk setempat yang beragama Katolik. Di Indonesia pada umumnya, di Kalbar dan di Pontianak lebih khusus lagi, kalaulah mereka bersedia masuk ke dalam agama yang dianut oleh penduduk mayoritas -- saudaranya kelompok etnis Melayu, Bugis dan Banjar, maka pembentukan PKO yang merisaukan saudaranya tidak perlu terjadi. Jarak antara mereka -- anggota kelompok etnis keturunan Cina dan penduduk setempat -- tidak dengan sendirinya berarti tidak ada komunikasi dan interaksi antara mereka. Batas-batas budaya (atau eksklusivitas = tambahan penulis), menurut pengamatan Baarth (1996:…..), dapat terjadi, walaupun anggota kelompok etnis saling berbaur, perbedaan antar etnis tidak ditentukan oleh terjadi tidaknya pembauran, kontak dan pertukaran informasi, tetapi lebih disebabkan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan atau penyatuan. Anggota kelompok etnis keturunan Cina di Pontianak pada saat kekosongan kekuasaan yaitu tidak adanya/ tidak jelasnya siapa pengganti Sultan Muhammad tampaknya merasa tidak aman. Selama pemerintahan dinasti Al-Qadrie mereka merasa aman dan terlindungi. Selain itu, mereka juga memiliki loyalitas cukup tinggi baik kepada kesultanan maupun kepada NKRI yang segera akan terbentuk. Ini terbukti bahwa pada Peristiwa Mandor tidak sedikit tokoh dan pemuka masyarakat keturunan ini ikut menjadi korban keganasan balatentara Jepang (Yanis, 1983: 172-182, 219-221; Rivai, 1995: 24-27). Masuknya pasukan Dayak ke Pontianak untuk menuntut diangkatnya Sultan Pontianak menunjukkan paling tidak tiga hal: (1) Sejak lama anggota kelompok etnis Dayak yang terdiri dari bermacam-macam sub kelompok (anak suku) memiliki tanggung jawab dan komitmen yang besar terhadap jalannya pemerintahan dan kemajuan daerah ini. Mahrus Effendy (1998:123) mencatat bahwa kedatangan pasukan Dayak ini menunjukkan kesetiaan mereka terhadap kesultanan; (2) Adanya integrasi, pembauran yang kuat antara berbagai kelompok etnis, terutama keturunan dan keluarga besar kesultanan dengan anggota kelompok etnis Dayak; (3) Adanya perasaan satu keluarga, satu ibu, antara kelompok etnis Dayak dan Melayu. Perasaan bersaudara itu tidak akan pecah oleh intervensi politik praktis. Kedatangan tentara Australia atas nama sekutu dibawah Kolonel Cotton bersama pasukan Belanda untuk melucuti tentara Jepang menambah suasana Pontianak menjadi kacau, karena mereka dating ke Pontianak ternyata ingin mengembalikan kekuasaan Belanda. Mereka menaikkan bendera Belanda di Kantor Residen. Keinginanan ini ditantang oleh Pemuda Perjuangan Republik Indonesia (PPRI) dan Rakyat dengan berdemonstrasi diberbagai tempat. Kondisi serba kacau ini menyulitkan Residen Asikin Noor dan Syarif Thaha memimpin Pontianak. Gubernur Jenderal Belanda mengangkat Dr. Van der Zwaal tanggal 22 Oktober 1945 sebagai Residen Kalbar, sedangkan Asikin Noor dikembalikan ke Banjarmasin. Ia juga mendatangkan Sultan Syarif Hamid II yang telah dibebaskan dari tawanan Jepang ke Pontianak untuk menjabat sebagai Sultan Pontianak. Dengan pertimbangan masih sangat muda dan Sultan Hamid II adalah pamannya sendiri, Sultan Syarif Thaha menyerahkan jabatan sultan kepada Sultan Syarif Hamid II, walaupun ada fihak yang pro dan kontra dengan keputusannya itu, namun sebagaimana diakui Syarif Thaha sendiri (Alqadrie, 1979: 55; 1984:64) kesediaannya menjabat Sultan Pontianak adalah untuk sementara waktu demi mengisi kekosongan sampai kembalinya Syarif Hamid dari Batavia, sebagai pewaris syah tahta kesultanan Pontianak. 3.8. Sultan Syarif Hamid II Alqadrie (1945 – 1950). Syarif Hamid bin Syarif Muhammad Alqadrie, lahir di Pontianak 12 Juli 1913, adalah putera sulung Sultan Syarif Muhammad Alqadrie dari isteri ketiganya Syecha Jamilah Syarwani. Ia mendapat pendidikan yang sangat baik tidak hanya dalam pendidikan formal di dalam negeri di Pontianak dan kebanyakan di jawa dan di luar negeri, tetapi juga informal, berupa sekolah agama Islam, dan non formal, berupa pengasuhan dari keluarga wanita Inggeris. Pada tahun 1933 Syarif Hamid memasuki Akademi Militer Belanda (Koningkelijk Militair Academie/KMA), Breda. Begitu lulus pada tahun 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua, dan dalam karir kemiliterannya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya di Pulau Jawa (Rahman, 2000: 172). Begitu Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942, Syarif Hamid Alqadrie ditahan di penjara Batavia, dan baru dibebaskan ketika Jepang menyerah dan tentara sekutu memasuki Indonesia pada permulaan 1945. Ia diaktifkan kembali sebagai perwira KNIL dengan pangkat Kolonel, suatu pangkat tertinggi pada saat itu yang diberikan kepada putera Indonesia kelahiran Pontianak. Sekeluar dari penjara, ia langsung kembali ke Pontianak, karena keprihatinannya dengan kondisi Kesultanan Pontianak dan Kalbar yang kacau balau pada saat itu. Syarif Hamid dilantik sebagai Sultan Pontianak Kedelapan yang dikenal dengan Sultan Hamid II, pada 29 Oktober 1945. Pengangkatannya sebagai sultan diikuti beberapa kontroversi antara kemauan sebagian besar rakyat Kalbar, termasuk keinginan masyarakat Dayak, agar siapapun tampi sebagai sultan dari dinasti Al-Qadrie, Syarif Thaha atau Syarif Hamid Alqadrie, agar pemerintahan kesultanan tidak kosong. Ia meninggalkan jabatan baik sebagai sultan terakhir dari dinasti Alqadrie maupun sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalbar (D.I. KB) pada 5 Januari 1950. Dua dari beberapa kekecewaan yang menyebabkan ia mengambil keputusan meninggalkan jabatan dan kota Pontianak adalah kekecewaannya menghadapi demonstrasi para pemuda yang digerakkan oleh sebagian tokoh masyarakat pendukung RI menuntut dibubarkannya D.I. KB. Padahal, penolakan ini merupakan ketidaktahuan masyarakat tantang status D.I. KB[13]. Kekecewaan berikutnya adalah ketika Komite Nasional Kalbar pada 5 Januari 1950 memilih dr. Sudarso sebagai kepala daerah, karena Sultan Hamid II dianggap telah “meletakkan” jabatan dan telah duduk sebagai Menteri dalam Kabinet RIS. Sultan Hamid II wafat di Jakarta tanggal 30 Maret 1978. 4. Pola Tingkah Laku Politik Lokal dan Politik Nasional Kaitannya dengan Kesultanan Pontianak. Sangat tidak beruntung, kelahiran kesultanan Qadriah Pontianak tahun 1772 bersamaan pula dengan telah berpijak dan bercokol sangat kuatnya kolonialisme dan imperialisme Barat, sehingga kehidupan dan perkembangan kesultanan ini ditekan dan diarahkan bagi kepentingan imperialisme tersebut. Ini berarti bahwa hubungan, Kesultanan Pontianak dan Sultan serta para kerabat istana dan rakyatnya, disatu fihak, dengan pemerintah kolonialisme Belanda bersama pejabatnya, dilain fihak, menunjukkan hubungan imperialistis, tidak seimbang dan eksploitatif. Menghadapi ini, hampir semua sultan dan para pembantunya tampaknya “menerima” perlakuan tidak adil ini “tanpa” banyak reaksi dan oposisi, sehingga ada kesan Kesultanan Pontianak bersekutu dengan bahkan mendukung pemerintahan penjajahan Belanda. Padahal “penerimaan” dan “ketundukan” itu lebih bersifat sementara dan merupakan strategi untuk menghindari konflik militer langsung antara kedua fihak yang berakibat kehancuran lebih buruk lagi. Hal ini menimbulkan 2 (dua) sikap dasar yang membentuk 2 (dua) kelompok berbeda di kalangan kerabat istana dan rakyat: Kelompok pertama menunjukkan sikap penentangan keras terhadap pemerintahan Belanda, sultan dan pembantunya yang berkuasa saat itu. Kelompok kedua lebih kompromistis terhadap Belanda dan sultan, atas perjanjian memberatkan rakyat dan menghinakan kesultanan. Para sultan tidak mempunyai pilihan lain, karena kesultanan tidak memiliki persenjataan sekuat dan secanggi yang Belanda miliki untuk melawannya. Kelompok pertama bergabung dan membentuk pemukiman sendiri yang sampai sekarang disebut Kampung Luar sebagai simbolisasi dari “ke luar dari lingkungan istana” untuk menentang kebijakan tidak adil, atau mencari pemukiman lain di luar kedua tempat itu – lingkungan istana atau Kampung Dalam dan Kampung Luar, baik di kawasan yang sekarang disebut Kota Pontianak dan sekitarnya, biasanya di kawasan Barat dan Selatan, maupun di luar kawasan kesultanan Pontianak yang sekarang di Kawasan Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak dan kabupaten-kabupaten perhuluan (the interior upland areas). Sikap seperti ini ditunjukkan oleh Sultan Syarif Usman, yang mengundurkan diri dari jabatannya sebelum ia wafat sebagai protes terhadap Belanda. Pangeran Bendahara Syarif Ja’far -- paman Sultan Syarif Muhammad -- melancarkan protes dan penolakan terhadap penetapan pajak (belasting) yang tidak adil dan terlalu memberatkan rakyat, ia diusir Belanda dari Pontianak dan memutuskan untuk merantau ke Mekah dan meninggal di sana. Pangeran Adipati Syarif Husin -- paman Sultan Muhammad -- menunjukkan penentangannya baik terhadap ponakannya sendiri, yang dianggap tidak bersikap kritis terhadap Belanda dan memasukkan cara-cara dan etika Barat ke dalam istana, maupun terhadap Belanda yang menetapkan kerja rodi dan pajak yang menekan rakyat. Ia aktif dalam pergerakan nasional, bertemu dengan dr. Susilo di Banjarmasin untuk menyusun strategi menentang Belanda dan Jepang, mengorganisir perlawanan dari Desa Tanjung Saleh, Kecamatan Sungai Kakap, sehingga luput dari penangkapan Belanda dan Jepang. Ia tidak menjadi korban keganasan Jepang sebagaimana diduga oleh Ansar Rahman, dkk. (2000:146). Syarif Maswar Al-Hinduan sangat antipati kepada Belanda dan bergabung dengan Partai Indonesia Raya (Parindra) kemudian PNI/PDI. Banyak lagi kerabat kesultanan sebagai “pemberotak” terhadap Belanda, Sultan Kasim dan Sultan Muhammad, meninggalkan istana dan kawasan kesultanan. Keturunan mereka tersebar di seluruh Kalbar dan kawasan Nusantara dan menjadi orang-orang kritis, berwawasan Nusantara dan mencapai kemajuan dalam sektor pendidikan dan ekonomi. Kurang lancarnya interaksi social antara Sultan Abdurrahman dengan puteranya Syarif Kasim antara lain disebabkan Sultan Abdurrahman dengan usul dari Belanda mengangkat Syarif Kasim sebagai Sultan di Mempawah dan tidak mengijinkannya menjadi sultan di Pontianak. Hal ini didasari oleh tiga hal: (1) Ketika ayah mertuanya – Opu Daeng Menambon – wafat, calon penggantinya -- Adi Wijaya -- masih kecil, pengganti sementara yang tepat adalah Syarif Kasim; (2) Pada saat itu, Sultan Abdurraman ditekan oleh Belanda untuk menguasai Mempawah. Gabungan pasukan Kesultanan Pontianak dan Belanda dengan dipimpin oleh Mayor Ambral dan Kapten Selpitsin, dapat menguasai Mempawah tanpa peperangan berarti, karena Panembahan Adijaya Kesuma Negara mengungsi ke Karangan (Rahman, 2000:109; Haji Yahya, 1999:228). Mempawah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pontianak sampai tahun 1854; (3) Persetujuan Sultan Abdurrahman mengangkat putera-puteranya Syarif Kasim sebagai Sultan Mempawah dan Syarif Usman sebagai Sultan Pontianak berdasarkan konsep putera daerah. Ibu Syarif Kasim adalah Utin Candramidi, keturunan Dayak Mempawah puteri Sultan Daeng Manambon. Adapun ibu Syarif Usman adalah Ratu Kusumasari, keturunan Dayak Pontianak. Konsep ini ditambah dengan konsep arsitektur yang, menurut pemikiran Dian Alqadrie (2004), dilandasi oleh factor geografis -- letak Mempawah adalah di kawasan air/laut, sedangkan letak Pontianak adalah darat/hutan -- sehingga Syarif Kasim seharusnya mengabdi di Mempawah dan Syarif Usman seyogyanya berkuasa di Pontianak. Syarif Kasim yang menjadi Sultan di Mempawah tidak diijinkan oleh Sultan Abdurrahman baik untuk datang ke Pontianak maupun untuk meggantikan kedudukannya sebagai sultan Pontianak setelah ia wafat. Menurut versi Belanda (Vert Ofert, dalam Rahman, 2000: 110) kekecewaan Sultan Abdurrahman kepada puteranya itu disebabkan ia telah membunuh seorang Kapten kapal Inggeris, Nakhoda kapal Cina dan berhutang sebesar 30.000 peso Spanyol. Akan tetapi kenyataannya kekecewaan itu disebabkan Syarif Kasim melaksanakan perjanjian dengan Belanda berkaitan dengan Mempawah. Ini merupakan politik pecah belah Belanda (devide et impera politics). Namun, Syarif Kasim akhirnya diangkat juga sebagai Sultan Pontianak Kedua dengan persetujuan dari Adiknya, Syarif Usman, yang bersedia menjadi Pangeran Ratu setelah Syarif Kasim berjanji hanya memerintah 10 tahun saja. Ia meninggalkan Mempawah dan diganti oleh adiknya Syarif Hussein, putera Sultan Abdurrahman (Haji Yahaya, 1999:228) sampai pangeran Adi Jaya dewasa dan siap untuk menjadi Sultan di Mempawah. Keputusan Sultan Kasim dan Sultan Hussein mengembalikan pemerintahan Mempawah ke tangan pewarisnya yang paling berhak, Pangeran Adijaya, merupakan salah satu kesadaran politik untuk menciptakan kesetiakawanan antara kesultanan di kawasan tersebut dalam menghadi Belanda. Ini juga merupakan realisasi dari Konsep Putera Daerah yang telah lama dijadikan prinsip dalam pengangkatan seorang pemimpin. Sekarang konsep tersebut telah dikembang oleh Syarif Ibrahim Alqadrie (2000) untuk mengatasi ego local/regional (provincialism/ethnocentrism). Selain itu, Kesultanan Mempawah adalah cikal bakal dari Kesultanan Pontianak yang harus diakui kebeeradaannya. Ada kesan bahwa Sultan Syarif Kasim tidak menepati janji karena ia baru menyerahkan kekuasaannya setelah 11 tahun kepada Syarif Usman, dan bukan 10 tahun sesuai dengan janjinya. Keterlambatannya setahun kenyataannya digunakannya untuk menghadapi masa transisi antara masa kekuasaan Inggeris pada 1811 – 1816 ke masa kekuasaan Belanda, agar adiknya, Syarif Usman, yang belum begitu dewasa tidak banyak mengalami kesulitan dalam menjalankan kekuasaan. Berdasarkan sumber British Library (Dalam Rahman, 2000:111 dan Alqadrie, 1984:76) Sultan Syarif Kasim memiliki hubungan erat dengan Inggeris di bawah Gubernur Jenderal Thomas S. Raffles, bahkan juga dengan Pemerintah Hindia Belanda ketika ia mendapat pengakuan dari Batavia setelah Inggeris menyerahkan kembali Indonesia (Hindia Belanda = dahulu) kepada Belanda. Pola politik nasional yang berkaitan dengan Kesultanan Pontianak, khususnya bersinggungan langsung dengan Sultan Hamid II adalah kontroversi mengenai persepsi hubungan Sultan Hamid II dengan Pemerintah Republik Indonesia setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan dengan Belanda. Karena keprihatinannya terhadap kondisi Kalbar Syarif Hamid kembali ke Pontianak. Kesempatan itu digunakannya untuk menggantikan ponakannya, Syarif Thaha Alqadrie, menjadi Sultan Pontianak, melanjutkan obsesi leluhurnya untuk membangun Kalbar umumnya dan Pontianak khususnya. Namun, seperti disinyalir oleh beberapa penulis (Iskandar, 1991:65); Rahman, 2000: 173-175) bahwa Syarif Hamid -- seorang tokoh yang memahami Kalbar -- didukung untuk berkuasa di Pontianak oleh Van Mook yang memanfaatkannya untuk memecah belah Indonesia, lalu “berkomplot” dengan Belanda untuk “menghancurkan” Republik Indonesia, adalah kurang tepat dan tidak beralasan sama sekali. Obsesinya yang sebenarnya, menurut Persaja (1955:163-164) adalah bahwa kedatangan dan dilantiknya Sultan Hamid II sebagai sultan Pontianak Kedelapan merupakan kehendak rakyat dan setelah langsung berhubungan dengan rakyat, ia, sebagai kepala swapraja, menjadi lebih mengetahui bahwa cita-cita kemerdekaan telah meresap di hati sanubari rakyatnya. “Dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa (dan menciptakan kesejahteraan rakyat khususnya rakyat di daerah ini = tambahan penulis),” lanjut Prasaja (1955:164), “timbullah keyakinan saya,” bahwa ‘bentuk federalisme itulah yang paling baik bagi negara kita’ ……..” Inilah wacana pemikiran politik Sultan Hamid II yang berkeinginan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bentuk federasi/negara serikat. Pemikiran politik seperti ini seharusnya dihargai kalau bangsa ini ingin menjadi bangsa yang yang dimulai dengan gagasan dan ide-ide besar. Sekarang ide besarnya itu baru dapat ditangkap rakyat Kalbar, dan bahwa kesenjangan, ketertinggalan daerah dari Pusat dan Jawa, dan kekecewaan daerah disebabkan justru bangsa ini terlalu takut dengan sistem pemerintahan seperti Malaysia – yang lebih mampu memakmurkan rakyatnya, dan sistem yang lebih mengandung keadilan adalah sistem yang mengandung otonomi khusus atau daerah istimewa. Kekeliruan Sultan Hamid II boleh jadi terletak pada fakta bahwa ide atau pemikiran politik walaupun masih dalam wacana, ternyata baru bisa digulirkan -- itupun masih belum terlalu aman – di negeri Pancasilais ini, setelah era reformasi, tahun 1998 (setelah 52 tahun). Wacana ini digulirkannya ketika bangsa Indonesia baru saja selesai mengalami trauma -- diperbudak bangsa lain -- selama lebih kurang 350 tahun, dan bahkan pada saat “hantu-hantu” penjajahan seperti Van Mook, Van der Zwaal, bergentayangan menciptakan negara-negara bagian, dan pengkhianat-pengkhianat Indonesia, termasuk di Kalbar, bersedia memperoleh upah dari Jepang dan Belanda untuk tega mengorbankan saudaranya. Kita bisa membayangkan apa yang akan diterima Sultan Hamid II dengan mengeluarkan gagasan besar seperti itu. Kekeliruan lainnya mungkin terletak pada: (1) kekuasaannya sebagai Sultan di Pontianak didukung oleh Belanda; (2) ia aktif memperjuangkan gagasannya bekerjasama dengan negera-negara bagian lainnya di Indonesia -- sehingga ia sering dicurigai sebagai penghianat; (3) ia sering mengikuti konferensi federal di dalam dan di luar negeri baik mewakili Kalbar, Republik Indonesia (RI) atas nama Sukarno - Hatta, maupun Badan Penyelesaian Pertentangan Politik Antara Belanda, Negara Bagian dan R.I. (Bijeenkomst voor Federal Overleg/BFO) yang Syarif Hamid sendiri adalah ketuanya; dan (4) kekurang pengertian dan wawasan sebagian tokoh masyarakat dan pemuda di Kalbar dan di Pontianak terhadap tujuan gagasan politiknya, sehingga sebagian mereka menolak dan menentangnya. Padahal ide politiknya tidak lain adalah prediksinya tentang bahaya sentralisme yang mengandung unsur ketidakadilan, keserakahan dan marginalisasi Pusat terhadap daerah. Hal terakhir ini merupakan kekecewaan pertamanya terhadap Pusat dan daerahnya sendiri. Sebenarnya Pemerintah Pusat dapat melihat peranan Sultan Hamid II dengan BFOnya saat itu. Beberapa kali Sukarno - Hatta mengadakan perundingan dan pendekatan dengan Badan BFO, pertama di Bangka 28 Mei 1948, kemudian di Yogyakarta 19 Juli, dan dilanjutkan di Jakarta, 23 Juli 1948 (Rahman, 2000:175-178), untuk bersepakat sebelum RI, negara-negara bagian dan BFO -- dimana Sultan Hamid II menjadi ketua delegasi -- menghadapi Konferensi Meja Bundar di Belanda. Bahkan Presiden Sukarno dan Wakilnya Hatta memanfaatkan BFO dan merangkul Sultan Hamid II ke meja perundingan bersama-sama Belanda. Ini adalah strategi Sukarno - Hatta untuk menyatukan Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada ahirnya, tahun 1950 negara-negara bagian, termasuk Kalbar, membubarkan diri, dan terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peranan Sultan Hamid II dan BFOnya cukup besar, karena dalam menyelesaikan perselisihan politik antara R.I., Belanda dan negara-negara bagian, ia berpengaruh terhadap sejumlah pemimpin Belanda dan kepala negara-negara bagian dan cenderung berada di fihak R.I. Tidak lama menjadi Sultan, pangkat Sultan Hamid dinaikkan menjadi Mayor Jenderal, ia juga mendapat jabatan kehormatan sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij H.M. Koningen der Nederlander). Ini merupakan pangkat dan jabatan tertinggi yang diperoleh seorang putera Indonesia dalam usia 33 tahun dalam Pemerintahan Belanda. Namun, peranannya sebagai ketua BFO, juru runding yang berfihak pada R.I., reputasi dalam ketentaraan serta keberhasilannya dalam mengamankan Kalbar, tidak menjadi pertimbangan pemerintah R.I. saat itu untuk memberinya jabatan sesuai dengan kemampuannya. Sultan Hamid II hanya diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio (bukan Menteri Departemen), walaupun ia menjadi anggota penyusun Kabinet bersama Muhammad Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX dan Anak Agung Gede Agung. Inilah kekecewaannya yang kedua. Ia mengakui, menurut Persaja (1955:179), sebagai Menteri Negara, ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan membikin rencana lambang negara (Garuda Pancasila),[14] tidak ada tugas lain sampai ia ditangkap. Kekecewaan Sultan Hamid II lainnya adalah: (1) Realisasi bentuk negara RIS tidak seperti diharapkan oleh BFO dalam mana organisasi ini tidak menduduki posisi penting dalam Kabinet RIS; (2) Ia kecewa tidak berhasil menduduki jabatan Menteri Pertahanan, padahal reputasi dan karir kemiliterannya terpenuhi. Ada keberatan dari fihak R.I., namun, ia dapat memahami dan menerima keberatan itu; (3) Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI dalam APRIS;[15] (4) Terakhir adalah kekecewaannya menghadapi unjukrasa sebagian tokoh, pemuka masyarakat dan pemuda yang menuntut pembubaran Daerah Istimewa Kalbar, penunjukan dr. Sudarso oleh komite Nasional Kalbar sebagai Kepala Daerah Kalbar, karena Sultan Hamid II dianggap telah meletakkan jabatan sebagai kepala daerah. Itulah salah satu alasan mengapa Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai kepala daerah sekaligus sebagai Sultan Pontianak, disamping ia dihukum penjara 10 tahun. Ia harus membayar mahal atas ide besarnya dalam politik yang dipertahankannya secara konsekuen dan atas kesenjangan pemikiran atau wawasan antara dia dan pemuka masyarakat di daerahnya sendiri, sehingga setelah 48 tahun menjelang era reformasi mereka baru menyadari faktor utama ketertinggalan, keterpinggirkan dan kemiskinan daerah ini dalam segala bidang yang kesemuanya telah dari dulu telah diantisipasi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Alqadrie, Dian Roossandra. 2004. Pola Perkembangan Ruang Kota Pontianak. Tesis Magister Sains Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik. Universitas Gajah Mada (UGM). Yogyakarta: Fakultas Teknik, UGM.
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1979. Kesultanan Pontianak di Kalimatan Barat: Dinasti dan Pengaruhnya di Nusantara. Hasil Penelitian Sejarah didanai oleh (sponsored by) Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DP3M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), RI. Jakarta – Pontianak: DP3M dan UNTAN.
------------------------. 1984. Sejarah Sosial Kota Pontianak. Kota Pontianak dari Perspektif Sejarah Sosial. Hasil Penelitian diselenggarakan atas kerjasama LIPI dengan UNTAN. Jakarta: LIPI.
-----------------------. 1993. Propinsi Yunan dan Penjelajahan Laksamana Cheng Ho. Makalah disampaikan kepada para peserta Seminar Internasional diselenggarakan di Kunming, Yunan, Cina Selatan, 15 – 18 Juli 1993 atas kerjasama Gabungan Penulis Nasional (GAPENA) Malaysia, dan Institute Studi Kebudayaa Asia Tenggara Yunan.
-----------------------. 1998. Otonomi Daerah dan Konsep Putera Daerah. Seminar disampaikan kepada para peserta Seminar Nasional
-----------------------. 2000. “Pengaruh Bugis Dalam Pembinaan Dunia Melayu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.” Dalam Abdul Latif Abu Bakar dan Othman Puteh (Penyt.). Globalisme dan Patriotisme Dalam Sastra Melayu. Kumpulan kertas kerja Hari Sastera 2000. Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Effendy, Mahrus. 1998. Sejarah Perjuangan Kalimantan Barat. Pontianak: Romeo Grafika ffEffFREDICT BARTH. JAKARTA. PENERBIT UI
Fakih, Mansor. 2001. Sesat Fikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Haji Yahya, Mahayudin. 1999. Islam di Pontianak Berdasarkan Hikayat Al-Habib Husain Al-Qadri. Proceedings of Seminar Papers on Brunei Malay Sultanate in Nusantara, Vol. I:13-17, Nov. 1999. Brunei Darussalam: The Sultan Haji Hasanal Bolkiah Foundation.
Hetnne, Bjorn. 1990. Development Theory and The Three Worlds. London: Longman Group Limited.
Ibrahim, Jimmy M. 1971. Dua Ratus Tahun Kota Pontianak. Pontianak: Pemda Kotamadya Pontianak.
Iskandar, Dodi. 1993. Ilmu Pengetahuan Sosial – Sejarah. Jakarta: Penerbit Erlangga.
----------------------- dan Dedi Persada. 1987. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Bandung: Armico.
Mas’oed, Mohtar. 1994. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Persaja. 1955. Proses Peristiwa Sultan Hamid II. Jakarta: Fasco.
Rahman, Ansar, Ja’Achmad, dkk. 2000. Syarif Abdurrahman Alkadri. Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika atas nama Pemkot Pontianak.
Rivai, Mawardi. 1995. Peristiwa Mandor. Pontianak: Romeo Grafika.
Sahar, Muhammad Yusuf. 1983. Sejarah Hari Jadi Kota Mempawah. Mempawah: Pemda Kabuaten Pontianak.
Shahab, Alwi. 2000. “Melacak Imigran Hadramaut.” Dalam Media Indonesia. 16 Januari, hal. 7.
So, Alvin Y. 1990. Social Change and Development. Newbury Park, California: Sage Publication.
Suwardi, M.S. 1983. Raja Haji Marhum Teluk Ketapang Malaka. Pakanbaru: Universitas Riau.
Turiman, 2000. Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia: Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara Dalam Peraturan Perundang-undangan. Tesis Magister Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
Wallerstein, Emmanuel. 1974. The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy in the sixteenth Century. New York: Academic Press.
-----------------------. 1979. The Capitalist World Economy. New York: Cambridge Univeristy Press.
Yanis, Muhammad. 1983. Kapal Terbang Sembilan. Pontianak – Jakarta: Yayasan Universitas Panca Bahti – PT. Inti Daya Press.
[1] Kertas kerja ini disampaikan kepada para peserta Seminar Kerajaan Nusantara yang diadakan atas kerja sama Pemerintah Kerajaan Pahang dengan Universiti Malaya, Malaysia, di Kuatan, Malaysia, pada 8 –11 May 2005. [2] Alqadrie adalah Profesor Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Tanjungpura (UNTAN), Pontianak. Sejak Agustus 1995 s/d September 2001 ia menjabat Dekan pada fakultas tsb selama dua kali masa jabatan. Pengalaman kerjanya dimulai dari menjadi Guru SD Islamyah Kampung Bangka (1966-1968), Guru SMEP Negeri (1968-1972), Guru SMEA Negeri Pontianak (1972-1974), Asisten Dosen Luar Biasa UNTAN (1969-1974) dan Dosen Tetap UNTAN (1975-sekarang). Pendidikan Sarjana Satu (S1) diperolehnya dalam Jurusan Ilmu Administrasi Negara (IAN) di FISIPOL UNTAN (1974). Sarjana Dua (S2) [M.Sc] tahun 1987 dan Sarjana Tiga (S3) [Ph.D] tahun 1990 diperolehnya masing-masing dalam Jurusan Sosiologi Pertanian dan Pedesaan (Agricultural and Rural Sociology) dan Jurusan Sosiologi Politik dan Etnisitas (Political Sociology and Ethnicity) pada University of Kentucky, Lexington, AS. Tahun 1993 ia memperoleh Penghargaan David Penny Award dari Pemerintah Australia sebagai penulis terbaik tentang Kemiskinan. Tahun 1998 mengikuti Kursus Singkat Angkatan (KSA) VII LEMHANNAS (selama 4½ bulan) di Jakarta. Pada tahun 1999 dianugrahi Bintang Jasa Utama oleh Presiden R.I. Dalam tahun yang sama dianugrahi Bintang Kesetian Dalam Pengabdian 30 tahun dari Pemerintah Daerah Kalbar. Sejak Juli 2000 s/d Nopember 2004 diangkat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial UNTAN. Menjadi anggota Komisi Pengarah. (Steering Committee/SC) Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) sejak 2000 dan Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD) sejak 2003.
[3] Habib Hussein bin Habib Ahmad Al-Qadrie adalah seorang ulama besar keturunan Sayyid dan penyiar agama Islam yang berasal dari kota kecil bernama Trim, Hadralmaut, yang sekarang lebih dikenal dengan Yaman Selatan. Menurut Catatan Alwi bin Ahmad bin IsmaiI Al-Qadrie (dalam Haji Yahya, 1999:221), Habib Hussein adalah penganut mazhab Syafi’i , termasuk ulama tasawuf dan ayah dari pendiri Kesultanan Qadriah Pontianak. [4] Nusantara adalah sebuah kata untuk menggambarkan wilayah seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang hingga ke Marauke. Wilayah Nusantara juga untuk menunjukkan kawasan yang pernah dikuasai oleh Raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit melalui tangan Mahapati Gajah Mada berdasarkan cita-cita mereka untuk mewujudkan kawasan kekusaan mereka seluas apa yang disebut sekarang dengan wilayah Indonesia, Malaysia, Brunei sampai ke Madagaskar dan Irian seluruhnya. Oleh karena itu orang-orang Malaysia dan Brunei Darussalam secara social dan budaya sebagai bangsa serumpun juga dengan bangga menyebut negara mereka adalah bagian daari Nusantara. [5] Versi lain menyebutkan bahwa isteri Habib Husin adalah seorang dayang-dayang puteri asli keturunan Dayak Kalbar (Enthoven dalam Rahman, 2000:24). [6] Suatu kawasan yang sekarang menjadi areal pemakaman keluarga Panembahan Mempawah terletak sekitar 10 km dari pusat kota Mempawah masuk ke kawasan pedalaman Kecamatan ……… [7] Galah Herang terletak di dekat muara Sungai Mempawah, sekarang kawasan ini dikenal dengan Kuala Mempawah yang terletak sekitar 5 km dari Kota Mempawah arah ke Ponianak. Galah Herang diambil atau berasal dari kata galah dari bamboo yang dipakai oleh para pendatang untuk mendorong dan menambat perahu-perahu mereka ke tempat kediamana Habib Hussein dan keluarganya. [8] Istilah penjelajahan sangat berbeda dengan penjajahan. Istilah pertama lebih dikaitkan dengan kegiatan individu atau kelompok dalam melakukan kunjungan kesuatu tempat dalam melaksanakan jihad dalam arti luas yaitu melaksanakan syiar keagamaan, menyebarkan atau menegakkan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan serta berbuat kebajikan bagi masyarakat yang memerlukan di tempat itu, seperti antara lain tindakan yang dilakukan para penyebar ajaran Islam yang dilakukan dengan damai bersamaan dengan usaha perdagangan sebagaimana dilakukan oleh Habib Hussein dan penyebar Islam lainnya dari Arab, termasuk, menurut [Alqadrie, 1993], Laksamana Cheng Ho. Sedangkan istilah kedua lebih berhubungan dengan tindakan penguasaan Barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin melalui Kolonialisme dan Imperialisme. [9] Dari nama hantu ini, Kuntilanak, kota yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang ini yang terletak di seberang Istana Kesultanan Qadriah, disebut Pontianak. Fenomena sosial dan sejarah sebenarnya, menurut Jimmy Ibrahim (1971:17), adalah bahwa gangguan itu berasal dari perompak atau bajak laut yang bersembunyi di persimpangan menjorok ke arah Sungai Landak. [10] Penobatan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie dilakukan oleh Sultan Raja Haji dari Kerajaan Riau, karena tidak saja Kerajaan Riau merupakan kerajaan Melayu yang tergolong besar, kuat, berwibawa dan memiliki pengaruh besar di Nusantara yang pengaruhnya dikenal sampai di luar kawasan Kalimantan dan Malaysia, tetapi, menurut catatan sejarah (Suwardi, 1983) juga hubungan pribadi dan pemerintahan Kesultanan Riau dan Pontianak sangat dekat. Sultan Syarif Abdurrahman dengan Sultan Raja Haji memiliki hubungan ipar sepupu sekali (first Cousin in law). Abdurrahman adalah menantu Opu Daeng Manambon, Raja Haji adalah putera Daeng Celak , sedangkan Daeng Menambon dan Daeng Celak adalah dua dari lima orang bersaudara putera dari Opu Daeng Relaka. Tiga saudara lainnya adalah Daeng Perani, Daeng Marewa dan Daeng Kemasi. Jadi keduanya masih merupakan keluarga besar dari dinasti Opu Daeng Relaka, bangsawan Kerajaan Luwuk, Sulawesi Selatan sekarang. [11] Benteng tersebut, yang dinamai Marianne, tampaknya diambil dari nama puteri Raja Willem I dari Kerajaan Belanda, yang kemudian boleh jadi ini merupakan awal dari nama kampung Mariana di kawasan kampung Tengah di depan Pelabuhan Pontianak, Kecamatan Pontianak Kota. [12] Globalisasi dalam berbagai bidang dan sektor yang lebih luas telah mulai berproses jauh sebelum awal abad ke 17 ketika bangsa-bangsa Barat mulai berfikir bahwa hubungan dagang antara mereka dengan bangsa-bangsa dan rakyat di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin (AAA societies) perlu diubah menjadi hubungan kolonialistis dan imperialistis yang tidak adil, tetapi akan sangat menguntungkan mereka. Hubungan eksploitatif seperti itu menempatkan bangsa-bangsa Eropah Barat, khususnya Belanda, Portugis, Spanyol, Perancis, Inggeris, Belgia, dan Jerman, sebagai disinyalir oleh Emmanuel Wallerstein (1974; 1979), menjadi bangsa atau masyarakat “inti” (core societies) atau metropolis/center yang menarik surplus ekonomi dari bangsa/masyarakat AAA sebagai masyarakat pinggiran (periphery) atau pengikut “setia” (satellites). “Interaksi” tidak seimbang antara dua bagian dari sistem dunia tersebut sampai sekarang menciptakan fragmentasi, marginalisasi dan monopolisasi bagi bangsa-bangsa AAA atau negara sedang berkembang (NSB) (Mas’oed, 1999; Faqih, 2000; Hettne, 1990:134-201, 242-452; Wallerstein dalam So, 1990:……). [13] Status Daerah Istimewa Kalbar bukanlah Negera Bagian sebagai perwujudan negara Federasi.. Daerah Istimewa Kalbar, yang diresmikan Belanda tanggal 12 Mei 1947, tetap menjadi bagian R.I. yang kemudian disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut pemikiran politik Sultan Hamid II yang diperjuangkannya dengan secara konsekuen, Daerah Kalbar tidak akan semaju Jawa dan daerah lain, dan akan sering termarginalkan seperti Aceh, Papua, Kalteng, dan lain sebagainya tanpa status Daerah Istimewa (D.I.). Pemikiran ini baru disadari oleh rakyat Kalbar jauh setelah itu, setelah daerah ini terpenggirkan. [14] Bahkan setelah Lambang Garuda Pancasila itu jadi dan menjadi Lambang Negara resmi yang diagung-agungkan oleh seluruh rakyat Indonesia, namanya sebagai penciptanya, malah sebagai perencana pun, tidak pernah disebut-sebut. Ironisnya, menurut Turiman (2000) berdasarkan hasil penelitian tesis Magisternya, Muhammad Yamin disebut-sebut sebagai penciptanya, padahal dosen Universitas Tanjungpura itu menemukan banyak bukti tertulis tentang siapa pencipta dan perancang Lambang Garuda Pancasila itu. Yamin hanya ketua Panitia Pembuatan Lambang, sedangkan semua pekerjaan merancang dan membuatnya diserahkan kepada Sultan Hamid II. [15] Komposisi APRIS berdasarkan hasil konferensi Antar Indonesia dan KMB, akan terdiri dari TNI sebagai inti kekuatan ditambah dengan kesatuan-kesatuan dari bekas KNIL, KM,VB, dan sebagainya. Untuk itu Sultan Hamid II telah mempersiapkan satu kompi unsur KNIL dan satu kompi anggota kelompok etnis Dayak dari Kalbar yang telah dilatih untuk memperkuat TNI yang akan dikirim ke Kalbar (Rahman, 2000:179). Mengapa unsur Dayak harus masuk? Pertama, anggota kelompok etnis ini berasal dari daerah Kalbar dan mereka lebih kenal daerah mereka sendiri; kedua, Dayak dan Melayu memiliki hubungan historis dan psikologis, karena Dayak adalah saudara ibu yang dilambangkan sebagai hutan terletak di belakang, sedangkan Melayu adalah saudara ayah yang dilambangkan sebagai laut terletak di depan.
3. KOMUNITAS CINA DI KALIMANTAN BARAT[1] Syarif Ibrahim Alqadrie[2] ABSTRAK
Makalah atau kertas kerja ini ingin mengungkapkan keberadaan komunitas Cina yang biasa disebut dengan komunitas Tionghoa di Kalimantan Barat. Dibanding dengan komunitas Cina di daerah-daerah lain di Indonesia, keberadaan mereka di provinsi ini sangat khas dan unik. Kekhasan dan keunikan ini disebabkan oleh fakta sosial, budaya dan politik bahwa tidak saja sedang dan telah terjadi semacam revivalisasi dan revitalisasi dalam komunitas ini sebagai konsekuensi dari proses reformasi yang terjadi di Indonesia sejak 1998, tetapi juga adanya karakter budaya asli yang dimiliki masyarakat Kalimantan Barat yang menerima sepenuhnya keberadaan komunitas ini. Karakter budaya ini menyebabkan bukan saja proses revivalisasi dan revitalisasi tersebut dapat berjalan dengan lancar tetapi bahkan keberadaan komunitas ini menjadi khas dan unik. Kekhasan dan keunikan yang merupakan salah satu pewujudan dari revivalisasi dan revitalisasi yang terjadi pada komunitas Tionghoa di daerah ini dapat dilihat pada kehidupan dan perkembangan budaya dan tradisi mereka yang berbentuk baik fisik material berupa berdirinya dan berkembangnya tempat-tempat ibadah (kelenteng/toapekong), tradisi dan upacara penguburan yang khas, dan tradisi permainan barongsai dan naga, maupun non fisik berupa kecenderunga kawin campur yang seimbang (balanced intermarriage) dengan penduduk setempat non-Tionghoa. Kesemua kebiasaan, tradisi, upacara tradisional dan kecenderungan sosial tersebut diterima dengan sangat baik oleh penduduk setempat. Inilah salah satu indikator penting bagi interaksi sosial yang sehat dan sekaligus merupakan prospek cerah bagi masa depan Kalimantan Barat.
1. Pendahuluan. Banyak pengamat masalah Cina percaya bahwa era reformasi membawa perubahan sangat besar bagi anggota komunitas Cina di Indonesia. Perubahan yang berkaitan dengan kebebasan dan pengakuan akan keberadaan mereka, meliputi tidak saja menyangkut dihapuskannya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan keleluasaan memasuki dan aktif dalam organisasi politik dan sejenisnya. Perubahan itu juga berhubungan dengan kebebasan dalam berbagai aspek sosial budaya seperti antara lain menggunakan bahasa Cina dan dialek suku ditempat terbuka, bahkan bahasa Mandarin secara resmi telah menjadi bahasa asing kedua setelah bahasa Inggeris, menuntut agar agama Kong Hu Cu (Confusianism) menjadi agama resmi dari 5 (lima) agama resmi yang telah ada dan menyatakan memeluk ”kembali” agama tradisional mereka secara terang-terangan, yang sebelumnya mereka ”sembunyikan” dengan ”mengalihkankannya” pada agama lain. Selain itu, perubahan tersebut mencakup pula kebebasan berekspresi bagi anggota komunitas ini seperti dalam menghidupkan dan menampilkan kembali tradisi mereka melalui permainan barongsai, naga-naga (liong/dragon), pertunjukan atau atraksi kemampuan perdukunan Cina (lauya atau tatung) sebagai kelengkapan tradisional dari perayaan Cap Gomeh -- 15 hari setelah Tahun Baru Imlek -- serta pendirian dan penyebaran rumah-rumah ibadah atau tempat-tempat persembahan (toapekong/kelenteng) bagi para penganut kongfusianisme. Di Kalimantan Barat (Kalbar) perubahan yang mengandung kebebasan budaya seperti dikemukakan di atas pada komunitas Tionghoa – nama lain yang sangat terkenal untuk komunitas Cina di daerah ini -- tidak terjadi segera menyusul tampilnya Era Reformasi. Perubahan dan kebebasan tersebut telah terjadi dan ada jauh sebelum hadirnya era tersebut, dan sampai sekarang mereka masih dan akan terus berjalan dengan kekhususan mereka sendiri yang berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan di dunia. Fenomena perubahan dan kebebasan yang dialami dan dinikmati oleh para anggota komunitas Tionghoa di daerah ini jauh sebelum reformasi ternyata berlangsung begitu terbuka, semarak dan bersemangat, karena mereka didukung sepenuhnya oleh masyarakat setempat yang terdiri dari berbagai komunitas dan sub-sub kelompok etnis pendatang yang telah lama bermukim di daerah ini. Penerimaan dan keikutsertaan aktif dan bersemangat (anthusiastic, active participation and acceptance) dari kelompok-kelompok komunitas Kalbar ternyata juga telah mendorong dan menginspirasikan para aparat pemerintah daerah yaitu pemerintah provinsi (Pemprov), pemerintah kabupaten (Pemkab), terutama Pemerintah Kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak dan Kabupaten Landak, dan pemerintah kota (Pemkot) lebih khusus lagi Pemerintah Kota Singkawang, untuk mengambil peran aktif secara formal eksplisit dan informal implisit, yang sebelumnya hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, untuk mendukung dan memperkuat integrasi, interaksi dan hubungan sosial dua arah yang dinamis antara masyarakat setempat dalam skup yang lebih luas denga komunitas Tionghoa. Penerimaan dan keikutsertaan ini tampaknya tidak saja telah menginspirasikan dan menjadi teladan, tetapi juga telah menjadi model bagi daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan mungkin di kawasan Asia Tenggara dalam penciptaan, pembentukan dan pengokohan masyarakat plural dan multikultural dalam suatu bangsa yang kuat berbasiskan masyarakat madani – demokratis dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Tulisan ini berusaha mendiskripsikan bagaimana kehidupan sesungguhnya komunitas Tionghoa yang dikatakan sangat khas dan unik di Kalbar, dan sekaligus juga mencoba mengungkapkan dan menjelaskan mengapa kekhasan dan keunikan itu terjadi?, bagaimana peranan revivalisasi dan revitalisasi dalam komunitas Tionghoa, dan bagaimana pula peranan karakter khas budaya masyarakat setempat dalam mendukung dan menunjang pluralisme dan multikulturalisme di daerah ini yang pada akhirnnya memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 2. Kalimantan Barat: Kondisi, Potensinya dan Orientasi Waktu. Kalbar adalah salah satu dari 4 (empat) provinsi di Pulau Kalimantan (masih dikaitkan dengan Borneo di dalam kamus-kamus Barat [Western dictionaries] dan istilah geografis Barat [Western geographical terminology]) (Alqadrie, 1987:10). Provinsi lain adalah Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Pulau Kalimantan, menurut Smith (1965: 15) adalah pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greend Land dan Irian keseluruhan (Papua termasuk New Guinea). Berbicara tentang Kalimantan kita mengenal pepatah (proverb) yang terkenal dalam bidang sosial, budaya, ekonomi bahkan politik dalam hubungan dengan 5 (lima) pulau-pulau besar di Nusantara yang menyebutkan bahwa Jawa adalah pulau masa lampau, Sumatera adalah pulau masa kini dan Pulau Papua dan Kalimantan adalah pulau masa depan (Alqadrie, 1990:18). Bersama dengan Papua, Kalimantan -- dengan Kalbar sebagai bagiannya yang strategis -- dikatakan sebagai pulau masa depan (the future islands) antara lain karena memiliki ukuran luas, besar penduduknya dan letaknya yang strategis. Sebagai salah satu provinsi di Indonesia, ia merupakan daerah pemerintahan yang memiliki luas 146.807 km2 (7,53% luas Indonesia) (Bappeda, Kalbar, 2005;). Daerah ini cukup luas, seluas 7 (tujuh) provinsi, meliputi seluruh pulau Jawa, yang terdiri dari 6 (enam) provinsi, termasuk DKI Jaya dan pulau Madura, ditambah dengan 1 (satu) provinsi lagi, yaitu Bali. Kalbar memiliki penduduk sekitar 4.004.814 pada tahun 2004 (Bappeda Kalbar, 2005), lebih banyak dari jumlah penduduk pada masing-masing tiga provinsi lainnya. Selain itu, Kalbar merupakan salah satu dari tiga daerah provinsi di Indonesia yang berbatasan darat langsung dengan negara lain. Letak kawasan perairan bagian Barat provinsi ini juga sangat strategis baik berhubungan dan berbatasan dengan kawasan perairan negara-negara asing seperti Malaysia dan Thailand, maupun menjadi kawasan perairan terdekat bagi kepulauan yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Riau. Lebih dari itu -- ini tampaknya merupakan hal terpenting -- jumlah orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah ini memiliki prosentasi terbesar dibanding dengan mereka yang tinggal di kota-kota lain di Indonesia, menyusul antara lain Jakarta; Medan, Sumatera Utara; Pekanbaru, Riau dan Palembang, Sumatera Selatan. Bahkan orang-orang Tionghoa yang berada di kota Singkawang, kota terbesar kedua di Kalbar yang dijuluki kota Amoi, pada tahun 2003 berjumlah sekitar 51% dari jumlah seluruh penduduk di situ (Suara Merdeka, 17 Januari 2004:4; Bappeda Pemerintah Kota Singkawang, 2005). Kelima factor di atas, luas daerah, jumlah penduduk, dan letak strategis, perbatasan darat, dan besarnya jumlah penduduk Tionghoa, menjadi indikator bagi Kalbar sebagai salah satu provinsi di Kalimantan yang mampu membuat daerah ini tidak saja dikenal secara luas sejak masa kekaisaran Dinasti Ming (1368 – 1644) sehingga mendapat prioritas dalam kunjungan Laksamana Cheng Ho atas perintah Kaisar Cheng Tsu pada tahun 1463[3], tetapi juga menjadikan daerah ini sebagai salah satu jaringan penting dari pusat-puat perdagangan, jasa dan kegiatan ekonomi lainnya di tingkat nasional, regional – Asia Tenggara maupun kawasan Asia – dan internasional, kalau potensi ini diwujudkan ke dalam kebijakan dan diimplementasikan kearah pembangunan yang berorientasi pada masa depan. Hal ini telah dibuktikan dalam Sejarah Nasional pada mana Sukadana dan Tanjungpura di Ketapang; Pontianak dan Mempawah menjadi kota-kota pelabuhan yang sangat diperhitungkan di kawasan Indonesia dan Asia, bahkan di dunia pada saat itu (Alqadrie, 1979; 1984; 2005b; Rahman, 2000:45) Akan tetapi kita tampaknya lebih banyak berorientasi dan tertarik pada masa lampau (past period) dengan mengurangi perhatian pada masa depan, padahal banyak bangsa-bangsa maju di dunia menjadikan masa lalu hanya sebagai panduan dan batu loncatan bagi masa kini (present period) yang menjadi masa transisi (transitional period) untuk mencapai masa depan (future priode). Dengan orientasi semacam ini, kebesaran masa lampau tampaknya terputus sama sekali dengan kemungkinan terciptanya masa depan yang lebih baik, karena masa transisi tidak dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh dalam mengisi masa depan, sehingga masa depan yang lebih menjanjikan tidak terulang kambali. Kebesaran dan kepopuleran kota-kota pelabuhan tersebut di atas tidak tampak lagi sekarang, bahkan hanya telah dan akan menjadi kenangan di masa mendatang, tanpa peninggalan fisik sama sekali. Dalam usaha menghindari tendensi negatif seperti ini, sekitar 16 abad yang lalu Nabi Muhammad menyatakan ”kalau suatu bangsa ingin maju belajarlah ke negeri Cina.” Kelebihan Muhammad sebagai pemimpin umat adalah bahwa beliau bukan hanya memiliki wawasan yang luas, tetapi juga orientasi ke masa depan dengan menggunakan masa lalu sebagai pedoman dan masa kini sebagai jembatan. Mengapa harus belajar ke Cina atau Tionghoa di Indonesia, khususnya di Kalbar? Berapa ratus tahun sebelum Muhammad milihat kemajuan Cina dan mendorong umatnya untuk belajar dari Cina, negara Cina atau Tiongkok, yang terletak di Asia Timur, telah menjadi salah satu bangsa berkebudayaan tinggi di dunia, disamping bangsa-bangsa lain di Asia Barat, Jazirah Arab, Semenanjung Laut Tengah, Afrika Utara dan sebagainya, ketika Barat masih tertidur. Kemajuan itu masih berlangsung sampai sekarang baik sebagai negara – dulunya dikenal dengan Negara Tiongkok dan kemudian disebut Republik Rakyat Cina (RRC) – maupun sebagai individu dan komunitas atau kelompok etnis yang menjadi warga negara dari negara-negara lain. Dalam konteks yang terakhir ini, sejarah di Indonesia, khususnya di Kalbar, membuktikan orientasi ke masa depan yang sangat cemerlang di kalangan anggota kelompok ini. Kehadiran untuk kesekian kalinya beberapa ratus orang Cina dari daratan Tiongkok ke daerah Kalbar sekitar tahun 1772 disebabkan oleh tiga faktor berdasarkan pendapat berbeda yaitu pertama, didatangkan oleh Kesultanan Sambas, kedua diundang oleh Panembahan Mempawah, dan ketiga, datang sendiri. Sejak kehadiran mereka di Kalbar ternyata dimulainya sejarah kelompok etnis Cina di daerah ini – yang lebih dikenal dengan komunitas Tionghoa Indonesia -- yang memiliki orientasi ke masa depan yang tinggi dan menghargai masa depan dengan kebanggan terhadap masa lalu.
3. Komunitas Tionghoa, Tiga Pilar Kehidupan di Kalimantan Barat dan Konsep Putera Daerah Berbeda dengan kehidupan sosial ekonomi anggota komunitas Indonesia keturunan Tionghoa di Surabaya, Bandung, Semarang, Jakarta, Medan, Pekanbaru, Batam, dan kota lainnya di Jawa yang pada umumnya memiliki status sosial rata-rata menengah ke atas, kehidupan mereka di Kalbar sangat bervariasi, mulai dari yang sangat kaya – kemudian pada akhirnya sebagian dari mereka pindah ke Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Batam, menengah, miskin – seperti sebagian besar penduduk setempat di kabupaten-kabupaten pedalaman dan perhuluan, sampai ke yang sangat miskin. Sebagian besar dari mereka yang memiliki status sosial ekonomi dan politik pada tingkat yang disebutkan terakhir ini dapat ditemukan di berbagai kawasan di kabupaten-kabupaten Sambas, Bengkayang, Pontianak, Landak, Sanggau, dan kota Singkawang. Kondisi seperti ini ternyata tidak saja membuat mereka menjadi subyek studi atau kajian yang sangat menarik bagi para ilmuwan dalam dan luar negeri, tetapi juga sebagai konsekuensinya menjadikan daerah Kalbar unik dan khas. Hal ini dianggap sebagai ”penyimpangan” dan ”keanehan” dari anggapan umum yang selama ini berlaku di Indonesia bahkan di negara-negara Asia Tenggara bahwa orang-orang Tionghoa selalu kaya-kaya. Namun, tidak demikian halnya di daerah ini. Ada beberapa hal yang menyebabkan bervariasinya tingkat kehidupan anggota komunitas ini, dalam arti ada diantara mereka yang hidup dalam kondisi sangat miskin, di provinsi sebelah Barat Kalimantan ini: Pertama, sebagian besar dari mereka yang berada di Kabupaten Sambas dan Kota Singkawang hanya bergerak dan hidup dalam sub sektor pertanian, perikanan dan bisnis secara kecil-kecilan hingga sekarang, dan mereka tidak menguasai pemasaran yang juga dikuasai oleh sebagian dari kelompok ini. Dalam konteks ini, mereka berada dalam satu kelompok/ status ekonomi – dengan menggunakan konsep Karl Marx (dalam Richer and Goodman, 2004:169-236) lebih tepat disebut dalam satu kelas sosial proletar atau pariah (Barth, 1988:9-41) – dengan sebagian besar anggota komunitas Melayu, Dayak dan Madura. Ini juga menjelaskan mengapa hubungan sosial antara anggota-anggota kedua komunitas ini berjalan lancar sejak beratus tahun. Kedua, sebagian besar lahan yang digarap oleh petani kelas sosial terbawah dari komunitas Tionghoa di Kalbar pada umumnya dan di kedua tingkat pemerintahan tersebut pada khususnya bukan milik mereka, melainkan milik kelompok komunitas yang sama tetapi memiliki status ekonomi menengah ke atas. Demikian pula, sebagian besar nelayan dari komunitas kelas terbawa ini bukan pemilik peralatan perikanan yang mereka kerjakan, tetapi milik para tauke atau pemilik modal. Pada umumnya, mereka -- anggota kelompok dalam kelas sosial terbawa ini baik anggota kelompok etnis Tionghoa, Melayu dan Dayak maupun anggota kelompok etnis lain -- menjadi buruh dengan upah yang relatif rendah. Seluruh produk atau hasil yang mereka peroleh dari pekerjaan yang mereka kerjakan dijual kepada pemilik faktor produksi yang menjadi majikan (employeers atau bosses) mereka. Sebagian besar majikan pada hampir semua daerah di Kalbar, antara lain Kabupaten Sambas, Bengkayang dan Kota Singkawang, juga terdiri dari kelompok Tionghoa, Madura, Bugis Melayu, Dayak dan keturunan Arab. Di Kabupaten Sambas dan Kota Singkawang kelompok komunitas Tionghoa menjadi khas di Indonesia (Typical Chinese Indonesian community in Indonesia), karena ada diantara mereka yang memiliki tingkat sosial ekonomi sangat tinggi, menengah dan ada pula yang sangat rendah. Para anggota komunitas ini memiliki kondisi yang relatif sama dengan anggota kelompok etnis yang lebih lama mendiami daerah ini, Dayak dan Melayu. Tiga kelompok komunitas ini, Dayak, Melayu dan kelompok Indonesia keturunan Cina (biasa disebut Tionghoa di daerah ini), merupakan tiga pilar bagi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Kalbar. Kehidupan, kemajuan dan masa depan daerah ini sangat tergantung dari keberadaan ketiga kelompok etnis ini. Mereka dapat dibedakan, tetapi sama sekali tidak dapat dipisahkan. Mengenyampingkan salah satu dari mereka berarti tidak saja mengurangi dinamika perubahan dan kohesi sosial, sebagaimana diperlihatkan dalam perspektif Fungsionalisme dan Marxisme (lihat Thompson and Ronel, 1985; Alqadrie, 1990; Yetman, 1990) yang hanya melihat etnisitas secara statis dari sebelah mata – hanya mata kanan dan mata kiri masing-masing -- tetapi juga memperlemah sinergisme yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu. Pandangan terhadap mereka sebagai tiga pilar didasari bukan hanya dari perspektif kesejarahan (historical perspective) pada mana anggota komunitas Cina sudah lama datang dan berada di Kalbar yaitu diperkirakan sejak Pemerintahan Kesultanan Sambas dan Kesultanan Mampawah (Rahman dan Ja’Achmad, dkk. 2000; Rivai, 1995; Sahar, 1983) mendatangkan mereka pertama kali sebagai buruh kontrak untuk bekerja di pertambangan emas di Kawasan Mentrado[4] dan Mandor[5] sekitar awal abad ke 17. Pandangan ini juga didasari oleh Konsep Putra Daerah yang dikemukakan oleh Syarif Ibrahim Alqadrie (1998) dalam mana berdasarkan kriteria kelahiran dan lamanya berada di daerah ini selama 1 (satu) generasi, minimal 25 tahun, anggota dari kelompok etnis manapun, termasuk anggota komunitas Tionghoa, yang telah memenuhi kriteria tersebut, dapat dikategorikan sebagai putera daerah (bumi putera). Selain itu, berdasarkan realitas yang tidak terbantahkan, anggota komunitas ini memiliki karakter kewiraswastaan (enterpreneurship) yang tinggi, merupakan insan ekonomi yang dinamis dan produkatif, dan pribadi-pribadi berprestasi tinggi yang telah banyak memberi sumbangan bagi bangsa dan negara ini dalam banyak bidang, terutama di sektor olahraga, perpajakan dan di bidang pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang lebih arif selain merangkul, mengajak dan mendorong mereka untuk segera terintegrasi dan masuk ke dalam masyarakat aliran utama (main stream community) melalui baik integrasi maupun asimilasi yang seimbang (balanced assimilation)[6] dimanapun mereka berada di Indonesia. Di tempat-tempat lain di luar Kalbar, seperti di seluruh kawasan Jawa, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur (NTB dan NTT), dan Maluku, bahkan di Kalsel dan Kaltim, anggota komunitas Cina ini telah berasimilasi atau membaur secara sosial budaya dengan penduduk setempat. Mereka berbahasa daerah secara fasih dengan logat/dialek setempat yang kental sehingga sulit membedakan mereka dengan penduduk setempat tanpa melihat perbedaan antara mereka secara fisik. Mereka juga telah lama mempraktekkan kebudayaan dan kesenian lokal dengan hampir tidak lagi mengenal dan mempraktekkan budaya dan kesenian asal leluhur mereka. Hal yang positif ini membawa dampak positif bahwa mereka dapat dengan mudah membaur ke dalam kehidupan sosial budaya penduduk setempat. Akan tetapi pembauran dalam bidang sosial budaya sebagaimana dikemukakan di atas, pada hakekatnya tidak menunjukkan adanya unsur penghargaan dan penerimaan terhadap perbedaan yang mungkin timbul dari kebiasaan, budaya dan tradisi anggota komunitas Cina, sehingga mereka dapat kehilangan identitas budaya sebagai orang Cina. Karena itu, mereka berusaha mempertahankan identitas mereka dengan segala cara antara lain melakukan asimilasi melalui kawin campur (intermarriage) secara tidak seimbang (unbalanced intermarriage), pada mana laki-laki dari anggota komunitas Cina mengawini wanita dari anggota komunitas setempat. Jarang sekali laki-laki setempat dari kelompok etnis non Cina ditempat-tempat itu mengawini wanita anggota komunitas Cina. Kalaupun itu terjadi secara individu, itu terjadi pada laki-laki penduduk setempat yang memiliki status sosial ekonomi yang sangat lebih tinggi. Hal ini berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Kalbar. 4. Integrasi dan Asimilasi di Kalimantan Barat: Kawin Campur Seimbang dan Tidak Seimbang, dan Ideologi Keluarga. Di daerah ini pembauran dan penyatuan terjadi lebih kompleks dan sangat bervariasi. Apa yang terjadi di Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi dan mungkin ditempat lain di Indonesia yaitu asimilasi melalui unbalanced intermarriage, pada umumnya juga pernah sering terjadi di Kalbar, khususnya antara anggota komunitas Dayak dengan komunitas Tionghoa terutama pada golongan atau kelas menengah ke atas. Ini pernah sangat sering terjadi pada kelompok komunitas Tionghoa dari sub kelompok Cauchu pada dua atau tiga dekade yang lalu yang pada umumnya berdomisili di Ibu Kota provinsi dan Ibu kota-Ibu kota kabupaten yang sebagian tebesar dari mereka berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha. Pada sub kelompok etnis Khek pada mana sebagian terbesar dari mereka berprofesi sebagai petani, pekebun dan tukang atau buruh, asimilasi atau pembauran melalui kawin campur seimbang (balanced intermarriage)[7] sering dan umum terjadi, baik pada fihak perempuan maupun pada fihak laki-laki tanpa melihat status sosial ekonomi mereka masing-masing. Perkawinan campur seperti inipun tidak jarang terjadi pada sub kelompok Tionghoa lainnya sekarang ini. Ini menunjukkan bahwa Kalbar merupakan salah satu daerah yang berhasil dalam pembinaan kesatuan bangsa yang demokratis dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia melalui tidak saja dalam integrasi tetapi juga dalam asimilasi terutama melalui perkawinan seimbang. Mengapa perkawinan seimbang menjadi salah satu kriteria berhasilnya tidak pembinaan kesatuan bangsa? Ini antara lain berkaitan dengan ideologi keluarga[8]. Pada kebanyakan, bahkan dapat dikatakan hampir semua, kelompok etnis di dunia, kecuali dua kelompok etnis yaitu Yahudi dan satu lagi di Indonesia yakni kelompok etnis Minangkabau[9], ideologi keluarga dipegang oleh fihak laki-laki. Pada kelompok etnis Cina pada umumnya, khususya di Indonesia, lebih khusus lagi pada kelompok Tionghoa di Kalbar, ideologi keluarga berada di tangan fihak laki-laki dengan sistem ideologi keluarga garis ayah (patrilinial system). Dari banyak sekali kelompok etnis yang menganut sistem ini di Indonesia, diantaranya keturunan Arab, Bugis, Batak, Ambon, Menado, Papua, Melayu dan sebagian terbesar kelompok etnis lainnya di Indonesia, dan bahkan hampir seluruh kelompok etnis di bagian belahan dunia Barat, menganut sistem ini[10], termasuk anggota kelompok etnis keturunan Cina di Indonesia, khususnya anggota komunitas Tionghoa di Kalbar. Walaupun kelompok etnis keturunan Cina atau anggota komunitas Tionghoa di Kalbar menganut sistem patrilinial, tetapi ideologi keluarga tidak secara kaku ditentukan atau dipengaruhi oleh laki-laki. Di daerah ini, kawin campur secara seimbang (balanced inter-marriage) di kalangan anggota komunitas ini dengan anggota komunitas lokal non Tionghoa lainnya sering terjadi, bahkan, berdasarkan pengamatan penulis, peristiwa itu terjadi dengan persentase yang relatif seimbang atau sama besarnya antara laki-laki Tionghoa yang mengawini perempuan dari anggota kelompok etnis Indonesia non Tionghoa dengan perempuan Tionghoa yang kawin dengan atau mengawini laki-laki dari kelompok etnis Indonesia non Tionghoa. Ini menunjukkan bahwa untuk sebagian terbesar anggota komunitas Tionghoa di Kalbar telah menyumbang bagi keberhasilan memperkuat kesatuan bangsa baik di dalam integrasi maupun di dalam asimilasi. Ini terbukti bahwa anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan campur itu baik dari laki-laki maupun dari perempuan komunitas Tionghoa yang masing-masing mengawini perempuan dan laki-laki dari anggota kelompok etnis Indonesia non Tionghoa yang berada di daerah ini, pada umumnya menjadi generasi muda Indonesia yang tidak lagi mengotak-kotakan diri mereka ke dalam garis primordialisme sempit – sebagai kelompok etnis itu atau kelompok etnis ini -- tetapi lebih mengindektifikasikan diri mereka sebagai bagian dari bangsa ataau putra Indonesia. 5. Kondisi Pluralisme dan Karakter Multikulturalisme di Kalimantan Barat: Pilihan Bagi Interrelasi dan Interaksi Awal yang Positif. Kekhasan lain dari anggota komunitas ini di Kalbar adalah terletak pada terjaminnya keberadaan dan kelanjutan hidup bahasa atau dialek sub kelompok etnis mereka seperti dialek Hokkian, Caucu, Khek atau Hakka dan lainnya. Ini tidak semata-mata disebabkan oleh fakta demografis bahwa proporsi anggota kelompok komunitas ini menyumbang sekitar 13% dari seluruh jumlah penduduk daerah ini yang berjumlah lebih dari 4 juta penduduk, bahkan di Kota Singkawang, proporsi kelompok etnis ini berjumlah kurang lebih 51%. Terjaminnya keberadaan bahasa mereka juga disebabkan baik oleh kondisi pluralisme maupun karakter budaya penduduk Kalbar. Kondisi pluralisme dan karakter budaya masyarakat di provinsi ini saling berkaitan. Seperti diketahui prinsip pluralisme membawa konsekuensi bagi timbulnya multikulturalisme (Suparlan, 2001, 2002; Alqadrie, 2005a). Karakter multikulturalisme adalah adanya pengakuan, penerimaan dan penghargaan terhadap perbedaan dalam berbagai hal termasuk antara lain idea, nilai budaya, keyakinan agama, asal usul keturunan dan bahasa. Itulah sebabnya mengapa masyarakat di daerah ini dapat lebih menerima anggota komunitas Tionghoa termasuk budaya dan bahasanya dibanding dengan masyarakat di daerah lain di Indonesia. Kondisi yang mendukung (favorable) seperti itu di Kalbar dengan dinamika dan kreativitas anggota komunitas Tionghoa telah lama bertemu dan diharapkan pertemuan harmonis ini dapat lebih mendongkrak semangat kerjasama, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Kalbar. Penerimaan masyarakat Kalbar non Tionghoa sebagai perwujudan dari karakter budaya khas mereka yang memberi kebebasan luas terhadap anggota komunitas Tionghoa untuk menggunakan Bahasa Ibu dan mempraktekkan tradisi mereka, menjadi bertambah luas dan meningkat pada Era Reformasi, dan itu ternyata sudah terjadi jauh sebelum Era Orde Baru. Kondisi seperti ini sangat jarang ditemui di kota-kota lain di Indonesia, bahkan tidak ditemui sama sekali di Philipina. Kebebasan luas ini ditandai dengan diterimanya berbagai praktek dan bentuk nyata dari kebudayaan material dan imaterial/spiritual mereka, seperti masing-masing penampilan tradisi atau permainan barongsai, naga-naga (liong), pertunjukan atau atraksi kemampuan perdukunan Cina (lauya atau tatung) sebagai kelengkapan tradisional dari perayaan Cap Gomeh, pendirian rumah-rumah ibadah bagi penganut agama Kong Hu Cu (Confucianism) diberbagai tempat di daerah ini, dan kedekatan (closeness) serta ketidakasingan (familiarity) masyarakat Kalbar terhadap perayaan tahun baru Imlek maupun terhadap kepercayaan atau agama Konfusianisme. Karakter budaya tersebut di atas telah mendasari dan mendorong diterimanya secara nasional Konfusianisme sebagai agama resmi keenam di Indonesia. Pencatatan secara resmi terhadap perkawinan dari pasangan anggota kelompok Tionghoa berdasarkan keyakinan Konfusionism mulai dilakukan yang tadinya sebelum Era Reformasi, “kepercayaan” ini terpaksa digabungkan dengan Agama Budha, dan pencatatan sipil tidak pernah berfungsi untuk itu. Kedekatan dan ketidakasingan masyarakat Kalbar non-Tionghoa dengan saudara-saudara mereka -- anggota komunitas Tionghoa -- pernah terganggu, karena kebijakan pemerintah telah pernah membatasi hak-hak dasar, hak budaya dan hak asasi anggota komunitas yang disebut terakhir ini sebagai kelompok minoritas. Peraturan dan tindakan yang pernah merusak dan mengganggu kedekatan dan ketidakasingan ini telah menyebabkan tidak saja sebagian kecil dari anggota komunitas ini menjadi meningkatkan ”keberpura-puraan” mereka dengan ”meninggalkan” keyakinan tradisional mereka lalu memeluk agama lain. Keberpura-puraan ini dimotivasi paling tidak agar mereka ”merasa aman” dan eksis sebagai individu dan kelompok dengan menampilkan secara fisik di luar sebagai ”pemeluk” agama lain. Akan tetapi sebagian besar dari mereka menjadi frustasi dan masakbodoh, namun secara non fisik dan ke dalam mereka tetap menjadi pemeluk dan mempercayai keyakinan tradisional mereka. Seandainya Pemerintah Pusat tidak melaksanakan kebijakan menyesatkan (misleading policy) yang melanggar hak-hak dasar tersebut, apa yang disebut ”masalah Cina” tidak akan pernah terjadi berkepanjangan di Indonesia, apalagi di Kalbar pada mana masyarakat non-Tionghoa dan komunitas Tionghoa secara tradisional pernah merasa tidak terpisahkan, sehingga masalah itu tidak pernah dirasakan benar-benar terjadi.[11] Dalam kaitan ini paling tidak ada dua kebijakan atau tindakan yang perlu dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh anggota komunitas Tionghoa itu sendiri kalau masalah tersebut tidak ingin terjadi. Pertama, Pemerintah Pusat perlu mengambil dan melaksanakan kebijakan yang mengandung ideologi multikulturalisme dan Masyarakat Madani yang menitik-beratkan pada demokrasi dan perlindungan HAM. Kedua, terhadap anggota komunitas Tionghoa, mereka perlu pula memperhatikan dan melaksanakan salah satu dari dua hal prinsip. Prinsip pertama dianut oleh Philipina dan disarankan baik oleh H. Karim Oey maupun H.Yunus Yahya[12] bahwa integrasi bangsa dan pembentukan bangsa yang kuat akan tercipta bilamana anggota kelompok minoritas masuk secara insklusif dan sepenuhnya ke dalam kelompok mayoritas, terutama melalui agama. Prinsip kedua dianut oleh penganut perspektif sosiologi agama dan sosiologi etnis dan didasari pada pengalaman hubungan etnis di berbagai negara di dunia bahwa, sebagaimana diduga oleh Berreman (dalam Yetman, 1990: 1-21), kerenggangan hubungan sosial antara dua kelompok yang sudah dirasakan sebelumnya karena adanya perbedaan dalam etnisitas dan ras, bahkan untuk beberapa hal dalam kelas sosial (social class), cenderung menjadi bertambah, karena anggota kelompok minoritas lebih memilih atau memeluk agama lain yang dianut oleh kelompok minoritas lain. Ketegangan dan kerenggangan terjadi pada dua komunitas ini, karena ada anggapan bahwa anggota komunitas Tionghoa berusaha menjauh dari kelompok mayoritas. Di Kalbar, anggapan ini mulai terasa.
6. Revivalisasi dan Revitalisasi Komunitas Tionghoa Di Kalimantan Barat: Kembali ke Konfusianisme. Setelah Era Reformasi perkembangn negatif itu bergerak kearah berlawanan bahkan kembali ke arah semula. Arah berlawanan itu merupakan kecenderungan yang terjadi pada anggota komunitas Tionghoa dari ”memeluk” agama lain yang sebagian dimotivasi oleh pertimbangan praktis agar dapat melaksanakan praktek ritual lama secara tersembunyi, atau pertimbangan ekonomi dan politik, kembali ke keyakinan tradisional semula, karena adanya kebebasan beragama dan diijinkan sejak Era reformasi untuk memeluk kembali Konfusianisme secara terang-terangan. Gerakan kearah berlawanan ini ternyata membawa dampak positif bagi hubungan sosial antara anggota komunitas Tionghoa dengan anggota kelompok aliran utama -- komunitas non Tionghoa. Perkembangan pesat Konfusionisme secara fisik dan non fisik tampaknya tidak dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan keberagamaan penduduk mayoritas setempat. Perkembangan fisik Konfusianisme dapat dilihat pada kondisi saat ini di Kalbar pada mana kondisi sosial budaya sekarang kembali lagi seperti kondisi sebelum Era ORBA. Kelenteng-kelenteng atau toapekong-toapekong bermunculan lagi di sepanjang jalan dari Kota Pontianak ke Sambas, ke Sanggau, Melawi, Sintang, ke Putussibau dan ke Nangah Pinoh, dan di kota Ketapang sendiri, tanpa dirasakan sebagai provokasi dan gangguan terhadap keyakinan masyarakat disekitarnya, dibandingkan dengan keberadaan tempat ibadah penganut agama lain. Selain itu, acara permainan barongsai, naga-naga, Lohya dan Tatung bermunculan pula di daerah ini yang disambut dengan antusiasme tinggi oleh masyarakat setempat. Pada tingkat tertentu, semangat religiustias dan kelahiran kembali budaya konfusianisme ini dapat pula disebut revivalisasi dan revitalisasi bahkan kesadaran etnis (lihat Alqadrie, 2006:1113-1132)[13] di kalangan anggota komunitas ini. Aneh tetapi nyata, kesadaran etnis ini tampaknya tidak dianggap menjadi ancaman terhadap dan tidak juga menimbulkan keresahan bagi penduduk setempat, komunitas non Tionghoa. Ini membuktikan bukan saja kesadaran etnis yang dialami oleh anggota komunitas ini lebih merupakan kesadaran yang timbul dari dalam (internal ethnic consciousness),[14] tetapi juga merupakan hasil atau perwujudan dari keberhasilan mereka, sebagai kelompok yang dianggap minoritas, membangun relasi dan interaksi sosial yang konstruktif dengan para anggota masyarakat setempat non Tionghoa. Kondisi ini -- cenderung disebut semangat hidup bersama -- yang khususnya terdapat di kawasan-kawasan Utara, Timur Laut dan Timur provinsi ini, ternyata menolak hasil pengamatan beberapa sarjana (Gittler, 1956:vii; William,1964:304; Berreman, dalam Yetman, 1990:1-21) yang menyatakan bahwa kelompok minoritas adalah mereka yang menerima perlakuan diskriminasi dan pengasingan yang luar biasa dan menduduki posisi relatif sangat rendah dalam masyarakat, dalam hal ras dan kelas. Kalaupun kecenderungan itu ada, perlakuan semacam itu disinyalir boleh jadi pernah terdapat di daerah-daerah lain, bukan di daerah ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN I. Buku dan Literatur. Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1979. Kesultanan Pontianak di Kalimatan Barat: Dinasti dan Pengaruhnya di Nusantara. Hasil Penelitian Sejarah didanai oleh (sponsored by) Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (DP3M), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), RI. Jakarta – Pontianak: DP3M dan UNTAN. ------------------------. 1984. Sejarah Sosial Kota Pontianak. Kota Pontianak dari Perspektif Sejarah Sosial. Hasil Penelitian diselenggarakan atas kerjasama LIPI dengan UNTAN. Jakarta: LIPI. ------------------------. 1987. Cultural Differences and Social Life Among Three Ethnic Groups, Buginese, Dayaknese and Madurese, in West Kalimantan, Indonesia. M. Sc. Tesis in Department of Rural and Agricultural Sociology. Lexington, Kentucky: University of Kentucky. ------------------------. 1990. Ethnicity and Social Change in Dyaknese Society of West Kalimantan, Indonesia. Ph.D. Dissertation in Department of Sociology. Lexington, Kentucky: University of Kentucky. -----------------------. 1993a. Propinsi Yunan dan Penjelajahan Laksamana Cheng Ho. Makalah disampaikan kepada para peserta Seminar Internasional diselenggarakan di Kunming, Yunan, Cina Selatan, 15 – 18 Juli 1993 atas kerjasama Gabungan Penulis Nasional (GAPENA) Malaysia, dan Institute Studi Kebudayaa Asia Tenggara Yunan. -----------------------. 1993b. Catatan Perjalan Rombongan Gabungan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) ke Berbagai Kawasan di Provinsi Yunan, Cina Selatan. Kunming, Yunan – Kuala Lumpur, Pontianak, Kalbar: Arsip pribadi dan GAPENA. -----------------------. 1998. Otonomi Daerah dan Konsep Putera Daerah. Seminar disampaikan kepada para peserta Seminar Nasional Dalam rangka Dies Natalis Universitas Tanjungpura Ke 39, di Pontianak, 20 Mei 1998. ----------------------. 2004. “The pattern of Ethnic Violent Conflict in West Kalimantan,” in Timo Kivimaki, Media and Violent Conflict in West Kalimant. Copenhagen, Denmark: ICSN -----------------------. 2005a. Sosialisasi Pluralisme dan Multikuturalisme Melalui Pendidikan. Makalah ini disampaikan kepada para peserta acara Temu Budaya bertema ”Peningkatan Pemahaman Multikulturalisme di Sambas Melalui Pendekatan Sejarah” diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kalbar bekerjasama dengan Pemda Kab. Sambas dan Keraton Sambas di Keraton Sambas, 21 Nopember 2005.
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 2005b. Kesultanan Qadariyah Pontianak: Perspektif Sejarah dan Sosiologi Politik. Makalah Seminar Internasional Disajikan Kepada Para Peserta Seminar Kerajaan Nusantara Diadakan Atas Kerja Sama Pemerintah Kerajaan Pahang dengan Universiti Malaya, di Kuatan, Malaysia, pada 8 –11 May 2005. ----------------------. 2006. “Purifikasi dan Revitalisasi Dinamika Melayu Dahulu, Sekarang dan Akan Datang” (1113-1132), dalam Sejarah dan Dialog Peradaban: Persembahan 70 Tahun Prof. Dr. Taufik Abdullah. Jakarta: LIPI Press. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kalbar. 2005. Kalbar Dalam Angka. Pontianak: Bappeda Provinsi Kalbar. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). 2005. Singkawang Dalam Angka 2004. Singkawang: Bappeda Kota Singkawang. Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnis dan Batasannya. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Berreman, Gerald. 1990. “Race, Caste, and Other Invidious Distinctions in Social Stratification.” Dalam Norman Yetman, Majority and Minority: The Dynamics of Race and Ethnicity in American Life. Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon. Gittler, Joseph 1956. Understanding Minority Group. New York: Willy. Rahman, Ansar, Ja’Achmad, dkk. 2000. Syarif Abdurrahman Alkadri. Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika atas nama Pemkot Pontianak. Richer, George dan Douglas Goodman, 2004. Modern Sociological Theory. New York: McGraw Hill. Rivai, Mawardi. 1995. Peristiwa Mandor. Pontianak: Romeo Grafika. Sahar, Muhammad Yusuf. 1983. Sejarah Hari Jadi Kota Mempawah. Mempawah: Pemda Kabupaten Pontianak. Smith, Datus. 1965. The Land and People of Indonesia: Potraits of the Nations Series. New York: J. B. Lippincott. Suparlan, Parsudi. 2001. ”Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme.” Dalam Harian Media Indonesia. 10 Desember. ----------------. 2002. Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural’ Tulisan ini merupakan Keynote Address yang disajikan dalam Sesi Pleno I pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002. Thompson, Dennis dan Don Ronel. 1985. Ethnicity, Politics, and Development.. Boulder, Colorado: Lynne Reinner, 1985. William, Robin. 1964:304) Stangers Next Door: Ethnic Relation in American Communities. Engle Wood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Yetman, Norman. 1990. Majority and Minority: The Dynamics of Race and Ethnicity In American Life. Boston, Massachusetts: Allyn and Bacon.
II. Surat Kabar. -----------------. “Orang-Orang Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat.” Dalam Suara Merdeka, 17 Januari 2004:4
[1] Tulisan ini merupakan Kata Pengantar/Pendahuluan Utama dalam buku F. X. Asali (2006) Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat. Kemudian dengan perbaikan seperlunya, tulisan ini dijadikan sebuah makalah (kertas kerja) yang disampaikan kepada para peserta Seminar Internasional bertema Transformasi Sosial Masyarakat Perkotaan di Borneo/Kalimantan II yang dilaksanakan bekerjasama antara Universitas Tanjungpura (UNTAN) dengan Universitas Malaysia (UNIMAS), di Universitas Negeri Tanjungpura, Pontianak, pada 13 s/d 15 Agustus 2006. [2] Alqadrie adalah Profesor Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura (UNTAN), Pontianak. Sejak Agustus 1995 s/d September 2001 ia menjabat Dekan pada fakultas tsb selama dua kali masa jabatan. Pengalaman kerjanya dimulai dari menjadi Guru SD Islamiyah Kampung Bangka (1966-1968), Guru SMEP Negeri (1968-1972), Guru SMEA Negeri Pontianak (1972-1974), Asisten Dosen Luar Biasa UNTAN (1969-1974) dan Dosen Tetap UNTAN (1975-sekarang). Sejak 2001 s/d sekarang menjadi Dosen Tamu (Visiting Professor) di Nordic Institute of Asian Studies (NIAS) di Copenhagen, Denmark. Pendidikan Sarjana Satu (S1) diperolehnya dalam Jurusan Ilmu Administrasi Negara (IAN) Kosentrasi Kebijakan Publik (Public Policy) di FISIPOL UNTAN (1974). Sarjana Dua (S2) [M.Sc] tahun 1987 dan Sarjana Tiga (S3) [Ph.D] tahun 1990 diperolehnya masing-masing dalam Jurusan Sosiologi Pertanian, Pedesaan dan Kehutanan (Agricultural, Rural and Forestry Sociology) dan Jurusan Sosiologi Politik dan Etnisitas (Political Sociology and Ethnicity) pada University of Kentucky, Lexington, AS. Tahun 1993 ia memperoleh Penghargaan David Penny Award dari Pemerintah Australia sebagai penulis terbaik tentang Kemiskinan. Tahun 1998 mengikuti Kursus Singkat Angkatan (KSA) VII LEMHANNAS (selama 4½ bulan) di Jakarta. Pada tahun 1999 dianugrahi Bintang Jasa Utama oleh Presiden R.I. Dalam tahun yang sama dianugrahi Bintang Kesetian Dalam Pengabdian 30 tahun dari Pemerintah Daerah Kalbar. Sejak Juli 2000 s/d Nopember 2004 diangkat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial UNTAN. Menjadi anggota Komisi Pengarah. (Steering Committee/SC) Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) sejak 2000 dan Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD) sejak 2003. Dari tahun 2000 s/d sekarang diangkat sebagai Koordinator Indonesian Conflict Study Network (ICSN) se Kalimantan yang berkantor Pusat di University of Helsinki, Filandia, dan Kantor Cabang Utama di NIAS, Copenhagen, Denmark.
[3] Laksaman Cheng Ho -- orang-orang Tionghoa Kalbar, menurut Asali (2006), menyebutnya Sam Po Kung, berdasarkan catatan Alqadrie (1993b) dalam kunjungannya beserta rombongan Gabungan Penulis Nasional Malaysia (GAPENA) ke berbagai kawasan di Provinsi Yunan tahun 1994 adalah seorang anggota sub etnis Hui dari marga (Siang) Ma. Laksamana ini berasal dari Kabupaten Naku, Provinsi Yunan, Cina Bagian Selatan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dan ia dengan seluruh keluarganya juga beragama Islam. Atas nama dan perintah Kaisar Cheng Tsu, Laksamana Ma Cheng Ho dengan armadanya melakukan ekspedisi dan muhibah ke kawasan-kawasan sekitar Laut Cina Selatan (Nan Yang) sebanyak beberapa kali. Ia dengan seluruh anak buah disamping menjadi duta-duta yang mewakili kekaisaran, kaisar dengan seluruh keluarganya dan seluruh rakyat di situ untuk meningkatkan persahabatan dengan penguasa dan rakyat di kawasan yang dikunjungi mereka, mereka juga menyebarkan agama dan syiar Islam. Kunjungan itu disebut di dalam sajakTaufik Abdullah sebagai penjelajahan kemusiaan, bukan penjajahan yang menghancurkan kemanusiaan. Penjelajahan semacam ini merupakan awal dan akar dari interrelasi dan interaksi positif antara Negeri Tiongkok yang sekarang dilanjutkan oleh kelompok etnis Cina Indonesia di Indonesia, khususnya anggota komunitas Tionghoa, dengan anggota komunitas Non-Tionghoa di Kalbar (Alqadrie, 1993b). [4] Mentrado sekarang termasuk di dalam Kecamatan Mentrado, Kabupaten Bengkayang setelah sejak tahun 1999 diperluas/dimekarkan dari Kabupaten Sambas. [5] Mandor sekarang merupakan bagian dari Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak setelah sejak tahun 2000 diperluas/dimekarkan dari Kabupaten Pontianak. [6] Dalam arti sempit, asimilasi dapat disamakan dengan integrasi, namun kedua konsep ini sangat berbeda. Contoh yang paling jelas untuk penggunaan konsep pertama adalah kebijakan politik yang dipraktekkan oleh Kolonialisme Spanyol pada sebagian terbesar bangsa-bangsa di negara-negara Amerika Latin dan Philipina, dan oleh Kolonialisme Portugal terhadap Brasil dan Timor Leste. Bangsa dari Negara tersebut sekarang ini pernah menjadi sebuah komunitas yang tidak mengandung multi etnis, multi budaya, bahasa, dan multi agama (a multi religious, linguistic, cultural, ethnic community), karena kelompok etnis mayoritas yang dominan dalam bidang ekonomi dan politik dengan dukungan dari pemerintah Kolonial Spanyol dan Portugal mengisap (absorbing) kelompok masyarakat yang besar jumlahnya namun dikuasai secara ekonomi, politik dan budaya, sehingga kelompok terakhir ini terhisap (absorbed), kehilangan identitas dan kehilangan keberadaan atau eksistensinya dan makna sebagai sebuah kelompok etnis (de-vivalization and de-revitalization) sehingga ia tidak diperhitungkan lagi. Atau paling tidak mereka menjadi bangsa-bangsa dengan komunitas homogen (homogeneous community). Pada negara-negara tersebut Spanyol dan Portugal menerapkan apa yang disebut dengan kebijakan asimilasi yang tidak seimbang (unbalanced assimilation). Berbeda dengan bangsa-bangsa di Amerika Latin, Philipina dan Timor Leste yang pernah dijajah oleh kedua negara penjajah tersebut, Indonesia, Suriname, Malaysia, dan Singapura yang pernah dijajah masing-masing oleh Belanda dan Inggeris, walaupun tidak kalah menderita, terutama Indonesia, disbanding dengan bangsa-bangsa yang disebut sebelumnya, masih tetap hidup dan berkembang sampai sekarang sebagai sebuah komunitas yang multi etnis, budaya, bahasa, dan agama dalam mana kelompok-kelompok yang berbeda dalam etnisitas, budaya, agama, dan bahasa dapat hidup berdampingan secara damai. Hal ini disebabkan kedua Negara penjajah ini lebih menerapkan kebijakan integrasi atau penyatuan politik dengan memberikan kebebasan bagi bangsa-bangsa yang dijajah mereka untuk mengembangkan hak-hak tradisional mereka. Jadilah bangsa-bangsa ini sebagai komunitas-komunitas heterogen (heterogeneous communities). [7] Istilah kawin campur seimbang dan kawin campur tidak seimbang sebagai istilah dalam sosiologi sering dikaitkan dengan kawin campur (intermarriage) antara anggota kelompok etnis atau komunitas satu dengan anggota kelompok etnis lain. Disebut seimbang jika perkawinan itu terdiri dari laki-laki dan perempuan dari satu kelompok etnis tertentu mengawini laki-laki dan wanita kelompok etnis lain, tidak hanya laki-lakinya saja mengawini perempuan dari kelompok lain atau sebaliknya, tetapi perempuan dari kelompok tersebut bersedia kawin dengan atau dikawini oleh kelompok lain dengan jumlah yang relatif seimbang tanpa melihat kedudukan atau status sosial ekonomi laki-laki dari kelompok itu. Sebaliknya disebut tidak seimbang, bila pada perkawinan campur itu, laki-laki dari kelompok etnis tertentu sering hanya bersedia mengawini perempuan dari kelompok etnis lain, sedangkan anak perempuan dari kelompok disebut pertama “tidak umum” kawin dengan laki-laki kelompok lain. Kalaupun perempuan dari kelompok etnis itu bersedia dikawini oleh laki-laki dari kelompok lain, biasanya laki-laki itu memiliki status social ekonomi lebih baik. [8] Ideologi keluarga adalah istilah yang menunjuk pada siapa yang menentukan kebijakan, arah perkembangan keluarga dan pendidikan anak-anak dan generasi baru/ penerus dalam satu keluarga atau pada/dari siapa turunnya garis keluarga, seperti nama keluarga, tradisi dan kebiasaan umum keluarga tersebut. Apakah ditentukan oleh fihak laki-laki/ suami atau oleh fihak perempuan/ isteri. Kalau unsur-unsur tersebut ditentukan oleh laki-laki atau suami, maka ideologi keluarga berada pada fihak atau di tangan laki-laki/ suami, sebaliknya bila segalanya ditentukan oleh fihak isteri, maka ideologi keluarga berada pada perempuan/isteri. [9] Sampai sekarang kelompok etnis Yahudi dan Minangkabau dianggap sebagai dua kelompok etnis di dunia yang sebagai besar anggota kelompok mereka masih menganut dan memberlakukan sistem garis ibu (matrilineal system) dalam mana ideologi keluarga berada pada fihak perempuan. [10] Walaupun di dunia ini sekarang tidak ada lagi anggota kelompok etnis yang benar-benar menganut secara murni dua macam sistem ideologi keluarga berdasarkan pada garis bapak (patrilinial sistem) dan lainnya pada garis ibu (matrilineal system). Akan tetapi, di dunia ini hanya ada dua kelompok etnis yang diperkirakan memiliki dan menganut sistem matrinial. Salah satu diantaranya berada di Indonesia, tepatnya di Sumatera Barat (Sumbar) yaitu Minang lengkapnya kelompok etnis Minangkabau. Kelompak etnis lainnya adalah Yahudi. Anak-anak menjadi anggota etnis Minangkabau ditentukan dan dipengaruhi oleh ibu mereka, walaupun ibu mereka kawin dengan laki-laki dari kelompok etnis manapun. Begitu juga pada kelompok etnis Yahudi, keyahudian anak-anak sangat ditentukan oleh ibu -- bukan oleh ayah –Yahudi, walaupun si ibu kawin dengan laki-laki dari kelompok etnis manapun. [11] Apa yang disebut dengan “masalah Cina” sebenarnya di Kalbar hampir tidak pernah menjadi masalah. Oleh karena itulah, mungkin dua kata ini perlu diluruskan, karena ada kesan kata-kata itu tampaknya timbul secara sefihak, Siapakah yang betul-betul merupakan sumber masalah dan masalah apa yang ditimbulkannya? tidak pernah terungkapkan. Penyebab utama peristiwa “pengungsian berdarah” sejumlah besar orang-orang Tionghoa kelas bawah di kawasan pedalaman Kabupaten Bengkayang, Sambas, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Pontianak (dulunya kawasan dari Kabupaten Sambas dan Pontianak sebelum perluasan dua kabupaten itu) pada tahun 1966/67/68 hampir tidak pernah terungkapkan secara luas (Alqadrie, 2000 dalam Kivimaki 2004). Ketika terjadi pertikaian berdarah di Jakarta sekitar 1997/98 kebanyakan orang-orang Tionghoa yang berasal dari Kalbar pulang kampung untuk menghindari korban lebih besar lagi, mereka aman dan diterima oleh masyarakat Kalbar non-Tionghoa dengan baik. Itulah salah satu bukti dari hubungan tradisional dan keharmonisan sukarela (voluntary harmony), bukan keharmonisan dipaksakan (forced harmony) antara kelompok masyarakat non-Tionghoa dengan anggota komunitas Tionghoa di daerah ini. Kalau Gubernur Kalbar ingin menyukseskan programnya Harmoni Dalam Etnis, ia dan stafnya harus menekankan pada harmoni yang pertama. [12] Kedua orang ini adalah dua dari banyak pemuka masyarakat (Social leaders) Cina keturunan Indonesia (Indonesian-descendant China) di Indonesia berkedudukan di Jakarta. Mereka telah lama memperjuangkan pembauran aktif dan sukarela (voluntary) di Indonesia dalam mana anggota komunitas Cina keturunan Indonesia masuk dan membaur ke dalam aliran utama (main stream) masyarakat Indonesia melalui agama. Dalam arti bahwa mereka sebagai kelompok minoritas mengikuti atau memeluk agama kelompok mayoritas. Pemikiran mereka ini cukup beralasan dengan melihat keberhasilan pembauran di Filipina dalam mana anggota komunitas Cina keturunan Filipino yang merupakan kelompok miniritas masuk sepenuhnya ke dalam masyarakat aliran utama masyarakat Filipina dengan memeluk agama mayoritas penduduk di situ.. Faham ini menyebabkan tidak ada masalah yang berarti (biasanya disebut “masalah Cina”) dalam hubungan antara kedua kelompok mayoritas dan minoritas. [13] Revivalisasi adalah proses menghidupkan kembali unsur budaya yang semulanya dianggap telah mati atau telah tiada karena disembunyikan atau tersembuyi demi atau karena pertimbangan tertentu seperti pertimbangan bagi kelangsungan hidup kelompok itu sendiri. Proses ini biasanya timbul bersamaan dengan kesadaran etnis dari dalam (internal ethnic consciousness) yang didorong oleh keinginan untuk memperlihatkan masih adanya kelompok etnis tersebut, sehingga kelompok etnis ini perlu saling harga menghargai. Revitalisasi menunjuk pada proses meningkatkan kapasitas dan kualitas kelompok etnis untuk tampil sebagai kelompok yang diperitungkan dalam segala bidang, termasuk bidang politik dan ekonomi dengan mendorong anggota kelompok yang bersangkutan untuk menduduki posisi-posisi tersebut. [14] Paling tidak ada 2 (dua) macam kesadaran etnis, kesadaran dari dalam dan kesadaran dari luar. Timbulnya kesadaran etnis dari luar (external ethnic consciousness), sebagai lawan dari kesadaran etnis dari dalam, lebih disebabkan oleh keinginan anggota kelompok etnis tersebut yang diperlakukan kurang adil dan ketika berhadapan dengan kelompok etnis lain yang lebih berkembang dan maju, untuk memiliki kedudukan dan kondisi yang sama dengan kondisi yang dimiliki oleh kelompok etnis lain. Menurut pengamatan, kesadaran etnis dari anggota komunitas Tionghoa di Indonesia, khususnya di Kalbar, lebih berujud pada kesadaran etnis yang timbul dari dalam, lebih mendekati revivalisasi daripada revitalisasi. Adanya kesadaran bahwa mereka telah dan akan ada, karenanya mereka hendaknya menghargai kelompok lain dan kelompo lain mengakui dan menghargai keberadaan mereka. Kalaupun kesadaran itu timbul lebih disebabkan oleh pemahaman mereka terhadap ketidakadilan, itu lebih merupakan kesadaran etnis dari luar yang bersifat positif, dalam mana para anggota kelompok komunitas Tionghoa di Indonesia, terutama di Kalbar, mengingini kedudukan dan posisi mereka sama dengan posisi kelompok etnis lain tetapi dengan melalui usaha dan kerja keras, tidak dengan melalui cara-cara kekerasan dan melanggar hukum.
4. POLA TINGKAH LAKU POLITIK LOKAL PADA KESULTANAN PONTIANAK SAMPAI DENGAN MASA 1950 OPINI SEJARAH SOSIAL DALAM RANGKA FBBK Syarif Ibrahim Alqadrie
Kesultanan Qadriah Pontianak lahir pada 23/10 - 1771 bertepatan 12 hari bulan Rajab 1185 H. Kelahiran ini bersamaan pula dengan periode bercokolnya imperialisme Barat yang menyebabkan kehidupan kesultanan ini tertekan di bawah eksploitasi kekuasaan imperialisme tersebut. Ini berarti bahwa hubungan Kesultanan Pontianak dan Sultan serta para kerabat istana dan rakyatnya, disatu fihak, dengan pemerintah kolonialisme Belanda bersama pejabatnya, dilain fihak, bersifat tidak seimbang: imperialistis dan eksploitatif. Menghadapi ini, sebagian sultan, pangeran dan para pembantunya tampaknya “menerima” perlakuan tidak adil ini “tanpa banyak reaksi dan oposisi,” sehingga ada kesan Kesultanan Pontianak ”bersekutu” dengan pemerintahan penjajahan Belanda. Padahal “ketundukan” itu merupakan keterpaksaan dan strategi menghindari konflik militer langsung antara kedua fihak yang berakibat kehancuran bagi kesultanan ini yang tidak memiliki pesenjataan yang cukup. Dua Sikap Dasar Menghadapi Politik Imperialisme Belanda. Dalam menghadapi politik imperialisme dan menghidari konflik senjata langsung dengan Belanda, ada 2 (dua) sikap dasar yang membentuk 2 (dua) kelompok berbeda di kalangan istana dan rakyat Pontianak: Kelompok pertama menentang keras terhadap pemerintah kolonialisme dan imperialisme Belanda, para sultan dan pembantunya yang berkuasa saat itu. Kelompok kedua lebih kompromistis terhadap Belanda dan sultan, atas perjanjian memberatkan dan menghinakan kesultanan dan rakyat. Para sultan tidak mempunyai pilihan lain, karena kesultanan tidak memiliki persenjataan secanggi persenjataan Belanda. Kelompok pertama membentuk pemukiman sendiri yang sampai sekarang disebut Kampung Luar, sebagai simbolisasi dari “ke luar atau dikeluarkan dari lingkungan istana,” Kampung Banjar Serasan dan Kampung Kapur, karena kelompok ini menentang kebijakan Belanda tidak adil dan menghinakan, dan mencari pemukiman lain di luar ketiga tempat itu, seperti Kampung Tanjung Saleh, Jungkat dan Kubu, maupun di luar kawasan kesultanan Pontianak yang sekarang disebut kawasan Kampung Tuan-Tuan, khususnya Desa Bintang Munsir, Kabupaten Ketapang dan kabupaten-kabupaten perhuluan (the interior upland areas of districts). Sikap seperti ini ditunjukkan oleh Sultan Syarif Usman, yang mengundurkan diri dari jabatannya 5 (lima) tahun sebelum ia wafat sebagai protes terhadap Belanda. Pangeran Bendahara Syarif Ja’far -- paman Sultan Syarif Muhammad -- melancarkan protes dan penolakan terhadap penetapan pajak (blasting) yang terlalu memberatkan rakyat. Ia diusir Belanda dari Pontianak dan memutuskan untuk merantau ke Mekah dan meninggal dunia di sana. Pangeran Adipati ”tua” Syarif Husin Al-Qadrie -- paman Sultan Muhammad -- menunjukkan penentangannya baik terhadap ponakannya sendiri, yang dianggap “tidak bersikap kritis” terhadap Belanda dan “memasukkan” cara-cara dan etika pergaulan Barat ke dalam istana, maupun terhadap Belanda yang menetapkan kerja rodi dan pajak yang menekan rakyat, serta menuntut penguasa Belanda di Kalbar ke pengadilan (landraad) Bandung yang mengambil tanah rakyat dengan sewenang-wenang. Pangeran Adipati “muda” aktif dalam pergerakan nasional, bertemu dengan dr. Susilo di Banjarmasin untuk menyusun strategi menentang Belanda dan Jepang, mengorganisir perlawanan dari Kampung Luar dan Desa Tanjung Saleh, Kecamatan Sungai Kakap. Syarif Maswar Al-Hinduan sangat antipati terhadap Belanda dan Gerakan Komunis, dan bergabung dengan Partai Indonesia Raya (Parindra) kemudian PNI/PDI. Selain sultan, pangeran dan para kerabat tersebut di atas, banyak lagi tokoh masyarakat Pontianak menjadi “pemberotak” terhadap Belanda, dan mereka meninggalkan kawasan kesultanan. Keturunan mereka tersebar di seluruh Kalbar dan kawasan Nusantara dan menjadi orang-orang kritis, berwawasan Nusantara dan mereka inilah yang memperoleh kemajuan dalam sektor pendidikan dan ekonomi. Sultan Abdurrahman vs Puteranya, Sultan Kasim Al-Qadrie Kurang lancarnya interaksi social antara Abdurrahman dengan puteranya Kasim antara lain disebabkan oleh fakta bahwa ayahnya lebih mengingini puteranya ini menjadi sultan sementara di Mempawah, dan tidak di Pontianak, sebaliknya Abdurrahman lebih mengijinkan Usman Al-Qadrie menjadi Sultan Qadriah di Pontianak. Persetujuan Sultan Abdurrahman mengangkat putera-puteranya, Kasim sebagai Sultan Mempawah dan Usman sebagai Sultan Pontianak, didasarkan pada konsep putera daerah. Ibu Syarif Kasim adalah Utin Candramidi, keturunan Dayak Mempawah -- puteri Sultan Daeng Manambon, sedangkan ibu Syarif Usman adalah Ratu Kusumasari, keturunan Dayak Pontianak. Konsep ini ditambah dengan konsep arsitektur yang, menurut pemikiran Dian Alqadrie (2004), dilandasi oleh faktor geografis -- Mempawah berdekatan dengan kawasan air/laut, sedangkan letak Pontianak adalah di kawasan darat/hutan -- sehingga Kasim seharusnya mengabdi di Mempawah dan Usman Al-Qadrie seyogyanya berkuasa di Pontianak. Syarif Kasim sebagai Sultan Mempawah dengan dukungan Belanda tidak diijinkan oleh Sultan Abdurrahman untuk datang ke Pontianak menggantikan kedudukannya sebagai Sultan Pontianak setelah ia wafat. Menurut versi Belanda (Rahman, 2000: 110) kekecewaan Sultan Abdurrahman kepada puteranya itu disebabkan ia telah “membunuh” seorang Kapten kapal Inggeris, Nakhoda kapal Cina dan “berhutang” sebesar 30.000 peso Spanyol. Akan tetapi kekecewaannya pada puteranya lebih disebabkan Sultan Kasim melaksanakan perjanjian dengan Belanda berkaitan dengan Mempawah. Ini merupakan politik pecah belah (devide et impera politics) Belanda. Namun akhirnya, Kasim Al-Qadrie diangkat juga sebagai Sultan Pontianak II dengan persetujuan Adiknya, Usman Al-Qadrie, yang bersedia menjadi Pangeran Ratu setelah Kasim berjanji hanya memerintah 10 tahun saja. Ia meninggalkan Mempawah dan diganti oleh adiknya Hussein Al-Qadrie, putera Sultan Abdurrahman lainnya (Haji Yahaya, 1999:228) sampai pangeran Adi Jaya dewasa dan siap untuk menjadi Sultan di Mempawah. Keputusan Sultan Kasim dan Sultan Hussein mengembalikan pemerintahan Mempawah ke tangan pewarisnya yang paling berhak, Pangeran Adijaya, merupakan bentuk kesadaran politik untuk menciptakan kesetiakawanan sosial antara kesultanan di kawasan tersebut dalam menghadapi Belanda. Ini juga merupakan realisasi dari Konsep Putera Daerah yang telah lama dijadikan prinsip dalam pengangkatan seorang pemimpin. Sekarang konsep tersebut telah dimodifikasi dan diperkenalkan secara luas oleh Syarif Ibrahim Alqadrie (2000) dalam mengatasi ego local/regional (provincialism/ ethnocentrism) dan memperkuat NKRI. Selain itu, Kesultanan Mempawah merupakan cikal bakal dari Kesultanan Pontianak yang harus diakui keberadaannya. Kenyataannya, Sultan Syarif Kasim tidak menepati janji. Ia baru menyerahkan kekuasaannya setelah 11 tahun berkuasa kepada adiknya, Syarif Usman, dan bukan 10 tahun sesuai dengan janjinya. Keterlambatannya setahun kenyataannya digunakannya untuk menghadapi ”masa transisi” antara masa kekuasaan Inggeris pada 1811 – 1816 dengan kekuasaan Belanda, agar Syarif Usman, yang belum dewasa ”tidak mengalami kesulitan” dalam menjalankan kekuasaan. Berdasarkan sumber British Library (Dalam Rahman, 2000:111 dan Alqadrie, 1982:76;2005) Sultan Kasim memiliki hubungan erat dengan Inggeris di bawah Gubernur Jenderal Thomas S. Raffles, bahkan juga dengan Pemerintah Hindia Belanda ketika ia mendapat pengakuan dari Batavia setelah Inggeris menyerahkan kembali Indonesia kepada Belanda. Sultan Hamid II dan Gagasan Politiknya. Pola politik nasional khususnya regional yang bersinggungan langsung dengan Sultan Hamid II adalah kontroversi mengenai persepsi hubungan antara pewaris terakhir tahta Kesultanan Qadriah in dengan Pemerintah R.I. awal Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan dengan Pemerintah Belanda. Karena keprihatinannya terhadap kondisi Kalbar Syarif Hamid Al-Qadrie kembali ke Pontianak, dan ponakannya, Syarif Thaha Al-Qadrie, menyerahkan kekuasaan kepadanya untuk menjadi Sultan Pontianak VIII dengan sebutan Sultan Hamid II. Ia berketetapan hati melanjutkan obsesi leluhurnya untuk membangun Kalbar umumnya dan Pontianak khususnya. Namun, bahwa kehadirannya sebagai pewaris tahta Kesultanan Qadriah dan sekaligus kepala Swapraja Daerah Kalbar, seperti disinyalir oleh beberapa kalangan di Jawa (Iskandar, 1991:65); Rahman, 2000: 173-175), dianggap didukung oleh Van Mook yang “memanfaatkannya” untuk memecah belah Indonesia, lalu “berkomplot” dengan Belanda untuk “menghancurkan” Republik Indonesia, adalah kurang tepat dan pemutarbalikan fakta sejarah. Obsesinya yang sebenarnya, menurut Persaja (1955:163-164), adalah bahwa kedatangan dan dilantiknya Hamid Muhammad Al-Qadrie sebagai sultan Pontianak merupakan kehendak rakyat, dan setelah langsung berhubungan dengan rakyat, ia, sebagai kepala swapraja, menjadi lebih memahami bahwa cita-cita kemerdekaan telah meresap di hati sanubari rakyatnya. “Dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa (dan menciptakan kesejahteraan rakyat khususnya rakyat di daerah ini = tambahan penulis),” lanjut Prasaja (1955:164), “ia memiliki pemikiran politik tentang daerah ini sebagai Daerah Istimewa dari satu bagian yang tidak terpisahkan dari negara kesatuan, dan pemikiran seperti ini timbul ketika ia menyadari bahwa ‘bentuk federalisme’ yang sebelumnya dianggapnya paling baik bagi negeri ini, ternyata tidak tepat dan masih ada alternatif lain yaitu otonomi khusus. Pemikiran politik Sultan Hamid II bertujuan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui pemerintahan daerah sendiri yang otonom nyata, kuat dan sepenuhnya, bukan “kepala dilepas ekor dipegang.” Jauh sebelumnya, federalisme memang merupakan wacana pemikiran politik yang pernah diperjuangkannya. Ide politik seperti ini bertujuan menciptakan sistem yang lebih mengandung keadilan dan lebih mampu memakmurkan rakyatnya, bukan mengobrak-abrik SDA dan meninggalkan daerah menderita! Bangsa ini akan menjadi bangsa besar dan bermartabat, jika dimulai dengan obsesi dan gagasan besar bagi rakyat. Sekarang, ide besarnya itu baru dapat difahami bahwa keterpurukan, kesenjangan, ketertinggalan daerah dari Pusat dan dari Jawa, dan kekecewaan daerah, seperti Aceh, Papua, Riau dan sebagainya, antara lain disebabkan justru bangsa ini terlalu “takut” dengan sistem pemerintahan yang mampu menekan keserakahan dan memanusiakan rakyatnya. Padahal, berbagai sistem dan segala peraturan yang mengikat tidak lain merupakan social construction, bukan social facts (Najib Azca, 1998), yang keberadaan dan keberlakuannya lebih lanjut ditentukan apakah mereka memberi kemaslahatan dan kesejahteraan bagi banyak fihak – daerah-daerah dan sebagian terbesar rakyat di situ – bukan hanya satu daerah atau beberapa kelompok orang. Kesenjangan pemikiran dan Wawasan Kekeliruan Sultan Hamid II boleh jadi terletak pada fakta bahwa ide politiknya, walaupun masih dalam wacana, ternyata baru bisa digulirkan -- itupun masih belum aman -- di negeri Pancasilais ini, setelah era reformasi, tahun 1998 (setelah 52 tahun). Wacana ini digulirkannya ketika bangsa Indonesia baru saja selesai diperbudak bangsa lain selama lebih kurang 350 tahun, dan bahkan setelah “hantu-hantu” penjajahan seperti Van Mook, Van der Zwaal, bergentayangan menciptakan negara-negara bagian, dan pengkhianat-pengkhianat Indonesia, termasuk di Kalbar, begitu tega mengorbankan saudara mereka demi sedikit uang dan materi. Bisa dibayangkan apa yang akan diterima Sultan Hamid II dengan gagasan besar seperti itu. Kekeliruan lainnya mungkin terletak bahwa Sultan Hamid II dianggap memperoleh kekuasaannya karena dukungan Belanda; ia aktif berjuang bekerjasama dengan negara-negara bagian lainnya di Indonesia; dan sering mengikuti konferensi federal di dalam dan di luar negeri baik mewakili Kalbar, Republik Indonesia (RI) atas nama Sukarno - Hatta, maupun Badan Penyelesaian Pertentangan Politik Antara Belanda, negara Bagian dan R.I. (Bijeenkomst voor Federal Overleg/BFO) yang Hamid Al-Qadrie sendiri adalah ketuanya, sehingga ia sering dicurigai sebagai penghianat; dan kekurang pengertian dan wawasan sebagian tokoh masyarakat Kalbar terhadap tujuan gagasan politiknya, sehingga sebagian mereka menolak dan menentangnya. Padahal ide politiknya tidak lain adalah prediksinya tentang bahaya sentralisme yang mengandung unsur ketidakadilan, keserakahan dan marginalisasi Pusat terhadap daerah. Hal terakhir ini merupakan kekecewaan pertamanya terhadap Pusat dan daerahnya sendiri. Sebenarnya Pemerintah Pusat seharusnya bisa melihat peranan Sultan Hamid II dengan BFOnya saat itu. Beberapa kali Sukarno - Hatta mengadakan perundingan dan pendekatan dengan Badan BFO, pertama di Bangka 28 Mei 1948, kemudian di Yogyakarta 19 Juli, dan dilanjutkan di Jakarta, 23 Juli 1948 (Rahman, 2000:175-178), untuk bersepakat sebelum RI, negara-negara bagian dan BFO -- dimana Sultan Hamid II menjadi ketua delegasi -- menghadapi Konferensi Meja Bundar di Belanda. Bahkan Presiden Sukarno dan Wakilnya Hatta memanfaatkan BFO dan merangkul Sultan Hamid II ke meja perundingan bersama-sama Belanda. Ini adalah strategi Sukarno - Hatta untuk menyatukan Indonesia dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada ahirnya, tahun 1950 negara-negara bagian, termasuk Kalbar, membubarkan diri, dan terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peranan Sultan Hamid II dan BFOnya cukup besar, karena dalam menyelesaikan perselisihan politik antara R.I., Belanda dan negara-negara bagian, ia berpengaruh terhadap sejumlah pemimpin Belanda dan kepala negara-negara bagian dan cenderung berada di fihak R.I. Peranan Sultan Hamid II dan Kekecewaannya Tidak lama menjadi Sultan, pangkat Sultan Hamid dinaikkan menjadi Mayor Jenderal, ia juga mendapat jabatan kehormatan sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij H.M. Koningen der Nederlander). Ini merupakan pangkat dan jabatan tertinggi yang diperoleh seorang putera Indonesia dalam usia 33 tahun dalam Pemerintahan Belanda. Namun, peranannya sebagai ketua BFO, juru runding yang berfihak pada R.I., reputasi dalam ketentaraan serta keberhasilannya dalam mengamankan Kalbar, tidak menjadi pertimbangan pemerintah R.I. saat itu untuk memberinya jabatan sesuai dengan kemampuannya. Sultan Hamid II hanya diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio (bukan Menteri Departemen), walaupun ia menjadi anggota penyusun Kabinet bersama Muhammad Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX dan Anak Agung Gede Agung. Inilah kekecewaannya yang kedua. Ia mengakui, menurut Persaja (1955:179), sebagai Menteri Negara, ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan membikin rencana lambang negara (Garuda Pancasila), tidak ada tugas lain sampai ia ditangkap. Bahkan setelah Lambang Garuda Pancasila selesai dibuat dan menjadi lambang negara resmi yang diagungkan oleh rakyat Indonesia, namanya sebagai penciptanya, malah sebagai perencanapun, tidak pernah disebut-sebut. Ironisnya, menurut Turiman (2000) berdasarkan hasil penelitian tesis Magisternya, ia menemukan banyak bukti tertulis tentang siapa pencipta dan perancang Lambang Garuda Pancasila itu. Syarif Hamid Muhammad A1-Qadrie, bukan Muhammad Yamin, telah melakukan semua pekerjaan mulai dari merancang, membuat dan menyelesaikannya hingga Lambang Garuda Pancasila itu menjadi seperti sekarang ini! Kekecewaan Sultan Hamid II lainnya adalah: (1) Realisasi bentuk negara RIS tidak seperti diharapkan oleh BFO dalam mana anggota organisasi ini tidak menduduki posisi penting dalam Kabinet RIS; (2) Ia sendiri, yang memiliki andil besar dalam mempersatukan unsur negara-negara bagian yang bertikai, tidak berhasil menduduki jabatan Menteri Pertahanan, padahal kualitas, reputasi dan karir kemiliterannya terpenuhi. Ada keberatan dari fihak R.I., namun, ia dapat memahami dan menerima keberatan itu; (3) Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI dalam Angkatan Perang Repulik Indonesia Serikat (APRIS). Komposisi APRIS berdasarkan hasil konferensi Antar Indonesia dan KMB, terdiri dari TNI sebagai inti kekuatan ditambah dengan kesatuan-kesatuan dari bekas KNIL, KM,VB, dan sebagainya. Untuk itu Sultan Hamid II telah mempersiapkan satu kompi unsur KNIL dari daerah luar Jawa dan satu kompi anggota kelompok etnis Dayak dari Kalbar yang telah dilatih untuk memperkuat TNI yang akan dikirim ke Kalbar (Rahman, 2000:179). Mengapa unsur Dayak? (a) anggota kelompok etnis berasal dari daerah Kalbar dan mereka lebih mengenal daerah mereka sendiri; (b) Dayak dan Melayu memiliki hubungan historis dan psikologis, karena Dayak adalah saudara ibu dilambangkan sebagai “hutan terletak di belakang,” sedangkan Melayu adalah saudara ayah dilambangkan sebagai “laut terletak di depan.” (4) Ia juga kecewa menghadapi unjukrasa sebagian pemuka masyarakat dan pemuda yang menuntut pembubaran Daerah Istimewa Kalbar, penunjukan dr. Sudarso sebagai Kepala Daerah Kalbar, karena Sultan Hamid II dianggap telah meletakkan jabatan sebagai kepala daerah. Itulah factor peyebab mengapa Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai kepala daerah sekaligus sebagai Sultan Pontianak, disamping ia dihukum penjara 10 tahun. Ia harus membayar mahal atas ide besarnya dalam politik yang dipertahankannya secara konsekuen, dan atas kesenjangan pemikiran dan wawasan antara dia dengan pemuka masyarakat di daerahnya sendiri. Setelah 48 tahun menjelang era reformasi mereka baru menyadari faktor utama ketertinggalan, keterpinggirkan dan kemiskinan daerah ini dalam segala bidang yang kesemuanya dari dulu telah diantisipasinya. Kita perlu memiliki Hamid Al-Qadrie – Hamid Al-Qadrie lainnya yang memiliki wawasan luas, gagasan politik besar dan konsistensi dalam membangun dan mengejar ketertinggalan daerah ini. Tanpa itu, daerah ini tetap akan menjadi sapi perahan dan terpuruk. Syarif Ibrahim Alqadrie, Pengamat masalah sosial, politik, dan sejarah lokal
5. PURIFIKASI DAN REVITALISASI DINAMIKA MELAYU DAHULU, SEKARANG, DAN AKAN DATANG[1] Syarif Ibrahim Alqadrie[2]Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Tanjungpura (UNTAN), Pontianak
1. Pendahuluan Purifikasi dan revitalisasi merupakan unsur penting dalam setiap kelompok, dalam hal ini kelompok etnik. Purifikasi merupakan bagian dari identifikasi etnik yang membedakan secara jelas dengan kelompok etnis lain. Sedangkan revitalisasi adalah bagian terpenting dari kesadaran kelompok, atau dalam hal ini revitalisasi menunjukkan bahwa suatu kelompok etnis itu ada, diperhitungkan dan sama dengan kelompok etnik lain, dalam arti ia juga memiliki kekuatan dan kemampuan. Keadaan tersebut di atas berlaku baik dulu, sekarang dan masa depan. Dengan kata lain sejak dan sampai kapan pun purifikasi harus selalu terjadi atau diadakan oleh anggota-anggota kelompok etnis kalau mereka ingin sama sederajad, atau berbeda dengan kelompok etnis lain, bahkan lebih maju dari kelompok etnis lain. Begitu juga halnya dengan Melayu sebagai suatu kelompok etnis. Akan tetapi, sebagai suatu kelompok, Melayu berbeda dengan kelompok etnis lain, seperti White American (Kelompok Etnis Amerika Putih), Black American (Kelompok Etnis Amerika Hitam), Kelompok Etnis Cina, American Indian (Kelompok Etnis Indian-Amerika), Kelompok Etnik Timur Tengah dan lain-lain. Hal itu disebabkan, Melayu mengandung dua hal, sebagai kelompok etnik (an Etnic Group) dan sebagai suatu media identifikasi (a Medium of Identification). Sebagai sebuah kelompok etnis, Melayu mengandung dua pengertian. Dalam pengertian luas, apa yang disebut Melayu adalah suatu kelompok dari orang-orang yang hidup di kawasan Nusantara (Indonesia), Malaysia, Brunai[3], orang-orang yang beragama Islam di Asia Tenggara (seperti di Singapura, Selatan Thailand, Selatan Filipina, sebagian Selatan Kamboja, sebagian Selatan Vietnam, sebagain Selatan Myanmar), sekelompok komunitas yang beragama Islam keturunan orang-orang dari Indonesia di Afrika Selatan, dan sekelompok komunitas orang-orang keturunan Indonesia di Srilanka bagian Timur. Dalam pengertian luas ini, seluruh “kelompok etnis” di Indonesia yang beragama Islam maupun bukan-Islam dianggap dan mengganggap diri merka sebagai Melayu (seperti Jawa, Sunda, Batak, Menado, Bugis. Orang-orang di Nusa tenggara Timur, dan lain-lain). Dalam pengertian ini, Melayu juga dipandang sebagai sebuah ras (race). Dalam pengertian sempit, Melayu adalah mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai keturunan Melayu dan diikat oleh kebudayaan Melayu, serta berbahasa Melayu sebagai bahasa ibu (seperti Melayu di Kalimantan Barat [Kalbar], Riau, di sepanjang pantai timur Sumatera, Palembang, Jambi, Bengkulu, Malaysia, Brunai), dan beragama Islam. Sebagai media identifikasi (Alqadrie, 2002: 5-6), Melayu merupakan orang-orang dari kelompok etnis lain yang beragama bukan-muslim, kemudian masuk agama Islam, diidentifikasikan dan mengidentifikasikan diri mereka sebagai Melayu, karena masuk Islam dianggap sebagai masuk Melayu (Veth dalam Hasanuddin, 2000:11; Muller dalam Hasanuddin, 2000:11; Alqadrie, Almutahar.dkk, 1997:35) seperti komunitas Cina di Kalbar, di Malaysia dan di Brunai Darussalam; komunitas Dayak di Kalbar; Keturunan Belanda dan keturunan Jepang di Kalbar. Dalam dinamika politik Melayu baik masa lampu sekarang maupun yang akan datang Melayu dalam pengertian kelompok etnis yang luas tidak memerlukan purifikasi, karena usaha purifikasi tidak lebih dari usaha memecahbelah persatuan diantara orang-orang yang tinggal di Nusantara dan di Malaysia serta Brunai Darussalam. Begitu pula dalam pengertian media identifikasi, Melayu tidak memerlukan purifikasi, karena purifikasi akan mengeluarkan orang-orang yang telah dan akan masuk Islam, mengidentifikasikan diri mereka sebagai Melayu dari kelompok etnis ini. Ini juga akan memperlemah kesatuan “Melayu”. Sebagai kelompok etnis dalam arti sempit, menurut pendapat saya, purifikasi sejauh mungkin harus dihindari di dalam tubuh kelompok etnik Melayu, karena secara tidak langsung pengidentifikasian Melayu sulit dilakukan secara kaku, dalam pengertian, ada saja orang yang bukan- Melayu, tetapi beragama Islam dan lahir di kawasan yang berkomunitas Melayu, mengganggap diri mereka sebagai Melayu. Melayu memang merupakan kelompok etnik yang relatif terbuka. Akan tetapi, pada masa lampau purifikasi memang diperlukan, karena kompleksitas dalam tubuh kelompok etnis Melayu dalam arti sempit belum banyak terjadi. Saat ini dan masa mendatang khususnya dalam dinamika politik Melayu purifikasi di dalam tubuh kelompok etnik ini perlu diabaikan dalam usaha mempersatukan dan memperkuat kelompok etnik Melayu untuk menghadapi kompleksitas yang semakin rumit dan terutama globalisasi. Dengan demikian, purifikasi dalam tubuh etnik Melayu, baik dalam pengertian luas maupun dalam pengertian sempit ataupun dalam pengertian media identifikasi adalah unik dan perlu penjelasan lebih lanjut. Akan halnya revitalisasi, usaha ini kurang nampak dilakukan di masa lampau dan memang kurang dilakukan karena kurangnya kompleksitas dan tantangan yang dihadapi dari luar oleh kelompok etnik Melayu. Pada masa kini dan akan datang dimana kompleksitas dan tantangan semakin besar, bahkan usaha-usaha dari luar untuk meminggirkan kelompok etnik Melayu menjadi kelompok etnik yang tidak diperhitungkan, ditambah lagi perpecahan dari dalam yang memperlemah kemampuan kelompok etnik ini, maka usaha revitalisasi --memunculkan kembali keberadaan dan peranan mereka -- perlu dilakukan secara bersungguh-sungguh oleh Melayu sendiri, kalau ia tidak ingin hilang atau punah ditelan masa. Jadi di masa sekarang dan akan datang, revitalisasi merupakan suatu keharusan ditubuh Melayu. Tulisan ini mencoba mengunggkapkan perlu tidaknya usaha purifikasi dan revitalisasi dalam dinamika politik Melayu di masa lampau, masa kini dan akan datang; Mengapa purifikasi di tubuh Melayu itu dianggap unik? Selain itu, dalam tulisan ini saya ingin menjelaskan bagaimana purifikasi dan revitalisasi dilakukan serta apa dampak positif bagi kelompok etnik Melayu.
2. Purifikasi dalam Dinamika Politik Melayu pada Masa Lampau, Sekarang dan Masa Akan Datang Purifikasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris purification yang berarti pembersihan, penyaringan, dan pemurnian (Cambridge, 1995: 1148; Echol dan shadily, 1977: 457). Kata tersebut tak dapat dipisahkan dengan puritas (purity). Dalam kaitan dengan etnisitas (ethnicity), ras (race), dan keagamaan (religion), purifikasi (purifiction), yang berkaitan erat dengan puritas (purity), berarti pemurnian, pembersihan, atau kemurnian suatu kelompok etnik, ras, dan keagamaan dari unsur-unsur yang datangnya dari dalam maupun dari luar yang dianggap menyimpang dari keaslian dan kemurnian kelompok etnik, ras, dan keagamaan atau ajaran yang bersangkutan. Dengan kata lain purifikasi adalah tindakan memindahkan atau mengeluarkan unsur-unsur yang dianggap merusak, merugikan atau memiliki pengaruh buruk yang diperkirakan sudah dan akan menghancurkan kelompok etnik, ras, dan keagamaan atau ajaran yang bersangkutan (Cambridge, 1995: 1148). Jadi, purifikasi atau puritas dapat juga dianggap sebagai kondisi murni atau asli dari suatu kelompok etnik, ras atau ajaran yang tidak bercampur dengan unsur-unsur lain sehingga kelompok etnis, ras atau ajaran tersebut terhindar dari penyimpangan atau ketidakmurnian. Dalam hubungan dengan kelompok etnik Melayu purifikasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang Melayu untuk menjaga kemurnian identitas Melayu terhadap pengaruh negatif dari dalam maupun dari luar yang dapat merusak dan menghilangkan identitas kemelayuan seperti pengaruh negatif dari Budaya Barat, pengaruh yang dapat merusak aqidah keislaman sebagai salah satu identitas Melayu, dan pengaruh yang mengubah sistem nilai yang dimiliki anggota kelompok etnik Melayu. Tindakan purifikasi dapat berwujud antara lain tidak menerima kawin campur khususnya di kalangan wanita; memutuskan hubungan dengan orang-orang yang telah melakukan penyimpangan; mengisolasi diri kelompok yang bersangkutan terhadap kelompok lain yang dianggap akan mempengaruhi pergaulan dan moralitas generasi muda dengan berbagai alasan yaitu keamanan, pengaruh negatif pergaulan dan lain-lain; menutup diri atau tidak menerima pengaruh dari luar dalam bentuk apapun baik positif maupun negatif; dan kembali kepada ajaran atau tradisi lama yang dianggap lebih murni dari kelompok lain. Tindakan purifikasi yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kemanusiaan kelompok lain karena tindakan itu mengandung unsur sikap mementingkan diri sendiri yang berlebihan dan menurunkan martabat manusia dari kelompok lain. Tindakan seperti ini pada umumnya yang terjadi pada masa lampau dapat pula terwujud seperti tindakan-tindakan yang dilakukan antara lain oleh Jerman pada masa Nazi untuk melindungi “kemurnian” ras Areanya; orang-orang putih di Amerika Serikat dan di Canada pada saat sistem perbudakan masih berlaku melakukan deskriminasi dan segregasi terhadap orang-orang kulit hitam dan orang-orang Cina perantau dan bahkan pembunuhan masal (determination) terhadap orang Indian; orang-orang kulit putih di Australia melakukan hal yang sama terhadap orang-orang Aborigin; orang-orang putih New Zeland membantai kelompok etnik Mauri di pulau itu dan orang-orang Eropa lainnya terhadap etnik setempat di Amerika Latin, Asia dan Afrika (Kymlicka, 2003); serta di Afrika Selatan (ketika sistem apartheid masih berlaku). Namun tindakan purifikasi semacam itu masih dipraktekkan oleh sekelompok penduduk atau bangsa tertentu sekarang ini secara tidak langsung, sebagai contoh kasus beberapa komplek perumahan mewah (realestate) yang diperuntukkan hanya untuk warga kulit putih di beberapa bagian negara Amerika Serikat yang masih menerapkan diskriminasi ras secara terselubung dengan tidak menerima orang-orang kulit berwarna untuk memiliki dan menghuni tempat tersebut, walaupun pihak bersangkutan mampu membelinya (Metzeger dalamYetman,1975:340-351); salah satu kelompok Ames di beberapa negara bagian di Amerika Serikat (ada beberapa kelompok komunitas lain seperti ini di AS) yang menolak semua teknologi baru (modern) dalam mana menolak listrik, mobil, traktor, dan alat-alat pertanian lainnya, mereka menggunakan peralatan tradisional; segregasi atau isolasi yang dilakukan oleh bangsa Yahudi/Israel terhadap bangsa Palestina dengan membangun pagar beton sepanjang 600 km dan tinggi lebih dari 8 meter. Alasan yang dikemukakan pemerintah Israel adalah berkaitan dengan keamanan, tetapi maksud yang tersembunyi dari tindakannya adalah sebagai tindakan purifikasi yang nyata untuk menghindari tercampurnya kelompok etnik dan ajaran Yahudi atau Israel (Kompas, 24 Agustus 2003:3). Tindakan seperti kasus-kasus di atas masih banyak dilakukan oleh anggota kelompok-kelompok etnik di dunia khususnya di Asia Tenggara, lebih khusus lagi di Indonesia. Dari contoh-contoh kasus di atas dapat kita ketahui bahwa tindakan purifikasi secara berlebihan dan gegabah separti di atas sebenarnya menggandung unsur perbedaan atau diskriminasi atas dasar ras (racial decrimanation) yang melanggar prinsip-prinsip HAM kalau tindakan purifikasi semacam itu dipraktekkan pada masa kini. Oleh karena itu praktek-praktek semacam itu perlu ditiadakan. Akan tetapi, ada pula tindakan purifikasi yang justru perlu didorong dan dipraktekkan pada masa sekarang dan masa akan datang khususnya terhadap Melayu baik yang menyangkut dinamika politik Melayu maupun yang berkenaan dengan bidang sosialbudaya. Sejak dulu purifikasi telah lama dilakukan di dalam kelompok etnik Melayu. Walaupun secara umum anggota kelompok etnik Melayu menganut kawin campur (inter marriage) baik laki-laki Melayu menikahi perempuan bukan- Melayu atau perempuan Melayu menikahi laki-laki bukan-Melayu, tetapi anak-anak mereka selalu disosialisasikan untuk menjadi Melayu dengan menganut budaya dan bertingkahlaku menurut kebiasaan Melayu, menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa daerah Melayu yang juga menjadi pilihan utama sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Mereka tidak mengalami kesulitan berbahasa Indonesia karena bahasa Indonesia memiliki kedekatan dengan bahasa Melayu, bahkan bahasa Melayu merupakan akar Bahasa Indonesia. Banyak kasus kepala keluarga Melayu (laki-laki Melayu dalam perkawinan campur) yang telah meninggal dunia dan meninggalkan anak-anak beserta istri bukan-Melayu tetapi anak-anak mereka disosialisasikan menjadi Melayu, berbudaya Melayu, berbahasa Melayu dan bertingkahlaku Melayu. Ini menunjukkan bahwa bukan saja ideologi keluarga dipegang oleh laki-laki Melayu, karena memang ideologi keluarga juga dipegang secara seimbang oleh perempuan Melayu yang menikah laki-laki bukan-Melayu. Akan tetapi sebenarnya, ada daya resap/absorbsi (absorption) yang cukup besar dalam diri kelompok Melayu terhadap kelompok lain. Inilah sebabnya Melayu itu sendiri mengandung di dalam dirinya dua pengertian: Melayu dalam arti luas dan Melayu dalam arti sebagai media identifikasi -- mampu membuat orang di Nusantara ini, siapapun kelompok etnik (suku) mereka , ketika berhadapan dengan orang-orang di luar Nusantara dan berbicara tentang sosial budaya dan ras, bukan-politik dan ekonomi, mereka menganggap diri mereka sebagai Melayu; begitu pula orang-orang bukan-muslim seperti Dayak, Cina dan lain-lain; bukan-Muslim yang memeluk agama Islam di Kalimantan Barat, kawasan Sumatera Timur, Riau, Malaysia dan Brunai mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai Melayu. Jadi, purifikasi dalam dua pengertian Melayu di atas tidak perlu dilakukan secara mendalam (detail) karena Melayu telah dianggap menjadi salah satu ras atau telah difahami sebagai satu ras (sebenarnya Melayu termasuk ras Mongoloid tetapi istilah populernya orang-orang Nusantara termasuk Malaysia dan Brunai lebih cenderung mengkategorikan diri mereka sebagai ras Melayu), dan berbudaya atau bertingkah laku sesuai dengan Budaya atau kaedah Timur. Sejak dulu, sekarang, dan mungkin beberapa dekade kedepan, purifikasi yang berkaitan dengan agama, dalam hal ini Islam sebagai identifikasi etnik keagamaan (ethno-religio identification), sebagaimana saya lihat dan ramalkan, telah menjadi dan masih menjadi hal yang utama, bersungguh-sungguh dan dengan konsekuen baik di dalam segi sosial budaya maupun politik. Orang Melayu yang keluar dan menganut agama lain di luar Agama Islam akan dikeluarkan dan tidak diidentifikasikan lagi sebagai Melayu. Kalaupun mereka kawin dengan bukan- Islam dan si suami atau isteri tetap bertahan pada agama mereka masing-masing, si suami atau isteri yang Melayu itu sangat jarang pindah ke agama lain, walaupun mereka jarang melakukan ibadah sholat dan puasa, tetap saja mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai Islam dan Melayu. Kalaupun mereka keluar dari agama Islam, mereka dapat dipandang sebagai pribadi-pribadi yang murtad tetapi anak-anak mereka cenderung memilih Islam sebagai agama mereka. Di situlah kekuatan daya serap Melayu yang mengkategorikan mereka sebagai orang-orang Melayu yang membedakan dengan orang-orang bukan-Melayu. Dari uraian di atas adalah wajar kalau kasus Kristenisasi tidak terlalu dikhawatirkan oleh orang-orang Melayu, khususnya di Riau, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunai, dan di kawasan-kawasan sepanjang Pantai Timur Sumatera, orang-orang Banjar di Kalimantan Selatan, orang-orang Kutai dan Pasir di Kalimatan Timur, orang-orang Bugis, Buton dan Makasar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, walaupun kasus tersebut tampaknya bukan lagi menjadi rahasia umum. Sebaliknya, kekhawatiran ini tampaknya dialami oleh masyarakat Jawa di luar Pantai Utara, bagian terkecil dari kawasan tertentu di Jawa Barat, dan bagian-bagian tertentu di Sumatera Barat. Di Jawa sendiri pengaruh Hindu dan Budha sangat berakar dalam jiwa sebagian masyarakat Jawa. Pengaruh itu membekas sangat dalam pada prilaku keagamaan masyarakat Jawa yang mengaku Islam, khususnya pada kalangan Islam Abangan. Kalangan ini tampaknya kurang memahami ajaran Islam secara mendalam dan utuh, bahkan ada kesan mereka tampaknya melakukan penyimpangan secara tidak sadar terhadap ajaran tersebut (Kejawen), karena itu purifikasi terhadap ajaran Islam di kalangan mereka tampaknya merupakan tujuan utama dari lembaga-lembaga Islam yang ada sekarang ini. Itulah sebabnya pada masyarakat Jawa, ada kecenderungan terjadinya dikotomi antara kelompok Islam yang dianggap tidak “murni” dalam melaksanakan ajaran Islam dengan kelompok Islam yang menganggap diri mereka sebagai penganut yang tidak menyimpang dari ajaran tersebut. Akan halnya Sumatera Barat, kekhawatiran terhadap serangan yang menggebu-gebu dari Kristenisasi terhadap masyarakat di daerah ini meliputi dua hal: pertama, Sumatera Barat dianggap sebagai kantong-kantong Islam yang sangat kuat, dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya dalam Kristenisasi terhadap mereka, itu berarti bahwa “jatuhnya” daerah itu ke dalam Kristen akan memudahkan “jatuhnya” kawasan Islam lainnya di Nusantara yang dianggap kurang kuat keislaman mereka. Kedua, tingkat kemiskinan yang relatif tinggi dan orientasi ke arah materi yang berlebihan tampaknya menjadi faktor yang diperhitungan oleh penggerak proses tersebut. Dengan demikian purifikasi yang berkaitan dengan agama untuk menghindari dominasi adat dan orientasi kepada ekonomi yang berlebihan merupakan upaya yang perlu dilakukan di daerah ini. Peranan kesultanan dalam hal ini di Sumatera Barat sangat diperlukan. Keraton-keraton di Jawa sekarang ini di samping menjadi pusat keislaman tampaknya juga merupakan sasaran dari purifikasi dalam ajaran Islam yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terletak di luar keraton. Hal itu berbeda dengan apa yang dialami oleh Masyarakat Melayu di Kalimantan Barat, Riau, Kawasan Pantai Timur Sumatera dan di Malaysia serta Brunai; dikotomi antara kedua kelompok di atas tidak sungguh-sungguh terjadi di wilayah tersebut karena pengaruh Hindu dan Budha tidak begitu berakar. Pada kesultanan-kesultanan tersebut di atas, termasuk kesultanan-kesultanan di kawasan Nusantara lainnya di luar Jawa, sebagaimana telah dikemukakan di atas, purifikasi dalam segi keagamaan justru timbul dalam kemelayuan perse dan ini berpengaruh terhadap dinamika politik Melayu. Tampilnya dan diaktifkannya sultan dan kesultanan tampaknya bertujuan untuk mempertahankan atau menjaga punah atau hilangnya kemelayuan itu sendiri. Di Riau dan Kalimantan Barat sendiri, purifikasi berlangsung melalui keraton karena dinasti ke-habib-an merupakan perintis berdirinya kesultanan dan menjadi inti dalam masyarakat di daerah itu. Mereka yang disebut Habib ini dapat dikelompokkan menjadi dua: pertama, mereka yang melakukan purifikasi dalam segi etnisitas yaitu mereka datang ke Nusantara termasuk Malaysia, Brunai, dan Siam dari kawasan tertentu di Negeri Arab untuk menjadi Penasehat Agama (Mufti), kemudian melakukan pernikahan dengan penduduk setempat dan mensosialisasikan anaknya menjadi Melayu dan Habib sekaligus pemuka agama. Anak laki-laki mereka bebas menikahi wanita setempat tetapi anak-anak perempuan mereka hanya boleh dinikahi oleh lelaki keturunan Habib. Purifikasi berjalan terus sampai sekarang. Namun demikian ada juga keturunan Habib ini yang berpandangan yang lebih egaliter dengan mengijinkan anak perempuan mereka nikah dengan laki-laki dari manapun juga asalkan beragama Islam. Inilah yang disebut kelompok kedua. Jadi purifikasi pada kelompok yang kedua ini dilakukan lebih terarah pada keagamaan, mereka tetap mensosialisasikan keturunan mereka dengan ajaran Islam yang murni. Dulunya, Habib merupakan tulang punggung kesultanan Melayu di Kalimantan Barat dan sekaligus memperkuat kesultanan Islam serta penyebar agama Islam dilingkungan mereka. Dalam dinamika politik Islam, sejarah (Iskandar dkk.,1987:31-52) menunjukkan kepada kita bahwa apa yang disebut dengan kerajaan Melayu adalah kerajaan Islam, bahkan kerajaan di Nusantara apapun kelompok etnik mereka, misalnya: Gorontalo, Bugis dan Makassar, di Palu, di Nusa Tenggara Barat, di Maluku Utara, di Jawa secara keseluruhan setelah Mataram II dan lain-lain, adalah kerajaan-kerajaan Islam yang sekarang ini dilanjutkan dan direvitalisasikan. Sekarang ini secara politis kesultanan-kesultanan di atas, yang masih berbentuk keraton-keraton atau istana-istana, tidak memiliki kekuasaan dan peranan apapun di dalam politik pemerintahan. Kebanyakan dari mereka hanya berbentuk peninggalan-peninggalan sejarah. Akan tetapi secara sosial-budaya kelangsungan hidup kesultanan-kesultanan tersebut perlu dilanjutkan dengan menunjuk salah seorang pewaris tahta yang menjadi pimpinan atau “sultan” di masing-masing kesultanan itu. Di sini juga terjadi purifikasi, menurut saya pewaris tahta yang berhak memimpin kesultanan sekarang ini hendaklah dilakukan dengan kriteria purifikasi yang bersungguh-sungguh dan konsekuen. Dengan kata lain mereka (“sultan”) yang dipercaya, ditunjuk, dan diangkat untuk mewarisi tahta atau memimpin kesultanan yang bersangkutan hendaklah dari mereka yang memiliki hubungan darah atau keluarga terdekat dengan pewaris tahta sebelumnya secara langsung dan turun temurun. Kasus di atas yang terjadi sekarang ini seperti di Penembahan Mempawah; Kesultanan Qadariah, Pontianak, Penembahan Ngabang, Kesultanan Sambas dan lain-lain. Di Malaysia purifikasi dalam pengangkatan Kepala Negara atau Sultan di negara itu menggunakan sistem pergantian rotasi secara periodik lima tahun sekali dimana setiap sultan di masing-masing negara bagian mendapat giliran menjadi Kepala Negara Malaysia. Tugas dan fungsi Kapala Negara atau Sultan di Malaysia dan Sultan-sultan di masing-masing Negara Bagian Malaysia adalah memberikan tanda jasa, tanda kehormatan, dan memimpin upacara-upacara nasional dan tradisional yang tidak berkaitan secara langsung dengan masalah politik dan pemerintahan. Selain itu, secara ethno-psychology keberadaan Kepala Negara atau Sultan di Malaysia ternyata dapat mencegah hilangnya kemelayuan dan Bangsa Melayu sebagai suatu kelompok etnik, dan hal ini telah dialami oleh masyarakat Melayu di Singapora. Kekhawatiran semacam ini, dirasakan pada masyarakat dimana bekas kesultanan itu berada, kalau keberadaan kesultanan itu tidak dilanjutkan dan pewaris tahta tidak ditunjuk sebagai pimpinan yang mengepalai kesultanan di situ, maka masyarakat tradisional di kawasan itu akan hilang, seperti: Melayu Pontianak di Pontianak, Melayu Sambas di Sambas, Melayu Ngabang di Ngabang, Melayu Deli di Medan, Masyarakat Gorontalo di Gorontalo, Masyarakat Kutai di Kutai dan lain-lain. Usaha ini dapat dipandang sebagai bagian dari purifikasi dan revitalisasi. 3. Revitalisasi di dalam Dinamika Politik Melayu Sekarang dan Akan Datang Revitalisasi merupakan peristilahan baru (new terminology) dari bahasa Inggeris yang timbul dari khasanah Ilmu Sosial. Peristilahan tersebut berasal dari kata asal vital sebagai kata sifat yang berarti hidup, (sangat/amat) penting, membahayakan, mematikan; didampingi dengan kata benda spark sehingga menjadi kata majemuk (idiom) vital spark berarti jiwa; berubah menjadi kata benda, vitalitas (vitality) berarti hidup, kekuatan, daya/tenaga (Echols dan Shadily, 1970: 631). Setelah vital diberi imbuhan (prefix), revital dapat diterjemahan bebas yang berarti (sangat) penting kembali/berulang penting, hidup kembali, jiwa yang hidup kembali, dijiwai kembali, kebangkitan kembali (Echols dan Shadily, 1970: 484). Sebagai kata kerja (adverb), revitalize berarti memberi kehidupan baru, energi, activity atau keberhasilan (success) terhadap sesuatu (Cambridge, 1995:1218). Sebagai peristilahan baru dalam ilmu sosial, revitalisasi dapat diartikan secara bebas sebagai (suatu) proses, kondisi atau keadaan bangkitnya kembali atau hidupnya kembali suatu kelompok (dalam hal ini baik kelompok agama, kelompok etnik maupun kelompok sosial lain) yang menampilkan kekuatan, energi, jiwa atau semangat baru dengan fungsi baru dalam berhadapan dengan kelompok lain yang selama ini memandangnya tidak penting lagi atau sepele dengan maksud untuk mencapai tujuan sebelumnya atau tujuan baru bagi kepentingan anggota-anggota kelompok baik secara keseluruhan, sebagian maupun kelompok elitnya. Revitalisasi dapat dipandang sebagai gerakan sosial (social movement) yang berlandaskan pada kesadaran kelompok atau kesadaran etnik (ethnic consciousness) (Alqadrie, 1991b dalam Suara Almamater. No.1, April). Sebagai kesadaran kelompok atau etnik, ia mengandung dua pengertian, pertama: kesadaran dari dalam (internal consciousness) dan kedua: kesadaran dari luar (external consciousness). Kesadaran yang bersumber dari dalam adalah kesadaran kelompok yang dimiliki oleh anggota kelompok atau anggota kelompok etnik yang sudah dirasakan sejak mereka dilahirkan karena kelompok mereka memang ada dan terus ada. Keberadaan kelompok tersebut membawa konsekuensi bahwa mereka perlu saling harga menghargai dengan kelompok yang lain. Sedangkan kesadaran yang bersumber dari luar adalah kesadaran yang timbul dan dimiliki secara tiba-tiba oleh anggota kelompok tertentu ketika berhadapan dengan realitas sosial dan berinteraksi dengan kelompok lain yang berada dalam kondisi atau memiliki lebih dari kondisi atau apa yang mereka miliki, atau dengan kata lain, kesadaran yang timbul ketika mereka menyadari realitas sosial yang terjadi yang menyebabkan kelompok mereka mengalami keterpurukan dan terpinggirkan atau termarginalisi (marginalized) dibandingkan dengan kelompok lain. Revitalisasi pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai kesadaran etnik yang bersumber dari luar karena ia merupakan jawaban atau reaksi logis dari realitas sosial yang terjadi di sekeliling kelompok yang bersangkutan yang ditempatkan atau diciptakan oleh kelompok lain, pemerintah atau bangsa lain. Reaksi atas keterpurukan ini membawa atau mendorong para anggotanya untuk menampilkan kembali kelompoknya agar diperhitungkan kembali sebagai kelompok yang penting, mampu berperan dan mencapai apa yang telah dicapai oleh kelompok etnis atau bangsa lain. Dengan demikian, revitalisasi dapat dipandang sebagai semacam bentuk jawaban, protes dan reaksi tidak langsung terhadap antara lain berbagai bentuk ketidakadilan; kebijakan yang dipaksakan, tidak tepat dan tidak adil, termasuk kebijakan pembangunan yang tidak seimbang (unbalanced development), dan berbagai bentuk pemaksaan kehendak, termasuk penyebaran ideologi atau ajaran agama yang dipaksakan dengan berbagai motif atau dalih baik secara terselubung maupun tidak. Menjamurnya pakaian muslimah (jilbab) dan pakaian muslim bagi kaum laki-laki (baju koko, telo’belanga’, celana panjang di atas mata kaki dan jubah panjang dengan kopiah haji, serta pemeliharaan janggut panjang) merupakan salah satu bentuk dari revitalisasi dari segi keagamaan terhadap fenomena di atas. Revitalisasi dapat juga dipandang sebagai reaksi terhadap bentuk kekerasan lainnya, kekerasan itu juga dapat berbentuk baik yang tampak atau kelihatan (visible force), dalam bentuk perbuatan, perilaku dan tindakan, seperti serangan militer atau dengan kekuatan fisik lainnya, pengrusakan lingkungan alam ataupun sosial (natural or social environments), dan lain sebagainya, maupun yang tidak tampak (invisible force) tidak saja dalam bentuk sikap, sifat, nilai-nllai budaya, dan sebagainya, seperti kebencian, keinginan memasukkan atau mengubah idiologi, ajaran dan pengaruh, tetapi juga kekerasan struktural atau yang dilembagakan, kekerasan sebagai konteks, seperti kebijakan yang mengandung atau membolehkan kekerasan atau pengrusakan terjadi (Simon dkk, 2000), sedangkan kebijakan negara besar yang menciptakan ketergantungan (Alqadrie, 1991b, dalam Suara Almamater no.1, April) dan globalisasi yang menciptakan kemiskinan, dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan ini, revitalisasi, sebagai proses dan revitalisme sebagai aliran atau isme, mempunyai hubungan yang erat dengan revivalisasi sebagai proses dan revivalisme sebagai aliran. Keberadaan revitalisasi dimulai dengan adanya revivalisasi sebaliknya revivalisasi belum tentu mengandung revitalisasi. Dari hubungan kedua hal di atas, revivalisasi dapat dikategorikan sebagai kesadaran yang timbul dari dalam, karena revivalisasi adalah proses dengan mana anggota-anggota suatu kelompok menyatakan kembali keberadaan kelompok mereka yang sudah dianggap mati. Kesadaran pada revivalisasi lebih timbul karena ada sosialisasi. Dalam kaitannya dengan Melayu, kelompok ini mengandung dua hal di atas: revivalisasi dan revitalisasi. Melayu itu memang ada dan perlu diperlihatkan bahwa mereka dulunya pernah jaya dan sekarang maupun akan datang orang-orang Melayu perlu menyatakan bahwa mereka mampu mengulangi kejayaan dan keberhasilan itu demi mencapai kemaslahan mereka dan seluruh alam. Untuk ini dalam diri Melayu penggunaan istilah revitalisasi sudah mencakup keduanya, karena itulah di dalam makalah ini saya cukup mengungkapkan satu istilah saja yaitu revitalisasi. Proses revitalisasi sangat penting bagi kehidupan suatu kelompok, karena tanpa revitalisasi suatu kelompok tidak dapat memenuhi kemaslahatan anggota dan sekitanya, dengan demikian kelompok tersebut tidak akan diperhitungkan oleh kelompok lain. Sama halnya, tanpa revitalisasi, kelompok itu tidak ada (unrevival). Akan tetapi, revitalisasi yang berlebihan akan memberikan dampak yang sangat berbahaya baik bagi kelompok itu, kelompok lain maupun alam sekitar mereka bahkan kehidupan dunia ini. Kalau purifikasi yang berlebihan cenderung menghasilkan sikap yang mementingkan diri atau egoisme yang berlebihan (super egoism) sehingga pada akhirnya menimbulkan penjajahan, penaklukan kelompok etnis atau bangsa lain, revitalisasi yang berlebihan cenderung menciptakan keberingasan, kekerasan, peperangan dan penghancuran hak asasi manusia. Contoh kasus dari tindakan egoisme yang berlebihan seperti ini antara lain dilakukan oleh Negara Israel (Yahudi “modern”) terhadap Bangsa Palestina; kelompok etnik Serbia di bekas negara Yugoslavia terhadap bangsa Bosnia dan Kosovo; kelompok etnik Basqua di Spanyol terhadap masyarakat sipil negara itu dan sebagian aparat keamanan; kelompok etnik Irlandia Utara Saling berbunuhan antara orang beragama Katolik dengan orang-orang beragama Protestan dan sebagian tentara Inggris; dan lain sebagainya (Alqadrie, 1989/2000). Di Indonesia sendiri mungkin dapat dijadikan contoh, seperti kasus Ambon, dimana anggota kelompok yang beragama Kristen melakukan kekerasan terhadap kelompok Islam, dan mengusir anggota kelompok etnis Bugis, Buton, Makassar (BBM) dan penduduk pendatang lainnya; anggota komunitas Dayak di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat melakukan kekerasan terhadap anggota komunitas Madura; anggota komunitas Melayu Sambas terhadap anggota komunitas Madura di Sambas (Alqadrie dalam Jurnal Antropologi, 1999: 36-57; 2002); kelompok etnik Aceh khususnya GAM mengusir masyarakat Jawa pendatang; penduduk setempat di Poso terhadap penduduk pendatang khususnya yang beragama Islam; dan lain-lain. Walaupun tindakan negatif tersebut dianggap sebagai jawaban atau reaksi dari ketidakadilan dan keterpinggiran yang mereka alami, namun kekerasan tersebut tampaknya cenderung merupakan revitalisasi yang berlebihan. Oleh karena itu, revitalisasi semacam itu harus dihindari oleh kelompok etnik Melayu maupun kelompok etnik lain yang memiliki sejarah masa lampau yang cerah dan peranan yang penting dalam kejayaan Nusantara, yaitu pemilik kesultanan-kesultanan yang dilandasi oleh kaidah Islam. Contoh kongkrit dari revitalisasi positif dapat dilihat dari munculnya lembaga-lembaga dewan adat dari kelompok-kelompok etnik seperti Lembaga Adat Budaya Melayu (LABM) dan Dewan Adat Dayak (DAD) di Kalimantan Barat, Dewan Adat Ddayak di Kalimantan Tengah, Dewan Adat Ddayak di Kalimantan lainnya, Lembaga Adat Kutai, Lembaga Adat Masyarakat Pasir di Kalimantan Timur, Lembaga Adat Melayu Provinsi Bangka-Belitung (LAMBB), dan lain-lain dari tingkat provinsi sampai kepada tingkat kabupaten dan kota. Kedua kelompok etnik dari dua provinsi tersebut melakukan revitalisasi khususnya dalam lembaga adat mereka untuk menampilkan kepada masyarakat luas bahwa kelompok etnik tersebut tetap penting dan perlu diperhitungkan. Walaupun ada anggapan miring tentang revitalisasi dalam lembaga adat tersebut yang menganggap lembaga tadi merupakan bentuk tekanan kepada pemerintah dan pihak lain untuk kepentingan politik dalam arti sempit, namun saya melihat sudah sewajarnya lembaga tersebut direvitalisasikan untuk mempersatukan anggota kelompok etnik masing-masing tersebut, memperkenalkan dan memperdalam kebudayaan masing-masing kelompok etnik kepada tiap-tiap anggota kelompok etnik maupun anggota kelompok etnik lain, serta usaha antisipasi dan solusi pemecahan konflik yang mungkin timbul antara sesama masyarakat adat dan masyarakat adat lain. Akan tetapi dalam perjalanan revitalisasi tersebut tidak tertutup kemungkinan terjadi penyalahgunaan hukum-hukum adat yang dilakukan oleh oknum-oknum atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat adat tersebut yang tidak bertanggungjawab dengan memanfaatkannya untuk mencari keuntungan material sehingga menurunkan citra hukum adat, lembaga adat dan bahkan kelompok etnik yang bersangkutan. Hal ini, menjadi keprihatinan pemerintah, kelompok lain yang merasakan dirugikan bahkan kelompok etnik yang bersangkutan. Kasus yang menarik yang berkaitan dengan revitalisasi dari lembaga adat ini terjadi di provinsi yang termuda di Indonesia yaitu provinsi Bangka-Belitung (BaBel). Pemerintah provinsi BaBel tampaknya ingin menggiring dan mengukuhkan masyarakat di provinsi ini menjadi masyarakat Melayu dengan mewajibkan para anggota eksekutive, legislative, aparatur pemerintah lainnya dan tokoh masyarakat untuk menggunakan Telo’Belanga’ pada acara resmi dan hari besar lainnya serta pertemuan formal lainnya sebagai pakaian khas provinsi, sama dengan pakaian yang lazim dipakai di Malaysia, Brunai (Permana, 2002:79), di kepulauan Riau, Riau Daratan dan Sumatera Utara bagian Timur dan Melayu Kalimantan Barat. Revitalisasi dalam hukum adat dengan menampilakn identitas Melayu di Bangka Belitung menurut Permana (2002:84) dapat dimulai dengan: (1). Menelaah kembali hukum-hukum adat yang nama Sindang Mardika yang pernah ada dan berlaku di Pulau Bangka Belitung; (2). Melakukan analisis terhadap contoh-contoh kasus yang pernah ada yang diselesaikan melalui Lembaga Adat; (3). Mengumpulkan, membicarakan, dan mengajak pihak-pihak yang berkempentingan untuk bersinergi sebagai (mitra) dalam menyertakan masyarakat lembaga adat sebagai solusi alternatif dalam penyelesaian pertikaian etnis. Tampaknya revitalisasi Melayu di provinsi ini tidak mengandung konflik, bahkan diterima oleh semua golongan masyarakat termasuk kelompok pendatang dan masyarakat keturunan etnis Tionghua. Bentuk lain dari revitalisasi di dalam dinamika politik Melayu yang juga diikuti oleh para anggota dari hampir semua kelompok etnik lain adalah munculnya kesadaran akan peranan putera daerah dalam dinamika politik etnik (ethnic politics). Kesadaran ini menuntut agar berbagai jabatan pemerintahan dan jabatan strategis di bidang lain dipegang atau dijabat oleh putera daerah. Sebenarnya keharusan putera daerah menduduki jabatan tersebut bukan lagi merupakan isu baru karena keharusan tersebut telah lama terjadi dan dilakukan di seluruh pulau Jawa, Bali, Sumatera Selatan, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Utara, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur, jauh sebelum bergulirnya era reformasi (dalam tulisan ini disebut daerah kelompok pertama). Daerah-daerah lain di luar daerah tersebut di atas pada masa itu belum mencanangkan isu putera daerah untuk duduk dalam jabatan pemerintahan dan jabatan strategis. Jabatan-jabatan itu termasuk kepala Eksekutif dan Legislatif di daerah-daerah lain di luar dari daerah tersebut di atas, terutama tiga provinsi lainnya di Kalimantan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Tengah, jabatan tertentu di Papua dan Maluku serta Nusa Tenggara Barat (di dalam tulisan ini disebut daerah kelompok kedua) ditunjuk atau diangkat (dropping) dari pusat yang berasal dari para pendatang. Ini tidak dengan sendirinya berarti bahwa daerah-daerah yang belum mencanangkan isu putera daerah tidak memiliki putera daerah yang berkualitas dan terampil -- mereka sebenarnya secara diam-diam juga telah menginginkan isu tersebut dilaksanakan sebelum berlangsungnya Era Reformasi, tetapi Pemerintah Pusat cukup dominan untuk memaksakan kehendaknya terhadap daerah-daerah tersebut dan mereka tidak mempunyai posisi tawar-menawar (bargaining position) terhadap Pusat untuk menolak paksaan tersebut. Tambahan pula, Para pelobi (lobbiests) yang mereka miliki di Jakarta atau Pusat bekerja lebih diperuntukkan bagi kepentingan pribadi mereka masing-masing daripada kepentingan daerah mereka sendiri, bila dibanding dengan para pelobi yang dimiliki oleh daerah-daerah lain. Sekarang ini, isu putera daerah telah dan sedang menjadi trend di dalam politik etnik bagi daerah-daerah kelompok kedua. Kepala eksekutif dan legeslatif, serta sebagian besar jabatan pemerintahan dan jabatan strategis lainnya di provinsi Riau (Riau Daratan dan Kepulauan), Bengkulu, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Maluku (Maluku Utara dan Maluku), Papua, dan Nusa Tenggara Barat telah dijabat oleh putera daerah. Keadaan ini merupakan hasil dari reformasi yang mendorong timbulnya secara terbuka revitalisasi baik dalam bidang politik pemerintahan atau politik etnis maupun dalam bidang dinamika politik yang berkaitan dengan sosial budaya. Dalam bidang politik pemerintahan, timbulnya revitalisasi yang bersamaan dengan tampilnya kesadaran etnis yang bersumber dari luar di samping dapat memenuhi tujuan dan ambisi masyarakat (anggota kelompok etnik yang bersangkutan) dan elit lokal, tetapi juga cenderung menghasilkan pertikaian etnis yang bersifat horisontal dan pertikaian yang bersifat vertikal. Kasus Riau pada permulaan reformasi, dan pertikaian di Aceh sejak zaman Orde Baru hingga saat ini merupakan suatu bentuk pertikaian vertikal antara sebagian orang-orang Aceh (GAM) dengan pemerintah; sedangkan pertikaian etnik yang bersifat horisontal terjadi di banyak daerah seperti Maluku (Alqadrie dalam Jurnal Antropologi, 1997), Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan lain-lain. Di Kalimantan Barat sendiri sebenarnya pertikaian etnik yang disebabkan oleh isu putera daerah tidak perlu ada. Kalaulah isu itu dianggap sebagai salah satu sumber konflik, hal itu hanya kebetulan saja, karena isu tersebut telah diwujudkan dalam bentuk konsep putera daerah yang relatif lebih moderat dan tidak kaku dan telah diprakarsai oleh Syarif Ibrahim Alqadrie. Konsep ini mengatur bahwa siapa yang dikategorikan sebagai putera daerah adalah tidak saja berdasarkan ikatan darah secara vertikal ke bawah (Melayu dan Dayak termasuk kategori ini), tetapi juga tempat kelahiran dan lamanya bermukim paling kurang 25 tahun atau satu generasi (siapa pun mereka, dari anggota kelompok etnik manapun mereka dan dari asal usul manapun mereka asalkan mereka mempunyai dedikasi kepada daerah ini dan berkualitas) dapat juga dikategorikan sebagai putera daerah (Alqadrie, 1998). Namun demikian timbul pertanyaan mengapa pertikaian antara anggota komunitas etnik terjadi juga di Kalimantan Barat walaupun konsep putera daerah tersebut di atas sudah ada? Pertikaian itu terjadi selama dua belas kali sejak tahun 1963 antara anggota komunitas Dayak dengan anggota komunitas Cina perantauan di pedalaman selama satu kali, anggota komunitas Dayak dengan anggota komunitas Madura di pedalaman selama sembilan kali (Alqadrie Budiman, dkk, 2000; Alqadie, 2002) dan anggota komunitas Melayu Sambas dengan anggota komunitas Madura di Kabupaten Sambas (Petebang dkk., 2000; Alqadrie, Budiman dkk.,2000), serta pertikaian antara berbagai komunitas dengan anggota komunitas Madura di kota Pontianak selama satu kali dalam tiga hari. Pertanyaan yang kedua yang muncul adalah mengapa pertikaian berdarah itu terjadi di kawasan Pedalaman Dekat (interior Valley) seperti: Kabupaten Landak, Bengkayang, Sanggau, dan Kabupaten Pontianak bagian kawasan Pedalaman Dekat yang hanya terdiri dari tiga kecamatan, serta di Kabupaten Sambas, dan pertikaian itu tidak pernah terjadi di Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak di kawasan bagian pesisir, Kota Pontianak, dan Pedalaman Jauh (Interior Uplands), yaitu di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu? Selain dari faktor ekonomi, politik dan perbedaan budaya, pertikaian yang terjadi di beberapa kawasan tersebut di atas tampaknya disebabkan oleh tingkat pengetahuan atau kemampuan dalam bidang keagamaan dan hubungan sosial yang dikuasai oleh Kyai atau tokoh agama yang mendampingi komunitas yang bersangkutan, dan ada tidaknya dinasti kehabiban serta berfungsi tidaknya Habib dimana komunitas itu berada. Kalau Pesse Ese Babbua sebagai faktor penyeimbang terhadap budaya “kekerasan” (balancing power), Siri’, khususnya Siri’ Ripakasiri’ (Abidin dkk., 1983), dalam sistem nilai budaya Bugis, berada dalam diri orang-orang Bugis (Alqadrie, dalam Latif dkk.,2000), maka Kyai dan Habib, yang merupakan faktor penyeimbang terhadap budaya “kekerasan” dalam sistem nilai budaya orang-orang Madura, terletak di luar diri orang-orang perantau Madura (Alqadrie, 1987 dan 1991a ). Kedua kekuatan ini mampu menyeimbangkan, menenangkan dan “menjinakkan” orang-orang Madura dan mendamaikan mereka dengan masyarakat sekitarnya. Tingkat penguasaan atau kemampuan dalam segi hubungan antar manusia (Habluminannas) yang dimiliki oleh Kyai atau tokoh agama yang mendampingi komunitas Madura perantau yang bermukim di kawasan Pedalaman Dekat dan di Kabupaten Sambas sangat kurang, dibanding dengan penguasaan mereka dalam segi hubungan antara Manusia dengan Tuhan (Habluminallah). Dalam hal ini cenderung terjadi ketidakseimbangan dalam penguasaan kedua segi hubungan dalam bidang keagamaam di Kawasan yang bertikai tersebut di atas. Akan tetepi, penguasaan para Kyai Madura terhadap ke dua segi hubungan dalam bidang keagamaan sebagaimana disebutkan di atas ternyata terjadi sebaliknya di kawasan pesisir Kabupaten Pontianak, kawasan kota Pontianak, dan kawasan Kabupaten Ketapang, bahkan tampaknya ada keseimbangan antara ke duanya. Akan halnya keberadaan dan berfungsinya kehabiban, sejarah juga mencatat bahwa kesultanan Sambas, Landak dan Sanggau tidak berasal dari dinasti kehabiban, dengan kata lain dinasti kehabiban tidak terdapat dalam kesultanan tersebut bahkan penasehat peradilan dan hukum Islam dalam pemerintahan Sambas (Mufti) tidak berasal dari Keturunan Habib (Sayed), kalaupun ada mereka tidak berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang tetapi terbatas hanya sebagai anggota masyarakat biasa, demikian pula di kawasan lainnya di Pedalaman Dekat yang tidak memiliki kesultanan. Sebaliknya beberapa kesultanan di Kabupaten Ketapang (seperti Kesultanan Sukadana, Ketapang, Tanjungpura, dan lain-lain), di Kabupaten Pontianak Pesisir (seperti Kesultanan Amantubillah, Kesultanan Kubu, dan lain-lain), dan Kesultanan Qadariah-Pontianak berdiri dan didirikan berdasarkan dinasti kehabiban atau paling tidak dipengaruhi dan melibatkan dinasti kehabiban (Pemerintah Kota Pontianak, tanpa tahun). Para Habib berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang baik di kalangan komunitas setempat dan pendatang, khususnya komunitas Madura dalam budaya “kekerasan” -- Carok -- nya dan dapat menetralisirnya sehingga pertikaian antar anggota-anggota komunitas tersebut dapat diredam dan diantisipasi. Hampir tidak adanya pertikaian antar komunitas di Pedalaman Jauh, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Putussibau, dapat dijelaskan berdasarkan fakta bahwa pengaruh Ajaran Islam lebih berhasil dalam membina kehidupan masyarakat di sana secara keseluruhan, ketimbang peranan kesultanan. Dengan kata lain ajaran Islam tampaknya telah merasuk hampir dalam semua sendi kehidupan masyarakat. Dari uraian di atas revitalisasi dalam dinamika politik Melayu secara kongkret berwujud tampilnya kembali Pangeran, Sultan atau pimpinan ikatan keluarga kesultanan hampir di mana-mana tempat di Nusantara (tidak terbatas pada kelompok Melayu dalam arti sempit tetapi juga kesultanan Islam dari kelompok etnik lain yang dikatergorikan sebagai Melayu dalam arti luas), dan tampilnya tokoh-tokoh Melayu sebagai pejabat Eksekutif, Legislatif dan dalam jabatan strategis lainnya baik negeri maupun suasta. Mereka seharusnya memiliki tidak saja kualitas, kemampuan dan keterampilan dalam bidang yang akan diembannya tetapi hendaknya juga mereka memiliki karakter kekyaian (jujur, terbuka, penguasaan ilmu secara umum dan ilmu agama secara seimbang, amanah dan lain-lain) dan kehabiban (dedikasi, kewibawaan, panutan, penguasaan pengetahuan agama dan umum, pembaharuan, disegani dan lain-lain) sehingga mereka mampu menjadi penyeimbang, mampu menjembatani semua unsur dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan berbeda dan mampu pula mengatasi persoalan masyarakat yang menjadi lebih kompleks sekarang ini. Kalaupun sultan, pangeran atau pimpinan ikatan keluarga kesultanan tersebut belum memiliki kualitas di atas, mereka hendaknya mampu mencari tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kualitas dan karakter tersebut di atas sebagai penasehat (setera dengan peranan mufti dulunya) atau pendamping mereka sehingga kehadiran mereka atau revitalisasi di bidang ini mampu memecahkan masalah kemasyarakatan yang kompleks dan mampu pula untuk menjadi mitra pemerintah propinsi, kabupaten atau kota dan kecamatan. 4. Penutup Purifikasi dan revitalisasi merupakan bagian dari perubahan sosial dan wujud dari kesadaran kelompok atau kesadaran etnik yang terjadi dulu, sekarang dan akan datang. Sebagai suatu proses, purifikasi adalah pembersihan, penyaringan dan pemurnian yang terjadi dan dilakukan terhadap ras, etnisitas, ideologi atau paham, ajaran agama dan sebagainya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemuka, tokoh atau elit dari kelompok yang bersangkutan. Sedangkan revitalisasi dapat dipandang sebagai proses kemunculan kembali suatu kelompok, kelompok etnik, mashab, sekte, bangsa, dan sebagainya yang berjalan terus untuk menampilkan kelompok tersebut masih ada dan berfungsi agar tetap diakui dan dianggap penting keberadaannya oleh kelompok lain. Sebagai kesadaran etnik, purifikasi dapat dikategorikan sebagai kesadaran etnik yang bersumber dari dalam (internal consciousness) atau dapat pula disebut revivalisasi. Kesadaran ini merupakan usaha atau kesadaran menghidupkan kembali suatu kelompok dengan memurnikannya, membersihkannya dari hal-hal yang dianggap merusak kelompok itu dan menyaring unsur-unsur (paham, ideologi, ajaran agama, etnisitas, ras dan lain-lain) baik dari dalam maupun dari luar yang dianggap akan merusak kelompok tersebut sehingga kehidupannya atau keberadaannya kembali sesuai dengan tujuan semula. Akan halnya revitalisasi, ia merupakan kesadaran etnik yang bersumber dari luar (external consciousness), dan dapat juga dipandang sebagai jawaban dan reaksi terhadap berbagai bentuk ketidakadilan atau kekerasan baik yang tampak maupun tidak tampak dan intervensi atau pengaruh dalam bentuk ideologi, dan ajaran agama yang dilakukan oleh pihak luar baik secara terselubung maupun tidak untuk menciptakan ketergantungan atau kehancuran terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam hubungan dengan sosial budaya, purifikasi bersifat unik. Di satu pihak dia dapat dan harus dilakukan atau diadakan demi tidak terjadi penyimpangan nilai-nilai keislaman yang menjadi identitas Melayu maupun keberlanjutan kelompok etnik Melayu, persatuan dan keunggulan kelompok etnik Melayu dalam persaingan dengan kelompok lain. Di lain pihak, tindakan purifikasi tidak dapat dilakukan secara gegabah dan berlebihan karena akan menimbulkan perpecahan di dalam tubuh Melayu sendiri terutama terhadap anggota kelompok di luar Melayu yang menjadi Melayu melalui media identifikasi, dan terhadap Islam itu sendiri. Purifikasi di dalam dinamika politik Melayu, perlu dilakukan demi keutuhan Melayu itu sendiri sebagai suatu kelompok etnik. Ini berarti pengangkatan atau penunjukkan sultan, pangeran atau pimpinan ikatan kekeluargaan kesultanan, mereka perlu dihidupkan kembali, dan mereka haruslah berasal dari pewaris tahta atau keturunan langsung dari sultan terdahulu. Selain itu mereka haruslah memiliki Identitas Melayu yang jelas – Islam, Budaya Melayu atau Budaya Timur -- dan bersedia melaksanakan prinsip-prinsip tersebut secara konsekuen. Revitalisasi dalam dinamika politik Melayu dan di dalam politik pemerintahan perlu dilakukan karena bukan saja hal tersebut dikehendaki dalam Era Reformasi tetapi juga ia merupakan jawaban dan reaksi dari tantangan globalisasi, persaingan yang semakin kompleks, ketidakadilan dan keterpurukan. Dalam hal ini, kemunculan orang-orang Melayu baik sebagai sultan, pangeran, atau pimpinan ikatan keluarga kesultanan maupun yang mampu mengisi jabatan-jabatan yang tersedia di pemerintahan maupun swasta sebagai bukti masih adanya Melayu di permukaan bumi ini dan demi kemaslahatan manusia pada umumnya serta Melayu pada khususnya. Oleh karena itu, kehadiran atau munculnya orang-orang Melayu di posisi yang disebutkan di atas haruslah memenuhi kemampuan, kualitas yang diperlukan dan memiliki karakter kekyaian (pengetahuan keagamaan dan pengetahuan umum yang tinggi, jujur, mampu memimpin umat, bijaksana, transparan, keteladanan dan lain-lain) serta karakter kehabiban (disegani, berwibawa, menjadi perantara antar kelompok masyarakat dan pemerintah, memiliki karakter pembaharuan, dedikasi, panutan, penguasaan pengetahuan agama dan umum, dan lain-lain). Seandainya sultan, pangeran, atau pimpinan ikatan kekeluargaan kesultanan itu belum memiliki kualitas, kemampuan dan karakter yang disebutkan di atas, maka mereka harus bersedia dan mampu bekerja sama dengan tokoh-tokoh atau pemuka masyarakat yang memiliki kualitas tersebut dan mampu atau bersedia melakukan kemitraan dengan pemerintah daerah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abidin, Andi Zainal. 1983. Persepsi Orang Bugis – Makassar Tentang Hukum Negara dan Dunia Luar. Bandung: Alumni.
Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1987. Cultural Differences and Social Life Among Three Ethnic Groups in West Kalimantan. Tesis Master (M.Sc.). Lexington, KY.: Departement of Rural and Agricultural Sociology, College Agriculture, University of Lexington.
-----------------. 1989/2000. Ethnicity, religion, and Social Change: Ethnic Movement and Nasionalism in the West and the Third. Seminar paper presented in the Six Monthly and Discussion and in International seminar conducted by sociological Student Association of Departement of sociology A University Lexington on Four Semester 1989 and in University of Leiden on Four Semester 2000
---------------------. 1991a. Kehidupan Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat Madura di Kabupaten Pontoianak. Hasil Penelitian. Pontianak: Lembaga Penelitian UNTAN
---------------------. 1991b. “Pembangunan, Ketergantungan dan Kesadaran Etnis”. Dalam Suara Almamater. No.1, April
--------------------. 1998 Otonomi Daerah dan Konsep Putera Daerah di Kalimantan Barat. Pontianak: Universitas Tanjungpura
---------------------. 1999. “Konflik Etnis di Ambon dan di Sambas: Suatu Tinjauan Sosiologis”. dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Diterbitkan oleh Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, tahun XXIII, no.58, Januari-April
---------------------.2000. “Pengaruh Bugis Dalam Pembinaan Dunia Melayu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya”. Dalam Abdul Latif Abu Bakar dan Othman Puteh (edt). Globalisme dan Patriotisme dalam Sastra Melayu. Kumpulan Kerja Hari Sastera 2000. Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.
--------------------. 2002. Pola Pertikaian etnis di Kalimantan Barat dan Faktor-faktor Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik yang Mempengaruhinya. Pontianak: Program Strata-2 Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Tanjungpura
---------------------, Almutahar.Hasan,dkk.1997. Etos Kerja: Kelompok Etnik Melayu di Kotamadya Pontianak. PMB-LIPI
---------------------, Budiman,dkk. 2000. Pertikaian antara Komunitas Madura Kalbar dengan Komunitas Dayak di Kawasan Pedalaman Tahun 1996/1997, dan Antara Komunitas Madura Sambas dengan Komunitas Melayu Sambas Tahun 1998/1999 di Kalimantan Barat. Hasil Penelitian atas Kerjasama YIIS, Jakarta, dengan FISIPOL, UNTAN. Jakarta:YIIS
Cambridge. Team. 1995. Internationaal Dictionary of English. London: University Press, Cambridge
Echo,John M, Shadily,Hassan. 1977. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Fisher, Simon;Dekha,Ibrahim Abdi; dkk. 2000. Working With Conflict: Skills and Strategies for Action. London: Zed Books.
Harian Kompas. 2003. Peta Perdamaian Semakin Jauh. 24 Agustus 2003.
Hussein, Tan Sri Ismail. 1975. ………………………………………….
Iskandar, Dodi R.1987.Sejarah Indonesia dan Dunia. Bandung: CV. Armico
Veth P.j. 1854. “Borneo’s Wester Afdeeling, Geographisch, Statistich, Historisch, Vooraaafgegaan door een algemene schets der gansche eilands”. dalam Hasaanuddin dkk. 2000. “Pontianak 1771-1900: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi”. Pontianak: Romeo Grafika
Kayamlicka Will. 2003. Kewarga Negaraan Multikultural. Pustaka LP3ES
Metzeger.L Paul.1975. “American sociology and Black Assimilation: Conflicting Perspectives” dalam Yetman.Norman.R.1975. Majority and Minority: The Dynamic of Race and Ethnicity in American Life. Boston:Alyn and Bacon,inc
Muller Kal.1992.”Indonesian Borneo”. dalam Hasaanuddin dkk. 2000. Pontianak 1771-1900: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi, Pontianak: Romeo Grafika
Permana,Nurhayat Arif. 2002. “Revitalisasi Lembaga Adat dalam Menyelesaikan Konflik Etnik Menghadapi Otonomi Daerah: Studi Kasus Pulau Bangka”. dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Diterbitkan oleh Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, no.68
Pemerintah Kota Pontianak. Tanpa tahun. Sultan Syarif Abdurrachman Alkadri: Perjuangan Medirikan Kota Pontianak (23 Oktober 1771) dan Kesultanan Pontianak (1778). Pontianak: Bappeda, Pemerintah Kota Pontianak.
Petebang Edi,dkk. 2000. Konflik Etnik di Sambas. Pontianak: Institut Studi Arus Informasi (ISAI) [1] Makalah ini disampaikan kepada para peserta “Gelar Budaya Keraton Serumpun” yang diselenggarakan di Istana Amantubillah, Mempawah, Kabupaten Pontianak, Kalbar, 6 September 2003. Setelah mengalami beberapa penyesuaian atau revisi, tulisan ini kemudian disumbangkan kepada Tim Penulisan LIPI untuk dijadikan bagian dari buku sebagai hadiah ulang tahun Prof. Dr. Taufik Abdullah ke 70. [2] Alqadrie adalah Profesor Sosiologi pada FISIPOL Universitas Tanjungpura (UNTAN), Pontianak. Sejak Agustus 1995 s/d September 2001 ia menjabat Dekan pada fakultas tsb selama dua kali masa jabatan. Pengalaman kerjanya dimulai dari menjadi Guru SD Islamyah Kampung Bangka (1966-1968), Guru SMEP Negeri (1968-1972), Guru SMEA Negeri, Ptk. (1972-1974), Asisten Dosen Luar Biasa UNTAN (1969-1974) dan Dosen Tetap UNTAN (1975-sekarang). Pendidikan Sarjana Satu (S1) diperolehnya di Jurusan Ilmu Administrasi Negara (IAN) di FISIPOL UNTAN (1974). Sarjana Dua (S2) [M.Sc] tahun 1987 dan Sarjana Tiga (S3) [Ph.D) tahun 1990 diperolehnya masing-masing dalam Jurusan Sosiologi Pertanian dan Pedesaan (Agricultural and Rural Sociology), dan Jurusan Sosiologi Politik dan Etnisitas (Political Sociology and Ethnicity) pada University of Kentucky, Lexington, AS. Tahun 1993 ia memperoleh Penghargaan David Penny Award dari Pemerintah Australia sebagai penulis terbaik tentang Kemiskinan. Tahun 1998 mengikuti Kursus Singkat Angkatan (KSA) VII LEMHANNAS (selama 4½ bulan) di Jakarta. Tahun 1999 dianugrahi Bintang Jasa Utama oleh Presiden R.I. Dalam tahun yang sama dianugrahi Bintang Kesetian Dalam Pengabdian 30 tahun dari Pemerintah Daerah Kalbar. Sejak Juli 2000-2004 menjabat sebagai Direktur Program Magister Ilmu-Ilmu Sosial UNTAN.
[3] Ada dua pemahaman tentang kata Nusantara. Pertama, Nusantara menunjukkan kawasan yang meliputi dan terbentang dari Sabang sampai Marauke dengan seluruh pulau-pulau, kepulauan, laut, selat, daratan, udara, teluk, penduduk dan seluruh kekayaan alam di dalamnya. Pemahaman ini dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia di negeri ini. Kedua, Nusantara berkaitan dengan kawasanyang meliputi seluruh kawasan Indonesia dari Sabang sampai Marauke, seluruh kawasan Malaysia dan seluruh kawasan Brunei (Hussein, 1975; 27 Oktober 2004). Pemahaman kedua ini dianut sebagian besar rakyat dan pemerintah Malaysia dan Brunei di dua negara tersebut dan sebagian kecil kelompok menengah ke atas , terutama cendekiawan, di Indonesia yang telah bersentuhan dengan kehidupan akademis di Malaysia. Tidak ada polemik berarti terhadap dua pemahaman di atas, bukan saja karena tiga bangsa ini adalah bangsa serumpun, tetapi Nusantara pada istilah kedua ini merupakan perwujudan dari hasil penjelajahan Mahapati Gadjah Mada di kawasan yang meliputi tiga bangsa itu sekarang yang kemudian menjadi kawasan kekuasaan Madjapahit di bawah naungan Sang Saka Merah Putih.
6. SIRI’, NILAI BUDAYA BUGIS, SEBAGAI ALTERNATIF MENGATASI KETERPURUKAN BANGSA: SUATU PERSPEKTIF BUDAYA DALAM MENGANALISIS KONDISI DI KALIMANTAN BARAT[1]
O l e h : Syarif Ibrahim Alqadrie[2]
1. Pendahuluan. Kerterpurukan Indonesia, khususnya keterpurukan dalam segi non-fisik atau rokhani yang biasa dikenal dengan segi mental, moral dan spiritual, telah mulai terjadi di era Orde Baru (ORBA). Harga diri (self esteem) dan martabat/marwah (dignity) bangsa meluncur cepat ke bawah, setelah 26 tahun, sejak 17 Agustus 1945 sampai 11 Maret 1966, bangsa ini pernah sangat disegani dan dihormati, bahkan ada kesan “ditakuti,” oleh bangsa-bangsa dari negara-negara Barat yang pernah membuat bangsa ini dan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin (the triple A countries), malah oleh negara yang menyebut dirinya sebagai super power atau polisi dunia. Memasuki era Reformasi hingga sekarang, keterpurukan dan – kalaupun dapat dikatakan – kebangkrutan bangsa ini tampaknya semakin menjadi jelas, bukan hanya dalam segi rokhani sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tetapi juga dari segi fisik atau materi. Dalam hal ini keterpurukan dapat dilihat sangat nyata dengan mata telanjang dalam hal berkurangnya harga diri, berkeping-kepingnya mental dan moral dari mereka yang memiliki jabatan yang seharusnya justru memiliki kesempatan mempertahakan dan meningkatkan harga diri bangsanya, tetapi penyuapan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan terjadi dimana-mana. Tindakan sangat tercela itu terjadi antara lain di lembaga hukum tempat dimana masyarakat meminta keadilan; di perguruan tinggi tempat dimana masyarakat, khususnya generasi muda, ditempa menjadi manusia berilmu, memiliki idealisme, beretika dan seharusnya berfihak pada kebenaran dan keadilan; dan di instansi keagamaan tempat dimana hubungan antar manusia dan dengan Tuhan seharusnya dipelihara dan dijauhkan dari dosa-dosa. Dari segi fisik atau materi, kemiskinan, kefakiran dan kebodohan – atau lebih tepat disebut pembodohan – rakyat kecil bertambah secara sangat drastis dari segi baik jumlah maupun kualitas sebagai konsekuensi dari tindakan tercela tersebut yang jelas-jelas merugikan dan tidak berfihak kepada rakyat kecil. Fenomena suram seperti ini akan berdampak negatif tidak saja dengan timbulnya sifat masakbodoh (fatalism) dan kekerasan di kalangan masyarakat luas sebagai protes yang berbentuk reaksi spontan atas ketidakadilan dan ketidakadanya harapan, tetapi juga dengan bergulirnya efek bola salju atau efek estafet negatif yang dilakukan generasi lebih tua terhadap para generasi muda, sehingga ada anggapan, menurut Mochtar Lubis (1980), bahwa jalan pintas atau memperoleh sesuatu dengan cara termudah, kalau perlu tanpa usaha berarti (menerabas) walaupun merugikan orang lain, masyarakat dan menghancurkan harga diri bangsanya sendiri, dan (mulai dari sini tambahan penulis sendiri) tindakan menghalalkan segala cara, avonturirisme – bukan kerja keras, ketekunan dan prosedural -- dan pelanggaran hukum, adalah satu-satunya “cara ampuh” dalam mencapai tujuan. Kalaulah begini, apa jadinya bangsa ini! Kita tidak akan pernah beranjak dari tempat semula, kalaupun berjalan, tidak lain kita hanya jalan ditempat yang hanya menghabiskan energi dan waktu, sedangkan bangsa lain berjalan laju. Keprihatinan demi keprihatinan terus mendera kita. Adakah jalan ampuh untuk memperbaiki kondisi yang sangat memprihatinkan ini? Tulisan ini akan berusaha mencari alternatif atau – apapun namanya – jalan pemikiran untuk mengurangi dan – kalau dapat – mengatasi masalah memrihatinkan yang dihadapi bangsa ini. Dalam dunia akademis, khususnya dalam ilmu sosial, ada beberapa cara yang pada umumnya dikenal sebagai teori atau cara pandang yang biasa disebut cara pandang atau perspektif (perspective) dalam membantu melihat, memahami dan menemukan akar masalah berdasarkan sudut pandang yang digunakan dalam perspektif itu. Dari banyak perspektif dalam ilmu sosial, pada dasarnya ada dua perspektif yang tampaknya dapat melingkupi dan mencakup perspektif lainnya, yaitu perspektif budaya (cultural perspective) dan bukan perspektif budaya (non-cultural perspektif). Biasanya perspektif yang disebut pertama mencakup perspektif mental, moral dan spiritual (spiritual, moral and mental perspective), sedangkan perspektif yang terakhir ini melingkupi antara lain perspektif struktural, demografi, geografi dan sejarah (historical, geographical, demographical and structural perspective). Oleh karena kita berbicara tentang nilai budaya Siri’ yang langsung berkaitan dengan nilai budaya Indonesia, khususnya nilai Budaya Bugis, perspektif budaya adalah perspektif yang paling tepat digunakan, dan dalam tulisan ini perspektif tersebut akan menjadi pusat pembahasan dalam mencari alternatif mengatasi keterpurukan bangsa ini pada umumnya dan masalah yang dihadapi daerah ini pada khususnya. 2. Perspektif Budaya (Cultural Perspective). Perspektif, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Moeliono, dkk., 1990:675) dan Webster’s World University Dictionary (Taylor, dkk. 1965:722), cara melukiskan suatu benda dan sebagainya pada permukaan yang mendatar sebagaimana terlihat oleh mata pengamat dengan tiga dimensi, atau dapat pula disebut sudut pandang. Perspektif ini yang menurut sejarahnya berasal dari teori-teori Barat untuk memandang dan memahami dunia ketiga (the third world), tidak memerlukan pengetahuan sangat mendalam, karena fenomena yang diamati lebih konkrit dan mudah dilihat dengan mata telanjang. Sebagai suatu mashab atau aliran filsafat – perspektivisme (perspectivism)—para penganut aliran ini beranggapan bahwa ilmu itu bersifat relatif dan setiap pengetahuan pada dasarnya adalah suatu interpretasi belaka yang bergantung pada keadaan dimana seseorang berdiri terhadap obyek yang akan diketahui/difahaminya (Moeliono, dkk.,1990:675-6). Dalam kaitan dengan Siri’ yang merupakan salah satu dari banyak cara/sudut pandang budaya dalam rangka memahami dan mengatasi keterpurukan, pemahaman dan pengetahuan yang diperoleh dari fenomena sosial yang diamati/difahami, berdasarkan aliran filsafat ini, bersifat relatif, tidak mutlak dan tidak selalu mengandung 100 persen benar, dan hanya merupakan interpretasi si pengamat atau penulis. Ini berarti kesimpulan sementara yang diperoleh dari apa yang dilihat melalui perspektif, dalam hal ini perspektif budaya, mungkin dapat diragukan oleh perspektif lain. Perspektif budaya sebagaimana telah dikemukan di atas dari pengertian asalnya, adalah sudat pandang seseorang yang melihat dan memahami bahwa terjadinya fenomena dan realitas sosial lebih disebabkan oleh faktor nilai-nilai budaya (factors of cultural values). Oleh karena faktor nilai-nilai budaya, termasuk sikap mental, moralitas dan karakter psikologis, lebih dianggap sebagai faktor dalam (internal factor) – karena mereka dianggap berada di dalam masyarakat, termasuk di dalam diri individu yang bersangkutan, maka perspektif budaya berkaitan erat dengan faktor dalam. Faktor ini dipandang sebagai lawan dari faktor luar (external factor) yang dikategorikan sebagai bukan/di luar perspektif budaya. Jadi non cultural perspective berkaitan erat dengan faktor luar. Kepadanan kategorisasi perspektif budaya dan faktor dalam di satu fihak, dengan perspektif bukan-budaya dan faktor luar, di lain fihak, akan lebih mudah difahami dengan melihat konsep Alvin So (1990) ketika ia mendiskusikan tentang tiga teori/perspektif/aliran utama pembangunan. Teori yang biasa juga disebut perspektif atau aliran itu antara lain adalah teori atau perspektif modernisasi (modernization perspective), ketergantungan (dependency perspective), dan sistem dunia (world systtem perspective). Persamaan dan perbedaan pokok antara ketiga teori/perspektif itu antara lain adalah bahwa para penganut dari ketiga teori tersebut masing-masing mengatakan ketiganya adalah teori/perspektif yang dapat dipergunakan sebagai cara atau alat untuk mengetahui dan memahami fenomena dan masalah pembangunan di dunia ketiga atau negara-negara sedang berkembang (developing countries). Perbedaan ketiganya terletak pada kepercayaan dan prinsip yang dianut oleh para penganut ketiga teori itu masing-masing bahwa maju dan mundurnya atau berhasil atau tidaknya suatu masyarakat dalam pembangunan mereka terletak atau tergantung pada faktor dalam bagi teori/perspektif modernisasi, dan pada faktor luar bagi teori/perspektif ketergantungan dan sistem dunia[3]. Selain itu, teori modernisasi merupakan suatu teori tentang pembangunan yang merupakan produk Barat, khususnya Amerika Serikat (AS) untuk melihat NSB dari kaca mata Barat. Padanan ini menunjukkan bahwa perspektif budaya menjelaskan kepada kita pengaruh yang sangat besar dari faktor budaya terhadap berkembang dan maju tidaknya suatu masyarakat atau bangsa. Kaitannya dengan teori atau perspektif modernisasi terletak pada anggapan dasar yang sama dari para penganut mereka – perspektif budaya dan perspektif modernisasi – bahwa para penganut kedua perspektif ini menyatakan hal yang sama tentang besar dan dominannya pengaruh faktor budaya bagi perkembangan suatu masyarakat atau bangsa. Akan tetapi, kedua perspektif ini bertolak belakang dalam melihat kegunaan dan pentingnya nilai budaya bagi masyarakat atau bangsa yang menganut nilai budaya itu sendiri. Bagi teori modernisasi dalam mana pembangunan NSB dilihat dari kaca mata Barat sehingga ketidakmajuan dan keterpinggiran bangsa-bangsa di negara ini selalu dilihat dari unsur-unsur nilai budaya mereka yang dianggap “bermasalah” di dalamnya, sehingga ada suatu ungkapan naif (there is something wrong in their culture). Pandangan miring seperti ini menempatkan nilai-nilai budaya masyarakat atau bangsa di NSB menjadi “kambing hitam” dan berada dalam posisi “terdakwa.” Pemahaman negatif ini menghasilkan suatu kesimpulan berat sebelah (unbalanced decision) bahwa kalau bangsa-bangsa/masyarakat di Dunia Ketiga ingin maju dan berhasil dalam pembangunan mereka seperti negara-negara industri maju (NIM) di Barat, mereka seharusnya meninggalkan/melemparkan nilai budaya mereka, sebaliknya mengambil dan mengadopsi begitu saja nilai-nilai budaya Barat. Sebaliknya, penganut perspektif budaya tidak menganggap ada sesuatu yang salah di dalam nilai budaya mereka. Dalam posisi seperti ini, bahkan unsur-unsur nilai budaya yang positif – tentu ada juga nilai-nilai budaya masyarakat di NSB yang mengandung unsur negatif – menjadi alternatif dalam mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain sebagai akibat dari penjajahan selama beratus tahun, dan dalam melaksanakan pembangunan dan perubahan sosial. Nilai-nilai budaya seperti ini tidak perlu ditinggalkan apalagi dilemparkan, sebaliknya mengadopsi dan menggantinya dengan nilai-nilai Barat yang belum tentu semuanya sesuai dengan kepribadian dan nilai budaya bangsa. Usaha yang diharapkan berhasil dalam mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa di NIM dan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat mereka dengan melemparkan nilai budaya sendiri dan menggantikannya dengan nilai budaya luar, menyebabkan bangsa-bangsa NSB akansebaliknya menjadi tergantung dan kehilangan jati diri (self identity). Salah satu contoh konkrit berkaitan dengan kasus ini adalah Philipina yang tidak lebih maju dari Thailand dan Malaysia – kedua negara ini masih berada dalam alur nilai budaya sendiri, dengan jati diri bangsa yang jelas – tetapi dalam proses kehidupan sosial, budaya dan politiknya telah kehilangan jati diri dan sangat tergantung dengan AS. Uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip yang terdapat di dalam perspektif budaya tidak menjadikan nilai budaya bangsa sendiri sebagai “terdakwa” yang perlu dilemparkan tanpa koreksi kedalam (introspection) lebih dahulu, lalu mencari dan mengadopsi bagitu saja unsur nilai budaya bangsa lain yang tidak semuanya positif bagi bangsa sendiri. Padahal di dalam nilai budaya sendiri, banyak unsur positif yang perlu digali kembali, dimanfaatkan dan dijadikan pedoman yang relevan dalam membangun kembali bangsa. Koentjaraningrat (1985, 1986) percaya bahwa bangsa ini telah memiliki nilai-nilai luhur seperti antara lain nilai-nilai gotong royong; keseimbangan” emosi berupa keharmonisan dan tepo’ seliro; hubungan kekerabatan yang kuat berupa menghargai orang tua, pimpinan, dan kebiasaan mengangkat anak dan saudara (tambahan dari penulis); musyawarah; dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Unsur-unsur dari nilai budaya tersebut perlu diaktualisasikan dan direvitalisasikan, yang dapat berfungsi bukan saja untuk menciptakan masyarakat yang berkarakter multikultural – menerima, menghargai dan menghormati perbedaan dalam segala hal, dan menghargai ide dan karya orang lain (Alqadrie, 2002; 2005), tetapi juga menjadi pedoman dalam merintis hari depan bangsa. Salah satu dari banyak unsur nilai budaya positif seperti itu yang dimiliki kelompok-kelompok etnis Indonesia tampaknya dapat ditemukan pada siri’ di dalam nilai budaya masyarakat Bugis (Alqadrie, 1997). Karena itulah, unsur nilai budaya ini, disamping nilai budaya lain di Indonesia, dapat pula dijadikan alternatif dalam mengatasi keterpurukan. 3. Siri’ Di dalam Sistem Nilai Budaya Bugis. Salah satu filsafat hidup masyarakat Bugis dan Makasar yang sangat terkenal disebut dengan istilah siri’, yang menempatkan nilai tinggi untuk menjaga dan meningkatkan nilai kehidupan, martabat, dan harga diri (Abidin, 1983:32). Misalnya, ancaman terhadap siri’ mendorong Daeng Mangalle, saudara Sultan Hassanuddin (Raja Gowa, sekitar tahun 1639), melarikan diri ke Jawa Timur dan kemudian ke Thailand untuk menghindar dari penangkapan Belanda. Di Thailand ia menjadi menteri keuangan dan diberikan gelar bangsawan oja paodi, dan dua putranya kemudian menjadi opsir di militer Perancis (Pelras, 1973:64). Karaeng haji, kakek dari mantan Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdurrazak, meninggalkan Sulawesi Selatan (Sulsel) menuju Malaysia pada abad ke 17 dan menjadi Walikota pertama Kesultanan Pahang, Malaysia. Jadi, sangat diragukan apabila keadaan ekonomi menjadi penyebab utama migrasi dari Sulsel, karena daerah ini sangat produktif dalam bidang pertanian; lagipula tekanan karena jumlah penduduk juga rendah bila dibandingkan dengan daerah lain: kepadatan penduduk rata-rata pada tahun 1971 adalah 68 orang per km2, dibandingkan dengan daerah lainnya pada tahun yang sama seperti Jawa Timur dengan 533 orang per km2, Yogyakarta dengan 2745 orang per km2. dan Bali dengan 783 orang per km2 (Republik Indonesia, 1974:108-86). Banyak pendatang Bugis di Malaysia ketika ditanya mengapa bermigrasi, mereka menjawab bahwa mereka ingin memperbaiki nasib. Banyak diantara mereka mengulangi pepatah Bugis (Alqadrie, 1987:29-30) : Da’ ga pasa’ri lipu’mu, balanca ri kompommu, mulanco mabela? Engka pasa’ri lipu’ku balancari kompokku ulampa mabela, ia kia ininnawami kusappa’! Artinya kira-kira: Apakah tidak ada pasar dan uang di kampungmu sehingga kamu datang dari tempat yang sangat jauh?” “Tentu saja ada pasar dan uang di kampungku, tetapi aku mengembara karena ingin menemukan cinta dan ketenangan pikiran. Ini merupakan jawaban yang diberikan oleh orang yang telah memiliki harta, sawah, serta pekerjaan di tempat asal mereka. Akan tetapi, menurut Abidin (1983:72) mereka merasa kurang dihormati, khususnya oleh para penguasa. Beberapa ilmuan sosial (Geertz, 1963:41 : Koentjaraningrat, 1981:88) menggambarkan orang Bugis sebagai kelompok etnis Indonesia pesisir paling dinamis. Jadi motif perpindahan mereka ke luar Sulsel sebelum awal abad ke 20 lebih didorong oleh alasan sosial budaya, bukan ekonomi. Sangat sulit membedakan orang Bugis dengan orang Makasar karena kemiripan budaya dan bahasanya. Koentjaraningrat (1981:88) menemukan bahwa budaya kedua kelompok etnis Indonesia ini mirip sekali, bahasa mereka juga sangat dekat hubungannya: Ugi adalah bahasa orang Bugis dan Mankasara[4] adalah bahasa orang Makasar. Bahasa daerah merupakan cara yang jelas untuk membedakan mereka. Kedua kelompok etnis ini juga memilih tujuan berbeda dalam migrasi mereka. Geertz (1963:41) menyatakan bahwa selama periode persaingan internasional dalam perdagangan rempah-rempah di abad ke 17, orang Makasar sangat aktif melakukan kolonisasi terhadap pulau Sumbawa dan Bali. LaSide (1975:170) menyatakan bahwa banyak orang Makasar secara sistematis menguasai pulau-pulau yang pernah ditaklukkan oleh Gowa, Kerajaan Makasar: Bima (1617), Sumba, Dompu, Sanggar, Jutai, dan Berau (1618), Sumbawa (1619), Buton, Muna, Bungku, Salor, Tedak, Manggarai (1626), Baggai, Sulu di selatan Pilipina, Lembato, Gorontalo, Tondano, dan Sangir (1634), serta Buru, Tobea dan Bebe (1640). Abidin (1983) memperkirakan sebagian orang Makasar menetap di pulau Sumbawa dan Bima, dan perkawinan antar etnis telah terjadi antara orang Makasar dan masyarakat lokal di Pulau ini sejak 1618. Sebaliknya, banyak orang Bugis bermigrasi ke pulau-pulau di Riau, Kalimantan, serta koloni-koloni kecil di seluruh Indonesia dimana mereka juga kawin dengan masyarakat setempat, khususnya di Kalimantan, dengan keluarga kesultanan. Pemerintah Belanda pada saat itu sudah mulai memperluas ekspolitasi dan dominasinya terhadap pulau-pulau lainnya. Ada kemungkinan bahwa pola menetap yang berbeda merefeleksikan keinginan orang Bugis dan orang Makasar untuk meningkatkan upaya mereka melemahkan pengaruh Belanda. Walaupun abad ke 17 merupakan masa setidaknya tiga abad sebelum munculnya gagasan Indonesia bersatu, orang Bugis dan orang Makasar telah memiliki pandangan bahwa Indonesia hanya boleh dikuasai dan diperintah oleh masyarakat asli Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Geertz (1963:41) persaingan antara Kerajaan Bone Bugis dan Kerajaan Gowa Makasar bukan hanya terletak pada garis perdagangan namun juga meliputi konflik peperangan. Setelah terjadinya persaingan dan peperangan bertahun-tahun, kebudayaan Bugis akhirnya didominasi oleh Kerajaan Gowa dan pusat kebudayaan Sulsel yang terletak di ibukota Makasar, Ujung Panjang, diperintah oleh raja-raja Gowa dari abad ke 17 hingga abad ke 19. Walaupun suksesi Kerajaan Bugis meliputi Kerajaan Wajo’, Shoppeng, Sawiti dan Suppa, Alitta, dan Bone, selanjutnya kerajaan-kerajaan ini diserap oleh kerajaan-kerajaan Makasar seperti Tallo dan akhirnya Gowa. Setidaknya pada tahun 1972 Gowa telah berhasil menguasai bukan hanya kerajaan Bugis terakhir yaitu Bone, tetapi juga memperluas pengaruh mereka hingga melampaui semenanjung selatan Sulsel hingga ke Maluku. Migrasi besar orang Bugis dicatat pada abad ke 17 semasa pemerintahan Arung Palaka setelah ia bersekutu dengan VOC Belanda (Abidin, 1983:56). Abidin menyatakan terjadinya kelaparan yang meluas setelah Belanda melarang perdagangan antar pulau. Migrasi besar ini bertepatan dengan keluhan VOC kepada pemerintah Belanda tentang maraknya penyeludupan, namun Lineton (1975:177) “penyeludup-penyeludup” ini adalah pengusaha Bugis yang melarikan diri dari provinsi ini. Belanda pada masa itu mengadopsi politik devide et impera dimana mereka giat sekali melakukan manipulasi terhadap konflik lokal dan mengintervensi urusan politik serta perdagangan sebagai upaya melemahkan posisi orang Bugis. Perjanjian demi perjanjian dipaksakan oleh Belanda pada masyarakat lokal hingga mereka dapat menguasai perdagangan dan politik di seluruh kepulauan Indonesia secara efektif. Akhirnya Belanda membagi Sulsel kedalam tiga wilayah politis: 1) wilayah yang berada di bawah kendali langsung pemerintah kolonial Belanda, termasuk wilayah utama Makasar dan dua pelabuhan sebelah utara, Bantaeng dan Bulukumba; 2) wilayah yang secara tidak langsung diperintah atau dikelola oleh pemerintah kolonial meliputi Kaili, Pare-pare, Taneta, Tallo, Wajo’, dan Luwu; dan 3) semua wilayah yang dianggap bersekutu dengan pemerintah kolonial Belanda –yang disebut Bondgenootschappelyke landen—yang terdiri dari Mandar, Toraja, Massenrempulu, Shoppeng, dan Bone (Gonggong, 1983:71). Perjanjian-perjanjian palsu tersebut ternyata tidak mendatangkan hasil, dan pada tahun 1846 semua wilayah Sulsel ditempatkan dibawah kendali langsung pemerintah Belanda[5]. Sebagai akibat perubahan politik ini, semua jabatan pemerintahan hingga ke tingkat asisten residen, atau asisten kepala Keresidenan semua dijabat oleh orang Belanda. Masyarakat lokal hanya diperbolehkan memegang posisi tradisional sebagai penghubung antara pejabat Belanda dengan masyarakat asli (Gonggong, 1983:71). Keadaan politik seperti itu sangat membatasi kegiatan sosial ekonomi serta kebebasan rakyat Sulsel. Belanda telah berhasil melumpuhkan ekonomi masyarakat lokal dan berhasil pula mengendalikan sepenuhnya semua aspek kehidupan masyarakat. Kekuasaan Belanda dipandang sebagai ancaman terharap siri’ dan situasi seperti ini benar-benar tak dapat ditoleransi oleh banyak orang Bugis karena dinggap menghancurkan kehormatan, harga diri, dan martabat mereka. Dalam hukum adat (ade) seseorang diperbolehkan membunuh orang lain yang telah memalukan atau menghinanya kecuali jika pelakunya memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau lebih berkuasa. Dalam posisi seperti ini, satu-satu pilihan untuk mendapatkan kembalinya siri’nya adalah dengan merantau ke tempat lain, menjadi sukses, dan kembali ke kampung halaman untuk menunjukkan keberhasilannya dan dengan begitulah ia membalaskan dendamnya (Abidin, 1983:32). Hal ini juga tampaknya mendorong migrasi besar-besaran orang Bugis pada Abad ke 19. Gelombang awal migrami orang Bugis dimulai pada tahun 1667 ketika benteng pertahanan Ujung Pandang ditaklukkan oleh Laksamana Speelman dari VOC. Selanjutnya sejumlah kemenangan militer VOC menyusul yang akhirnya berpuncak pada jatuhnya benteng Tosora di ibukota Wajo’ pada tahun 1670 kepada pasukan gabungan VOC dan Bone-Shoppeng-Tanate (Abidin, 1983:53). Perang yang memakan waktu lama ditambah pula dengan penguasaan Belanda atas semua perdagangan di pelabuhan Makasar serta larangan berdagang di Malaka (Singapura) karena direbut Portugis secara efektif telah melumpuhkan ekonomi lokal (Bastian, dalam Abidin, 1983:57). Akibat dari perang ini dan keterbatasan dalam mencari nafkah, sejumlah besar orang Bugis berusaha mengelak dari blokade Belanda dan Arung Palaka untuk bermigrasi ke pulau-pulau lain di kepulauan Indonesia serta kota-kota pesisir di Asia tenggara. Lineton (1975:174) menyatakan bahwa penyebutan orang Bugis sebagai “migran” merupakan suatu kesalahan, namun ia percaya bahwa mereka merupakan “kelompok etnis pengembara yang mengarungi kepulauan Indonesia untuk mencari kegiatan perdagangan mengikuti arah angin.” Namun beberapa peneliti lain (Mattulada, 1975; Errington, 1977; Harvey, 1974; Andaya, 1979; Abidin, 1982a, 1982b, 1983; Gonggong, 1983; Suhamihardja, 1973) menegaskan bahwa orang-orang Bugis tidak datang dan pergi pada musim tertentu, namun mereka mendiami suatu tempat untuk waktu yang lama baru kemudian berpindah lagi, atau bahkan menetap selamanya, seperti di Kalimanatan, di tempat yang mereka sebut sebagai “desa kedua yang sebenarnya”, dan berbaur dengan penduduk setempat. Jadi istilah migran tampaknya sangat tepat. Rasa malu orang Bugis terhadap persekutuan Arung Palaka dengan VOC ditunjukkan melalui perlawanan mereka terhdap pemerintahan kolonial Belanda, perlawanan yang menyebar hampir ke seluruh pelosok Nusantara. Pada tahun 1667 ratusan orang Bugis dan orang Makasar yang dipimpin oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu dan Laksamana Karaeng Galesong, menyelinap melalui pertahanan laut Belanda menuju Jawa untuk bergabung dengan Trunojoyo di Madura dalam perlawanan terhadap Belanda dan kerajaan Mataram (DeGraaf dalam Abidin, 1983:54). Di Kalimantan, Sultan Opu Daeng Manambon dari mempawah dan Sultan Opu Daeng Kamese dari Matan –keduanya adalah pendatang Bugis yang telah menikah dengan keluarga kesultanan setempat—mengorganisasi masyarakat lokal untuk ikut dalam perlawanan terhadap Belanda. Beberapa pemimpin masyarak lokal telah membentuk aliansi dengan Belanda. Bukan hanya pengusaha atau pemimpin politik yang tidak memihak mereka; para petani, nelayan, dan pedagang, dan anggota keluarga kerajaan juga ikut meninggalkan raja yang bersekutu dengan Belanda. Raja seperti ini disebut mate siri’ (kehilangan harga diri dan kehormatannya). Raja yang demikian bukan hanya kehilangan martabatnya tetapi juga kehilangan kepercayaan rakyat dimana ia tidak lagi dianggap keturunan Raja Tomanurung –raja yang menurut dongeng ”turun dari langit.” Karena semakin banyak rakyatnya meninggalkan raja tersebut, ia semakin kehilangan siri’ (Errington, 1977) hingga hanya beberapa orang saja yang masih mendukungnya dan satu-satunya tempat bergantung adalah dengan Belanda. Keadaan begini telah menempatnya dalam posisi yang tak berdaya dan tidak memiliki pilihan selain membuat persetujuan dengan Belanda, dan akhirnya ia pun tidak memiliki apa-apa lagi selain menjadi pegawai rendahan pemerintah Belanda (Abidin, 1983:33). Walaupun telah memerintah di wilayah Sulsel sejak abad ke 17, Belanda baru mampu menaklukkan semua wilayah ini dan Maluku pada tahun 1906. Hal ini menyebabkan terjadinya gelombang migrasi orang-orang Bugis, kali ini ke Kalimantan dan Jawa. Gelombang migrasi besar ketiga dan sekaligus yang terakhir terjadi pada masa kemerdekaan tahun 1949 dan terjadi lagi tahun 1951-65 semasa terjadinya pemberontakan DI/TII (Abidin, 1983:72; Lineton, 1975:180; Harvey, 1974:437). Pendatang Bugis di Tanjung Priok, Jakarta yang bermigrasi pada tahun 1950-70, menyatakan bahwa motivasi perpindahan mereka adalah untuk melarikan diri dari keadaan tidak aman dan sulitnya mencari nafkah ditempat asal mereka (Lineton, 1975:180). Jadi tampaknya kedatangan orang Bugis ke Kalbar sebelum abad ke 20 pada dasarnya didorong oleh keinginan mendapatkan kebebasan dan mendapatkan kembali siri’, sementara perpindahan berikutnya setelah itu lebih disebabkan oleh masalah ekonomi dan keamanan. Dari semua pulau tujuan migrasi orang Bugis, Kalimantan merupakan pilihan utama. Menurut sensus tahun 1930, penduduk Sulsel berjumlah 103.982 jiwa yang terdiri dari 95.048 Bugis, 3.088 Makasar, dan 5.846 Mandar (Abidin, 1973:71). Mengingat kedatangan orang Bugis ke Kalimantan dimulai pada abad ke 16, maka sulit sekali memperkirakan proporsinya dalam kependudukan Kalbar. Abidin (1983:70) memperkirakan setidaknya seperlima dari penduduk Kalbar terdiri dari orang-orang yang lahir di Sulsel, atau keturunan etnis yang berasal dari daerah ini. Walaupun angka persis jumlah perduduk Kalbar berdasarkan etnisitas tidak ada, Riwut (1979:49) menyatakan bahwa pada tahun 1968, sekitar 5% dari jumlah penduduknya adalah orang Bugis. Data tentang orang Bugis yang dikemukakan Harvey (1974:10) menunjukkan bahwa 50% dari penduduk kota Pontianak dan Balikpapan, Kaltim, adalah orang Bugis. Dalam sensus tahun 1920, ada sekitar 50.000 orang Bugis di wilayah tersebut, yang mana 47.000 orang masih berbahasa Bugis. Tingkat migrasi orang-orang Bugis menjadi jelas ketika jumlah penduduk di tempat asal mereka -- di Wajo, Sulsel -- dikaji. Daerah ini, yang merupakan tempat kebanyakan pendatang Bugis berasal, memiliki jumlah penduduk 349.996 jiwa pada tahun 1961, 322.225 pada sensus tahun 1971, dan 304.410 pada sensus tahun 1975 – penurunan terjadi sebesar 14% dalam waktu 14 tahun (Abidin, 1973:73). Tabel menunjukkan penurunan ini benar terjadi bukan hanya di Wajo, namun juga di provinsi Sulsel pada umumnya. TABLE I: Pertumbuhan Penduduk Sulewesi Selatan (1930 – 1973)
Sumber: Laporan Penelitian atas penyebab gelombang kepindahan penduduk Sulsel (dalam Lembaga Kependudukan, Universitas Hasanuddin,1975:21).
Perpidahan penduduk provinsi ini tetap terjadi walau adanya larangan bermigrasi oleh pemerintah provinsi, serta adanya perbaikan keadaan sosial ekonomi. Menurut Makaliwe (dalam Abidin, 1983:73), perpindahan terus terjadi dengan jumlah 5.000 orang per tahun. Tidak seperti trasmigran dari Jawa, migran Bugis datang ke Kalbar atas biaya sendiri dan tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah seperti para transmigran Jawa yang mendapat fasilitas transportasi, perumahan, peralatan serta bahan untuk pertanian, serta pendapatan yang dijamin setidaknya selama tahun pertama. Sebaliknya orang Bugis datang sendiri, dan hal ini tidak mengejutkan karena sejarah nenek moyang mereka sebagai pelaut. Alam (dalam Abidin, 1983:68) menghubungkan peta laut yang dibuat orang Bugis tentang laut Indonesia dengan Samudera Hindia (ke arah barat hingga mencapai pantai Afrika) yang dibuat pada tahun 1828, serta undang-undang pelayaran dan perdagangan disusun oleh Raja Matoa Kampung Wajo’ III pada tahun 1676. Jadi orang Bugis telah menunjukkan sejarah panjang akan kemampuan beradaptasi dan motivasi yang tinggi -- dua hal yang menunjang keberhasilan mereka di perantauan. Dari masa awal mereka bermigrasi ke Kalbar, mereka telah membuka hutan untuk pemukiman, menanam tanaman komersial untuk pasar lokal maupun ekspor, menyumbangkan keterampilan mereka dalam bidang pertanian dan kerajinan tangan, pendidikan, agama, serta bidang pemerintahan. Ada yang menikah dengan keluarga kerajaan, memiliki kedudukan yang tinggi, dan bahkan ada yang menjadi sultan di beberapa kesultanan seperti di Mempawah di Kabupaten Pontianak, Matan di Kabupaten ketapang (Alqadrie, 1985; Abidin, 1983:65), Riau dan Johor di Malaysia (Alqadrie, 2005). Karena mereka bekerja dan mengabdi pada sultan, beberapa orang Bugis sangat dipercaya oleh sultan dan diberikan tanah yang luas untuk mereka membangun pemukiman dan sistem pertanian. Walau memiliki orientasi yang kuat kepada laut, tanah menjadi sangat penting bagi orang Bugis karena salah satu cara memperoleh siri’ adalah dengan cara memiliki tanah –makin banyak tanah yang dimiliki, makin tinggi pula siri’. Pendatang selanjutnya, seperti orang Jawa dan Madura, tidak lagi semudah orang-orang Bugis dalam mendapatkan tanah untuk bercocok-tanam, karena banyaknya tanah yang dimiliki oleh orang-orang Bugis. 4. Siri’ dan Latar Belakang Budaya. Konsep paling penting dalam kebudayaan Bugis adalah siri’ yang menurut Abidin (1983:xiv) membentuk proses yang signifikan dalam budaya mereka. Makna asli siri’ dalam bahasa Indonesia adalah “malu”. Kuntjaraningrat, (1981:86) mengungkapkan bahwa siri’ menduduki posisi sentral dalam sistem nilai kelompok etnis Bugis dan juga meliputi implikasi keagamaan. Dalam Kamus Bahasa Makasar-Belanda Mattes (dalam Alqadrie, 1987:52), siri’ didefinikan dalam istilah dengan berbagai perasaan yang berlawanan: malu, segan, malu-malu, kebanggaan, atau aib. Perasaan berlawanan ini menghasilkan dua bentuk siri’ dalam masyarakat Bugis: siri’ ripakasiri, dimana seseorang secara langsung menghadapi ancaman terhadap harga diri dengan kekuatan fisik bahkan kekerasan ketika ia dipermalukan atau dihina didepan umum, dan siri’ maisiri, yang merujuk pada upaya seseorang dalam mendapatkan, meningkatkan, atau menjaga harga diri, kehormatan, martabat, prestise atau status sosial baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun kelompok social dengan tidak menggunakan kekuatan fisik maupun kekerasan. Andaya (1979:336) memberikan pengertian bahwa siri’ muncul jika seseorang merasa malu (atau dipermalukan = tambahan penulis) di depan umum, atau ketika wibawa atau harga dirinya terancam oleh kata-kata atau tindakan orang lain. Pengertian ini menunjukkan bahwa kalau orang itu menggunakan kekuatan fisik atau kekerasan untuk mengembalikan harga dirinya, maka yang bersangkutan akan melakukan siri’ ripakasiri’. Akan tetapi, ia akan mengembalikan harga dirinya yang terhempas dengan melaksanakan siri’ masiri’, yaitu meninggalkan kampung atau daerahnya, tanpa melakukan kekerasan atau kekuatan fisik. Satu-satunya penyelesaian yang bisa dilakukan terhadap orang yang melakukan penghinaan atau mempermalukan orang lain di depan umum atau dikenal dengan istilah tumanyala, adalah dengan membunuh orang yang menghina tersebut. Bagi orang Bugis, pihak yang dihina atau tumasirri memiliki kewajiban menegakkan kembali siri’nya atau siri’ keluarganya meskipun itu berarti membunuh pelakunya, dan pihak yang dihina tidak akan dihormati sebelum ia mengambil tindakan siri’. Di masa lalu situasi seperti ini biasa menimbulkan perkelahian berdarah dan pembunuhan karena orang berusaha mendapatkan kembali statusnya yang hilang. Hukum adat Bugis memperbolehkan pembunuhan dalam situasi siri’, namun praktek tersebut menjadi illegal di bawah hukum pidana Belanda pada masa penjajahan dan hukum Indonesia sejak kemerdekaan. Jika seseorang merasa secara pribadi atau secara sosial dihina dan ia gagal menegakkan haknya dalam siri’ dengan melukai atau membunuh pihak yang menghinanya, maka keluarga orang tersebut dianggap tau tena sirrinya (seseorang atau keluarga yang “tidak punya malu”), yang hanya akan menurunkan martabatnya. Pilihan tindakan yang diambil tergantung status sosial pihak yang terlibat; misalnya jika pihak pelaku memiliki status sosial ekonomi atau politik yang lebih tinggi, pihak yang tersinggung tidak bisa menegakkan kehormatannya dengan membunuh tetapi dengan cara meninggalkan desanya dan berusaha mendapatkan keberhasilan ditempat lain. Setelah berhasil, ia bisa pulang dan menunjukkan bahwa ia telah menegakkan kehormatan atau siri’nya dengan cara ini. Hal ini menunjukkan mengapa siri’ atau ancaman bagi siri’ yang dilakukan Belanda menjadi motivasi bagi migrasi orang Bugis. Selain ancaman dari luar terhadap siri’ – dipermalukan oleh orang lain, ancaman dari dalam yang disebut siri’ masiri terjadi karena perasaan rendah diri yang diakibatkan rendahnya pendidikan, status sosial yang rendah, kemiskinan, kegagalan, serta ketidakmampuan untuk melakukan peristiwa siri’ ripakasiri’ -- tindakan fisi atau kekerasan -- dan hal ini juga menjadi tekanan untuk melakukan migrasi. Sejak pembunuhan terhadap pelaku (tumanyala) dianggap melanggar hukum, upaya menegakkan siri’ cenderung menciptakan tipe kepribadian dominan diantara orang Bugis yang telah diungkapkan oleh beberapa peneliti (Harvey, 1974:33-34; Abidin, 1983:15-16; Sutherland, dalam Abidin, 1983:16) yaitu kepribadian keras kepala, sombong, dan sulit diatur. Ini mungkin menjadi salah satu factor keberhasilan bagi orang Bugis dalam merantau/bermigrasi, karena mereka terbiasa bersaing untuk menghindari ancaman terhadap siri’, dan keberhasilan secara materi merupakan cara utama yang dapat menegakkan kembali siri’nya. Seperti ikan dan air, orang Bugis dan siri’ tidak dapat dipisahkan. Pepatah Bugis berbunyi: siri; emmi re onroang ri lino (hanya karena siri’ kita hidup). Errington (1977:43) menegaskan bahwa bagi orang-orang Bugis tidak ada yang lebih penting dalam hidup mereka selain menegakkan atau menjaga siri’. Sesungguhnya orang Bugis bangga akan mate ri siri’ na (kesediaan mati demi siri’), dan kematian karena menegakkan siri’ sangat dihormati dan dipuji, serta digambarkan sebagai mate rigollai, mate risantangi (minuman lezat terbuat dari santan manis). Abidin (1983:4) menegaskan bahwa siri’ dan pertimbangan siri’ telah terserap dalam kehidupan masyarakat Bugis, dan bahwa orang-orang Bugis diharapkan mentaati nasehat orang-orang tua dan tidak menentang atau bersikap tidak sopan terhadap mereka. Ada sangsi kultural yang kuat terhadap tindakan mencuri, tidak mengindahkan perintah agama, dan kemalasan. Abidin (1983:xiii) juga mengutip pepatah Bugis: Asiri’i dewata seuai, asiri’i alemu, asiri’i padamu rupa tau, asiri’i bali wanuammu. Akka’i padamu rupa tau natan rereko. Kira-kira artinya kamu harus memuliakan Tuhan Yang Maha Kuasa, kamu harus menghormati harga dirimu, mempertahankan martabatmu, dan kamu harus menghormati dan memuliakan tetanggamu supaya mereka juga akan menghormatimu. Pepatah ini menunjukkan bahwa siri’ bukan hanya mengharuskan seseorang menegakkan siri’nya, tetapi juga menekankan pada orientasi orang Bugis untuk peduli terhadap siri’ orang lain. Hubungan dengan sesama menjadi sangat penting bagi orang Bugis, dan kesopanan serta menunjukkan rasa hormat sangat dihargai. Ini juga sesungguhnya berperan dalam membangun rasa solidaritas dan integrasi budaya orang Bugis. Aspek budaya Bugis ini memangku peran penting juga saat orang Bugis mulai bermigrasi ke pulau-pulau lain. Pendatang Bugis pandai bergaul di tempat baru, mereka tidak keberatan membantu orang lain yang sedang mengalami kesulitan, dan mereka juga saling mendukung dan saling tolong menolong sesama mereka dalam kesempitan. Sikap ini diungkapkan sebagai berikut (Abidin, 1983:5): Nare’ko sompe’ko, aja’ muancaji ana’ guru, ancaji punggawako. Jika kamu pergi ke suatu tempat sebagai pendatang, jangan menjadi pengikut saja, tapi bekerja keraslah untuk menjadi pemimpin. Semangat kerjasama dan kebulatan tekad ini merupakan tema yang sering muncul dalam kesusastraan Bugis. Raja Wajo’ sendiri, seorang pendatang, menurut Abidin (1983:9) pernah berkata bahwa re’sopa na tilinu’ na temmangingingngi’ naletet pammase. Dewata seuae. Maknanya kira-kira adalah kita akan berhasil dalam berbagai bidang jika kita berkerja keras dan rajin, dan tak pernah bosan dalam pekerjaan kita, selama kita tidak melanggar perintah Tuhan. Orang-orang Bugis telah lama dikenal sebagai pelaut yang menjelajahi laut antar pulau, Laut Cina Selatan, dan Samudera Hindia, dan mereka memiliki motto yang dilukiskan oleh Harvey (1974:iv) sebagai pura ba’bara’ sompe’ ku, pura tangkisi’ gulikku, ule’ birengngi telleng nataolie, yang kira-kira berarti aku akan berlayar mengikuti angin. aku tak akan berubah arah, dan aku tak akan berbalik –lebih baik aku tenggelam. Konsep budaya penting lainnya dalam masyarakat Bugis adalah pesse esse babua, yang bermakna duka cita, penyesalan, atau kepedihan, namun juga memiliki makna yang lebih lembut yang merujuk pada perasaan simpati atau empati yang dirasakan oleh seseorang yang melihat penderitaan orang lain (Abidin, 1983:10). Diandingkan siri’ yang merujuk pada perasaan seseorang terhadap diri atau keluarganya (berorientasi ke dalam), pesse lebih berkenaan dengan perasaan terhadap orang lain yang mengalami ancaman terhadap siri’(berorientasi ke luar). Dalam masyarakat Bugis, perasaan ini befungsi sebagai alat sosial yang menciptakan persatuan, kesetiakawanan sosial (social solidarity), dan perasaan setia dan senasib. Kedua konsep ini – sisir’ dan pese esse babua -- menyatu dengan konsep agama – panngaderreng -- yang menurut Gonggong (1983:769), membentuk prinsip utama dalam kehidupan pribadi dan sosial orang-orang Bugis. Menurut prinsip ini, tujuan hidup adalah memanfaatkan fitrah manusia untuk mencapai martabat manusia. Perpaduan antara adat dan norma memunculkan ade, atau nilai tradisional orang Bugis, dengan nilai-nilai yang berasal dari Islam. Mattulada (1975:68) mengungkapkan lima nilai panngaderreng yang menjadi panutan masyarakat Bugis, yaitu (1) sara’: hal-hal yang berhubungan dengan agama sangat penting; (2) bicara: janji tidak boleh dilanggar; (3) rapang: kesetiaan pada persahabatan; (4) wari’: ikut serta dengan orang lain; (5) adat: menegakkan ade, khususnya tradisi perkawinan. Nilai-nilai tersebut menunjukkan sampai dimana adat dipengaruhi oleh sara’[6], atau hukum Islam, karena 99% orang Bugis beragama Islam (Kuntjaraningrat, 1981:95). Perpaduan elemen diatas dalam masyarakat Bugis (yang berbeda dengan masyarakat Jawa dalam kebiasaan dan sikap beragama) menunjukkan betapa pentingnya kegiatan sosial di dalam kehidupan masyarakat Bugis sehari-hari. Hal ini terlihat dengan jelas dari sikap orang-orang Bugis terhadap were atau nasib yang berkaitan erat dengan taka’ dere[7] atau dalam Bahasa Indonesia, takdir. Sebagai Muslim yang taat, orang-orang Bugis percaya bahwa nasib manusia berada ditangan Tuhan. Andaya (1979:367) menyatakan bahwa takdir memiliki makna bahwa alam semesta diatur berdasarkan kehendak Tuhan. Orang Bugis selain percaya bahwa mereka dapat memperbaiki kehidupan dengan usaha mereka sendiri juga menyakini bahwa nasib mereka berada di tangan Tuhan. Namun mereka bukan orang yang falatistis (percaya bahwa nasib menentukan segalanya), karena nasib seseorang juga bergantung pada usaha seseorang untuk merubahnya, sebagaimana bunyi salah satu Ayat dalam Al-Qur’an yang maknanya kira-kira: Allah tidak akan mengubah nasib seseorang atau suatu kaum/golongan, jika mereka tersebut tidak mau mengubah nasib mereka sendiri. 5. Siri’ : Suatu Alternatif dalam Mengurangi Keterpurukan. Keterpurukan dan – kalaupun dapat dikatakan – kebangkrutan bangsa ini dapat dilihat dan dijelaskan dari berbagai perspektif. Oleh karena kita sebagian terbesar pembicaraan kita dalam makalah ini adalah siri’, bagian dari sistem nilai budaya, dalam masyarakat Bugis, perspektif yang digunakan, sebagaimana disebutkan pada awal tulisan ini, adalah berkaitan dengan perspektif budaya. Jadi, faktor akar masalah dan penyebab utama dari keterpurukan yang menimbulkan keprihatinan ini berasal dari nilai-nilai budaya, dan aternatif perbaikannya juga dapat diambil atau berasal dari nilai-nilai budaya itu. Berbicara tentang faktor nilai-nilai budaya sebagai salah satu unsur meterial dari perspektif budaya, kita teringat dengan teori atau perspektif modernisasi (Alvin So, 1990), karena para pengikut teori ini bersama dengan warisan pemikirannya seperti teori fungsional dan teori evolusi, sangat percaya akan peranan dominan faktor dalam (internal factors) dalam mempengaruhi secara berarti (significant influence) terhadap berhasil atau tidaknya pembangunan atau perubahan sosial suatu masyarakat atau bangsa. Kedudukan dan peranan Faktor Dalam di dalam teori modernisasi memiliki penekanan berbeda berdasarkan perkembangan teori itu sendiri. Para pengikut teori atau perspektif modernisasi lama (classical modernization theory) (..............................) masih percaya bahwa faktor dalam yang berpengaruh itu hanya meliputi nilai budaya itu sendiri yang terdiri antara lain dari adat istiadat, kebiasaan, hukum adat, tradisi, dan nilai-nilai dan peraturan atau norma lain yang berkaitan dengan nilai budaya. Sedangkan para pengikut terori modernisasi baru (neo modernization theory) (..................) lebih percaya bahwa Faktor Dalam tidak hanya meliputi nilai budaya tetapi juga berkaitan dengan sikap mental psikologis, perilaku dan moralitas. Kaitan kedua pandangan ini dengan sistem nilai budaya siri’ yang juga merupakan Faktor Dalam, yatu siri’ ripakasiri’ dan siri’ masiri’, menyangkut sekaligus unsur-unsur baik yang terdapat di dalam nilai budaya itu sendiri, sebagaimana dikembangkan oleh para penganut teori modernisasi lama, maupun yang berkaitan dengan selain nilai-nilai budaya, tetapi masih terkait dengan faktor dalam, seperti antara lain sikap mental psikologis, perilaku dan moralitas yang dimiliki atau ada di dalam diri manusia, sebagaimana dikemukakan oleh para penganut teori modernisasi baru. Kedua unsur penting di dalam Faktor Dalam ini menyatu sistem nilai budaya siri’. Sebagai unsur sistem nilai budaya, siri’ pada masyarakat Bugis dan apapun namanya semacam siri’ pada kelompok etnis lainnya yang ada dalam masyarakat Indonesia, telah menjadi dasar dan pedoman hidup masyarakat. Rasa malu, jati diri (self identity) harga diri, dan martabat atau marwah (dignity) merupakan hal yang sangat pokok bagi kehidupan para anggota masyarakat dimana nilai-nilai seperti itu hidup dan berakar. Meninggalkan atau melanggar nilai siri’ dan pesse esse babua atau nilai-nilai semacamnya dalam masyarakat Indonesia lainnya, bukan saja membuat para anggota masyarakat kehilangan jati diri, tetapi juga masyarakat yang bersangkutan akan menjadi tidak bermakna baik di dalam diri mereka sendiri maupun dipandang dari luar, mereka tidak lagi berwibawa dan tidak juga dihargai oleh masyarakat luar (seperti itu telah terjadi terhadap bangsa ini yang dilihat sebelah mata dan berani digertak oleh bangsa lain), karena mereka telah kehilangan harga diri dan tidak lagi bermartabat, dan rasa malu telah hilang dari mereka. Ini pada umumnya didasarkan pada fakta bahwa kelompok masyarakat atau bangsa seperti ini telah dianggap meninggalkan, tidak lagi memiliki dan mempraktekkan nilai-nilai luhur seperti yang pada nilai siri’. Rasa malu yang menghancurkan kewibawaan dan keseganan kelompok masyarakat atau bangsa lain lebih banyak ditimbulkan oleh tindakan, perilaku, sikap dan perangai individu-individu atau pribadi-pribadi dari suatu kelompok masyarakat atau warga dari suatu negara yang tidak memiliki lagi rasa malu, harga diri dan martabat. Kondisi keterpurukan yang menimbulkan keprihatinkan yang dialami bangsa Indonesia dimulai tiga dekade yang lalu hingga sekarang ini tampaknya lebih disebabkan oleh perilaku, tindakan dan sikap seperti itu yang berkaitan langsung dengan mentalitas dan moralitas dari pribadi-pribadi yang tidak terpuji dan tidak memiliki rasa malu. Thomas Hobbes (....................) pernah mengatakan manusia adalah srigala bagi manusia lain. Fenomena ini menjadi sangat jelas ketika .................
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abidin, 1973.
-----------------. 1982a.
-----------------. 1982b. -----------------. 1983 Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1987. Cultural Differences and Social Life. M.Sc. Thesis. College of Agriculture, Department of Agricultural, Rural and Forestry Sociology. Lexington, Kentucky: University of Kentucky. -----------------. 2005. Andaya. 1979. Errington, 1977 Gonggong, Anhar. 1983. Harvey. 1974. Koentjaraningrat, 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksarabaru. -----------------. 1986. Hambatan Mental Dalam Pembangunan. Jakarta: Aksarabar. Lembaga Kependudukan, Universitas Hasanuddin,1975. Laporan Penelitian Tentang penyebab gelombang kepindahan Penduduk Sulawesi Selatan. Ujung Pandang, Sulawesi Selatan: Lembaga Kependudukan, UNHAS.
Lineton, 1975. Lubis, Mohtar. 1980. Manusia Indonesia. Jakarta: P.T. Grasindo Utama.
Mattulada. 1975.
Moeliono, Anton, Sri Sukesi Adiwimarta, Adi Sunaryo, Hermanoe Maulana, Sri Timur Suratman. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Diterbitkan oleh Balai Pustaka atas nama Departemen Pendidikan dan Budaya. Pelras, 1973. So, Alvin. 1990. Social Change and Development. Suhamihardja, 1973. Taylor, Ralp (author), Lewis M. Adams dan Edward M. Teall (Editors). 1965. Webster’s World University Dictionary. Washintong: Publiser Company. [1] Makalah ini disampaikan kepada para peserta temu budaya yang diselenggarakan oleh Ikatan Kekeluargaan Sulawesi Selatan Kalimantan Barat (IKSS) Kalbar di Pontianak pada 26 Juli 2006.
[2] Alqadrie adalah Profesor Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura (UNTAN), Pontianak. Sejak Agustus 1995 s/d September 2001 ia menjabat Dekan pada fakultas tsb selama dua kali masa jabatan. Pengalaman kerjanya dimulai dari menjadi Guru SD Islamiyah Kampung Bangka (1966-1968), Guru SMEP Negeri (1968-1972), Guru SMEA Negeri Pontianak (1972-1974), Asisten Dosen Luar Biasa UNTAN (1969-1974) dan Dosen Tetap UNTAN (1975-sekarang). Sejak 2001 s/d sekarang menjadi Dosen Tamu (Visiting Professor) di Nordic Institute of Asian Studies (NIAS) di Copenhagen, Denmark. Pendidikan Sarjana Satu (S1) diperolehnya dalam Jurusan Ilmu Administrasi Negara (IAN) Kosentrasi Kebijakan Publik (Public Policy) di FISIP UNTAN (1974). Sarjana Dua (S2) [M.Sc] tahun 1987 dan Sarjana Tiga (S3) [Ph.D] tahun 1990 diperolehnya masing-masing dalam Jurusan Sosiologi Pertanian, Pedesaan dan Kehutanan (Agricultural, Rural and Forestry Sociology) dan Jurusan Sosiologi Politik dan Etnisitas (Political Sociology and Ethnicity) pada University of Kentucky, Lexington, AS. Tahun 1993 ia memperoleh Penghargaan David Penny Award dari Pemerintah Australia sebagai penulis terbaik tentang Kemiskinan. Tahun 1998 mengikuti Kursus Singkat Angkatan (KSA) VII LEMHANNAS (selama 4½ bulan) di Jakarta. Pada tahun 1999 dianugrahi Bintang Jasa Utama oleh Presiden R.I. Dalam tahun yang sama dianugrahi Bintang Kesetian Dalam Pengabdian 30 tahun dari Pemerintah Daerah Kalbar. Sejak Juli 2000 s/d Nopember 2004 diangkat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial UNTAN. Menjadi anggota Komisi Pengarah. (Steering Committee/SC) Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) sejak 2000 dan Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD) sejak 2003. Dari tahun 2000 s/d 31/5 2006 diangkat sebagai Koordinator Indonesian Conflict Study Network (ICSN) se Kalimantan, dan sejak 1 Juni 2006 sebagai Ketua ICSN se Indonesia yang berkantor Pusat di University of Helsinki, Filandia, dan Kantor Cabang Utama di NIAS, Copenhagen, Denmark.
[3] Lihat Alvin So (1990) untuk mengetahui secara lebih lengkap persamaan dan perbedaan antara ketiga teori/perspektif ini dalam bukunya berjudul: Social Change and Development. [4] Mankasara adalah bahasa sastra kuno yang tercatat dari abad ke 16, sebagian ditulis dalam naskah suku kata Bugis-Makasar yang disebut aksara lontara yang diambil dari versi tulisan Devanagari India Selatan. [5] Bahkan nama pulau Sulawesi diubah dan gubernurnya disebut Gouverneur van Celebes bukan Gouverneur van Makasse. [6] Sara’ berasal dari Bahasa Arab Syari’ah yaitu hukum atau peraturan hukum. [7] Taka’ dere, dari Bahas Arab Taqdir.
7. TATANAN BUDAYA DAERAH DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI[1]
Oleh : Syarif Ibrahim Alqadrie[2]
1. Pendahuluan. Proses globalisasi terus berjalan dengan segala konsekuensi positif dan negatifnya. Untuk menghilangkan atau mengurangi akibat negatifnya dan sekaligus memapankan dan meningkatkan akibat positifnya yang boleh jadi akan dihadapi masyarakat dan bangsa dimana globalisasi itu akan dan sedang bergulir, tananan budaya daerah perlu digali dan digunakan untuk menghadapinya. Itu mungkin maksud dan tujuan judul makalah yang diminta panitia dari saya untuk disajikan dalam Seminar/Dialog Kebudayaan sehubungan dengan kegiatan Festival Budaya Bumi Khatullistiwa (FBBK) kali ini. Tatanan, menurut Anton Moeliono, dkk. (1990:907) dapat dianggap sebagai aturan, tata tertib, sistem atau peraturan atau unsur yang telah mapan dan yang telah diterima secara umum (paling tidak dalam satu organisasi atau masyarakat) untuk mendasari dan menjadi petunjuk atau panduan mereka. Tatanan budaya berarti sistem, aturan, tata tertib atau unsur yang telah mapan yang ada dan terdapat di dalam kebudayaan suatu masyarakat dan dapat menjadi panduan dalam bertindak bagi para anggotanya. Tatanan budaya dapat juga diartikan sebagai sistem nilai budaya yang dapat berujud baik material maupun immateral seperti antara lain gagasan, ide, pemikiran, kebiasaan, adat, hukum adat, tradisi dan lain sebagainya yang menjadi dasar bertindak dan berperilaku bagi masyarakat dimana tatanan atau sistem nilai budaya itu diberlakukan. Globalisasi dapat difahami sebagai proses dan keadaan kesejagatan atau kondisi mengglobal yaitu suatu proses menyatunya dunia ini ke dalam satu sistem pada mana batas-batas negara secara fisik cenderung akan hilang sehingga persaingan antar warga negara dalam berbagai hal tidak lagi dibatasi oleh batas-batas negara secara kaku. Dalam dunia yang telah mengglobal -- dan ini sedang berproses menuju ke sana -- setiap warga negara dari sebuah negara bangsa yang nantinya akan menjadi warga dunia dalam dunia yang telah mengglobal, dibolehkan bekerja dan berusaha, tentu dengan persaingan secara lebih luas (global competation) di negara manapun yang ia inginkan dengan didukung dan dilindungi secara internasional oleh suatu badan dunia yang telah dan sedang dipersiapkan untuk itu baik oleh PBB maupun oleh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Konsekuensi dari persaingan mengglobal itu, para warga negara dari setiap negara atau bangsa harus mempersiapkan diri dalam menghadapi persaingan ketat itu. Suatu bangsa dengan warganya yang ”tidak siap” dalam menghadapi persaingan bebas di dalam globalisasi, bukan tidak boleh jadi akan lebih terpuruk, bahkan bangkrut – seperti apa yang pernah dan sedang terjadi serta dialami oleh masyarakat dalam satu negara yang dilanda dan diterjang oleh ideologi kapitalisme dengan dukungan sepenuhnya oleh liberalisme -- persaingan bebas -- baik pada permulaan dan proses berkembangnya kapitalisme di Eropah, sebagaimana diingatkan kembali oleh Ritzer dan Goodman (2003:7-15) maupun kondisi yang sedang dialami negara-negara Dunia Ke-tiga (ND3) atau negara-negara sedang berkembang (NSB) sekarang ini, kelompok kaya dan kuat dalam bidang sosial, ekonomi dan politik akan bertambah kuat, sebaliknya mereka yang miskin tetap dan akan bertambah miskin! Disamping dampak negatifnya, globalisasi mengandung juga dampak positif. Selain mendorong dan memungkinkan setiap orang, kelompok, masyarakat dan bangsa untuk mengantisipasi dan memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari dampak positif globalisasi dengan mempersiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing secara global ( able to globally compete), sehingga dengan globalisasi, individu, kelompok, masyarakat dan bangsa tersebut akan unggul dan disegani. Dampak negatif dari globalisasi sering tidak dapat dihindari khususnya oleh bangsa-bangsa NSB/ND3. Oleh karena hampir semua bangsa-bangsa dari kelompok negara ini pernah mengalami penjajahan selama 300 s/d 400 tahun, sepanjang era mana mereka berada dalam belenggu eksploitasi dalam segala bidang termasuk kehancuran harga diri atau marwah (dignity) menjadi semacam bangsa “kuli” dan “budak.” Kondisi kehancuran bangsa dalam segala bidang ini memerlukan waktu yang cukup lama, kerja keras, kesadaran konstruktif, tanggung jawab besar dan komitmen mendalam untuk dapat menyembukan dan membangunkannya kembali menjadi bangsa yang mampu bersaing dan “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan bangsa lain. Dilain fihak, bangsa-bangsa dari kelompok Negara-negara yang pernah menjadi penguasa bangsa lain selama kurun waktu itu telah memperoleh banyak kesempatan dan keuntungan material di atas kehancuran bangsa lain sehingga menjadi Negara industri maju (NIM) sekarang ini, mereka telah siap membangun SDM, teknologi, ekonomi dan kepercayaan diri untuk bersaing di tingkat global. Oleh karena itulah, bagi bangsa-bangsa yang disebut terakhir, globalisasi merupakan keharusan dan hanya menyangkut soal waktu, bahkan proses ini akan memberi sangat banyak keuntungan buat mereka. Akan tetapi bagi bangsa-bangsa yang disebut pertama, termasuk Indonesia yang sedang terpuruk dalam dan mendekati kebangkrutan sekarang ini, globalisasi dihadapi dengan kekhawatiran, was-was dan pesimistis, karena proses perjalanan bangsa tampaknya lebih banyak menciptakan tumpukan barang material bagi sejumlah kecil kelompok elit, kelompok dan kelompok kepentingan lainnya, ketimbang kesiapan dan peningkatan SDM manusia Indonesia secara umum dan daya saing bangsa. Sebagai proses evolusi dari kondisi dunia yang berjalan terus menuju bentuk masyarakat makmur dan sejahtera (high consumption society), sebagaimana perjalanan bentuk masyarakat yang dicetuskan oleh Maslow (dalam So, 1990:…. dan ………….), proses globalisasi – suka atau tidak suka, senang atau tidak senag dan siap atau tidak siap -- memang “tidak dapat” dihindari. Akan tetapi, dalam menghadapi globalisasi, bangsa-bangsa NSB terutama bangsa Indonesia hendaknya tetap: think globally, view nationally, and act locally. Karena dua petunjuk di atas, tatanan dan unsure-unsur nilai budaya perlu direvivalisasikan dan diimplimentasikan dalam menghadapi globaliasi.
2. Teori dan Perspektif Ilmu Sosial dalam Memahami Globalisasi. Untuk memahami perubahan sosial dan pembangunan, bahkan globalisasi, ada baiknya kita mengemukakan teori tentang ketiga fenomena tersebut yang secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan tatanan dan sistem nilai budaya yang mempengaruhi berhasil tidaknya perubahan sosial atau pembangunan dan globalisasi. Di sini hanya akan dikemukan tiga teori pembangunan dan perubahan sosial masa kini (contemporary development and social change theories) yang sangat terkenal yang bersinggungan langsung atau tidak langsung dengan nilai budaya (Alvin So, 1990), yaitu: (1) teori modernisasi (modernization theory); (2) teori ketergantungan (dependency theory); dan (3) teori sistem dunia (world system theory). Ketiga teori tentang pembangunan dan perubahan sosial ini dapat pula diaplikasikan terhadap globalisasi, karena mereka masing-masing berkaitan dengan tatanan atau nilai budaya yang berujud sebagai faktor dalam (internal factors) yang dapat mempengaruhi dan dalam menghadapi globalisasi. Bahkan, khususnya teori kedua dan ketiga di atas relatif lebih lengkap dibanding dengan teori yang disebut pertama, karena faktor luar (external factors) menjadi faktor utama yang mempengaruhi berhasil tidaknya pembangunan dan perubahan sosial, dan yang sekaligus mampu menghadapi globalisasi. 2.1 Teori atau Aliran Modernisasi (Modernization school and Theory). Teori atau aliran ini merupakan suatu produk sejarah dari tiga peristiwa penting pada era setelah Perang Dunia II, yaitu peningkatan Amerika Serikat (AS) sebagai sebuah negara adidaya (a superpower), penyebaran gerakan komunis dunia bersatu di bawah pimpinan Uni Sovyet (US) yang menyebarkan pengaruhnya di seluruh dunia, dan kemerdekaan Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin (AAA countries) dari kekuasaan Eropah Barat yang melahirkan banyak Negara bangsa baru disebut NSB atau ND3. Jadi lahirnya aliran modernisasi ini merupakan perwujudan dari persaingan ideology antara blok kapitalisme yang dipimpin oleh AS dengan non-kapitalisme, khususnya sosialisme yang dipelopori oleh US dan non-blok yang digerakkan oleh Indonesia, Yugoslowakia, Mesir dan India pada saat itu. Persaingan ini sekaligus berupaya menarik pengaruh agar sebanyak mungkin bangsa-bangsa dari NSB yang baru lepas dari penjajahan dapat ditarik ke dalam blok kapitalisme dengan melalui tidak hanya “bantuan luar negeri” yang pada hahekatnya berupa pinjaman-pinjaman dalam mangatasi kelangkaan modal untuk membiayai program pembangunan, tetapi juga menawarkan model pembangunan yang dikembangkan dari teori modernisasi agar Negara-negara ini tidak jatuh ke dalam blok komunis. Agar dapat memenangkan persaingan ini, AS dan sekutu Eropahnya selalu menunjukkan “keunggulan” ideology mereka kepada bangsa-bangsa NSB yang didukung pula oleh “keunggulan” nilai-nilai dan tatanan budaya Barat melalui teori modernisasi. Oleh karena itu, teori dan aliran ini menempatkan factor dalam, berupa nilai-nilai dan tatanan budaya, adat istiadat, tradisi, sikap mental dan psikologis sebagai satu-satunya faktor yang berperanan besar dalam membuat mereka berhasil, sebaliknya menyebabkan NSB kurang berhasil. Aliran ini dari permulaannya mengadopsi teori evolusi (Portes, 1980) yang sangat berpengaruh di Eropah, dan teori fungsional Talcot Parsons (Parsons, 1951; Parsons dan Shils, 1951) yang sangat dominan di AS. Teori ekonomi kapitalis, khususnya teori neo ekonomi klasik, juga ikut memperkuat dan diadopsi oleh aliran modernisasi. Jadi ketiga teori tersebut berpegaruh dalam membentuk dan memperkuat aliran modernisasi. Teori evolusi diadopsi oleh dan mendasari teori modernisasi karena teori ini mengikuti perkembangan sebagaiman dilihat oleh Comte (1964), sebagai berikut: pertama, perubahan sosial berjalan satu arah pada mana masyarakat manusia bergerak sepanjang satu arah yaitu dari masyarakat primitif ke satu negara berkembang, jadi nasib evolusi manusia ditentukan; kedua, teori ini menekankan suatu keputusan nilai pada proses evolusi dalam mana gerakan ke arah pencapaian tahap akhir adalah sesuatu yang sangat bagus, karena gerakan itu mengandung kemajuan, kemanusiaan, dan peradaban; ketiga, rata-rata perubahan social adalah lambat, perlahan-lahan, dan sedikit demi sedikit – secara evolusi, bukan revolusi. Aplikasi konkrit dari teori evolusi adalah bahwa pertumbuhan masyarakat, menurut Rostow (dalam Etzioni, 1964), melalui paling sedikit 5 (lima) lima tahap pertumbuhan, yaitu tahap masyarakat primitif, tahap masyarakat belum tinggal landas, tahap masyarakat persiapan tinggal landas, tahap masyarakat tinggal landas, dan tahap masyarakat konsumsi tinggi (masyarakat modern dan kompek). Ketiga ciri khusus teori evolusi dari Comte, dan tahap pertumbuhan masyarakat Rostow menekankan pentingnya tatanan atau nilai budaya suatu perubahan sosial, ”modernisasi” dan proses globalisasi. Lagi pula, perpindahan masyarakat dari tahap sebelumnya ke tahap berikutnya, menurut Alqadrie (2005), memerlukan ”adopsi” unsur nilai-nilai budaya yang ”mampu memacu” perubahan dan memerlukan kemauan untuk ”membuang” unsur-unsur nilai budaya dari dalam yang dianggap tidak mendukung perubahan sosial dan ”modernisasi” termasuk proses globalisasi. Perubahan tahap masyarakat kearah lebih ”maju” lebih dimungkinkan ketika masyarakat atau bangsa bersangkutan, yang kekurangan modal, meminta ”bantuan” berupa pinjaman luar negeri untuk ”memacu” perubahan status ke negara ”modern” melalui proses globalisasi. Apa yang terjadi pada bangsa-bangsa di NSB? Mereka mengalami paling dua hal: Kehilangan jati diri dan harga diri sebagai bangsa yang berkedaulatan, dan ketergantungan yang akut dan terus meningkat, mereka tidak bisa mengatakan tidak untuk hal yang perlu dikatakan begitu – ini telah ditunjukkan oleh banya NSB, termasuk bangsa ini. Teori fungsional juga diadopsi oleh dan mendasari teori modernisasi karena teori ini melihat masyarakat, bangsa secara nasional dan masyarakat atau bengsa-bangsa di dunia sebagai suatu sistem fungsional yang menekankan pada keteraturan, kestabilan, keharmonisan. Bagian-bagian dari suatu sistem fungsional, misalnya negara-negara bangsa merupakan sub-sub sistem yang selalu berkaitan, berhubungan, dan saling tergantung di dalam interaksi mereka satu dengan lain. Parsons (dalam So, 1990:20-23) merumuskan konsep sistem menunjuk pada koordinasi harmonis antara lembaga-lembaga dalam satu negara, atau antara bangsa-bangsa dalam satu sistem dunia yang fungsional. Berfungsinya sistem dunia secara normal pada mana setiap negara di dalamnya akan meningkat pada tahap yang lebih maju, bila negara-negara tersebut sebagai sub-sub sistem berjalan bersama dengan kordinasi penuh sebagaimana itu terjadi pada organisme biologis. ”Penyimpangan” yang terjadi pada satu sub sistem tertentu akan ”mengganggu” sub sistem lain yang pada akhirnya akan juga ”menghancurkan” sistem itu secara keseluruh. Kekuatan pengendali untuk mengatur koordinasi harmonis antar sub-sub sistem agar tidak terjadi penyimpangan dan perbenturan diatara sesama sub sistem sehingga sistem secara keseluruhan dapat berjalan normal adalah bahwa sistem dunia fungsional memerlukan nilai-nilai universal yang diakui secara umum yang ”mampu” menjadi pengikat, mengintegrasikan dan menggerakkan sub-sub sistem ke arah kemajuan sistem secara keseluruhan. Nilai-nilai universal yang diakui secara umum ini tidak lain adalah nilai-nilai kapitalisme yang berdasarkan penganut aliran modernisasi adalah pola-pola nilai-nilai Barat ”modern” yang, menurut hasil pengamatan Levy (1967), memiliki kecenderungan untuk sekali berkembang akan mempengaruhi masyarakat dunia sekitarnya dan nilai-nilai budaya mereka untuk berubah dalam arah yang sama seperti pernah dilalui oleh mereka. 2.2. Teori atau Aliran Ketergantungan (Dependency School and Theory). Teori ketergantungan, demikian Bodenheimer (1970), lebih merupakan tanggapan terhadap ketidakberhasilan program pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin (KEPBBAL) atau United Nation Economic Commission for Latin Amerika (UNECLA) awal 1960. Sebelum itu, beerbagai usaha telah dilakukan oleh Pemerintah AL untuk mempraktekkan strategi KEPBBAL melalui apa yang disebut Program Industrialisasi Impor (ISI) yang diharapkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan mendorong demokrasi, namun upaya tersebut gagal. Kegagalan ini menimbulkan kekecewaan para intelektual, dan mereka menjadi tidak lagi percaya tidak saja terhadap KEPBBAL tetapi terhadap teori modernisasi yang mereka anggap tidak lagi mampu memenuhi janjinya baik dalam menciptakan keberhasilan pembangunan ekonomi maupun dalam menjelaskan kemacetan ekonomi, represi politik dan semakin melebarnya kesenjangan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Secara umum, teori ketergantungan atau dependensi, berdasarkan pengamatan Santos (1973:50-80), membagi dunia menjadi dan mengembangkan suatu struktur teori dua kutub (a bipolar theoretical framework) yaitu negara pusat atau metropolis yang dominant (dominantly metropolis/central countries), dan negara-negara pinggiran atau tergantung (dependently satellite countries). Kutub atau kubu Negara sentral terdiri dari AS; Negara-negara Eropah Barat yang dikategorikan sebagai masyarakat inti yaitu Inggeris, Perancis, Jerman, Italia dan Belgia – mereka tergolong pula ke dalam NIM;; dan NIM lainnya Jepang, Canada dan Australia. Negara-negara lainnya di luar dari negara-negara kubu Sentral yang terletak di Asia, Afrika dan Amerika Latin (triple A countries) yang biasa disebut ND3 atau NSB termasuk kedalam kutub Negara-negara Satelit (lihat Alqadrie, 2005:9), bahkan termasuk juga Negara-negara Eropah Barat yang tergolong belum kaya seperti Portugal, Yunani dan Spanyol, serta Negara-negara Eropah Timur dan negara-negara bekas pecahan US. Sedangkan US dikategorikan Negara Satelit. Aliran ketergantungan terpisah menjadi dua aliran yang tidak saling kontradiktif, bahkan saling berkaitan, yaitu ketergantungan lama (classical dependency) yang dipelopori santara lain oleh Bloomstrom dan Hettne (1984), dan ketergantungan baru (new/neo dependency) yang dipelopori antara lain oleh Cordoso (1973). Kedua aliran ini, sebagaimana didiskusikan oleh Alvin So (1990:103-139) dan Alqadrie (2005:9-10), berasumsi antara lain bahwa: (1) keadaan ketergantungan tidak saja merupakan suatu gejala umum yang berlaku bagi seluruh ND3, ia juga merupakan suatu situasi kesejarahan unik dan khas (a special and unique historical situation) pada masing-masing ND3; (2) Permasalahan ketergantungan tidak hanya menyangkut masalah ekonomi, yaitu sebagai akibat dari penarikan surplus ekonomi dari ND3 oleh NIM, dan ND3 mengalami kemerosotan nilai tukar perdagangan, tetapi juga berkaitan dengan aspek social politik, seperti pertikaian antar kelompok, pergerakan politik, dan kesadaran akan kepentingan politik rakyat; (3) Situasi ketergantungan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses polarisasi regional dengan ekonomi global. Jadi keterbelakangan ND3 dan pembangunan di negara sentral merupakan dua aspek dari akumulasi modal di negara sentral melalui penarikan surplus ekonomi di NSB, dan aliansi kepentingan politik dan ekonomi antara fihak asing dengan kekuatan interen dominant; (4) Situasi ketergantungan dan pembangunan dapat dilihat sebagai dua hal yang berjalan bersamaan, artinya ND3 masih mungkin melaksanakan dan mencapai suatu situasi pembangunan yang tergantung pada NIM (associated-dependent development); (5) ketergantungan tidak hanya diakibatkan oleh faktor luar sebagai penghambat utama pembangunan di NSB, seperi factor warisan sejarah kolonial, pembagian kerja internasional yang timpang, struktur dan system dunia yang tidak adil dan eksploitatif, dan hubungan internasional lainnya yang hegemonis. Ketergantungan NSB pada NIM juga disebabkan oleh faktor dalam, seperti antara lain faktor tatanan atau nilai-nilai budaya, sikap mental dan psikologis, ditambah dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan semangat wiraswasta dan kurangnya modal. Kekhawatiran ND3 terhadap proses globalisasi yang akan menimbulkan ketergantungan mereka pada NIM adalah sangat beralasan, karena 5 (lima) asumsi tersebut bukan saja dapat ditemui pada NSB yang sedang mengalami situasi dan proses ketergantungan mereka. Proses globalisasi itu sendiri yang memungkinkan proses kesejagatan tercipta melalui interaksi yang hampir tidak berantara dan intens antara ND3 dengan NIM, tidak lain adalah suatu proses agar diterima secara hukum (legalized process) dan proses pengesyahan (legitimate process) terhadap hubungan tidak seimbang, pembagian kerja internasional yang timpang, struktur dan system dunia yang tidak adil dan eksploitatif, dan hubungan internasional lainnya yang hegemonis, yang di wariskan oleh sejarah kolonial -- itu adalah proses penjajahan babak kedua atau bentuk baru -- yang suka atau tidak suka menimbulkan ketergantungan baik dalam situasi benar-benar tergantung dan sangat-sangat terpuruk, seperti dialami oleh beberapa Negara di Afrika dengan sebagian besar warga mereka mengalami kelaparan akut, maupun dalam situasi berjalan bersamaan, pembangunan dan ketergantungan, seperti dialami Indonesia -- keterpurukan akut, kehilangan harga diri dan nyaris bangkrut. Mengapa demikian khawatirnya? Apakah bangsa-bangsa ND3, termasuk bangsa ini belum atau tidak siap menghadapi globalisasi? Jawabannya memang diantaranya ada pada teori ini, terutama pada asumsi 2 s/d 5 bahwa ketergantungan yang dikhawatirkan timbul dari proses globalisasi disebabkan tidak saja oleh factor luar yaitu warisan sejarah colonial, tetapi juga oleh factor dalam yaitu tatanan atau nilai-nilai budaya, sikap mental dan factor psikologis, disatu fihak, dan harga diri (dignity), dilain fihak. Keduanya saling berkaitan. Ini berarti bahwa factor dalam ini bisa “menahan” atau memperlambat gencarnya “arus” globalisasi, tetapi ia juga dapat digunakan untuk memanfaatkan segi positif globalisasi. 2.3. Teori atau Aliran Sistem Dunia (World System School and Theory). Teori atau perspektif sistem dunia adalah sebuah sintesis dari pertentanggan antara aliran modernisasi, yang dianalogikan sebagai tesis, dengan aliran dependensi, sebagai antitesis. Lahirnya teori ini, yang dibidani oleh Emmanuel Wallerstein (1979a) pada pertengahan 1970, pada hemat Alqadrie (2005:12) juga diakibatkan oleh fakta teoritis dan sejarah bahwa aliran dependensi tidak mampu mengurangi besarnya pengaruh teori modernisasi, khususnya di ND3 yang menjadi satelit NIM. Oleh karena itu, lahirnya pemikiran-pemikiran dan teori-teori baru yang kritis didasari oleh paradigma baru melalui perspektif ini tentang ketidakadilan NIM, menimbulkan kesadaran baru bahwa banyak peristiwa sejarah di dalam tata ekonomi kapitalis dunia yang lahir dari melahirkan proses globalisasi yang -- berdasarkan pengamatan mendalam dari Chirot (1976;1982), mulai pertama kali timbul di Kawasan Balkan dan Irlandia sejak pertengahan abad ke 15 -- tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh kedua teori dan perspektif pembangunan sebelumnya, modernisasi dan dependensi. Tidak persis sama dengan teori modernisasi yang mendikotomi masyarakat tradisional versus masyarakat moderen, berbeda pula dengan teori dependensi yang membagi dunia menjadi dua -- negara sentral dan negara satelit, teori system dunia, menurut hemat Wallerstein, (1979b), membagi dunia menjadi tiga kutub yaitu: (1) masyarakat inti (core societies), (2) masyarakat setengah pinggiran (semi peripheral societies), dan (1) masyarakat pinggiran (peripheral societies). Masyarakat inti berada di tengah-tengah dari lingkaran dunia dan terdiri dari dari AS, Inggeris, Perancis, Jerman, Italia, Belgia, Canada, dan Australia, dan mereka tergabung ke dalam NIM. Anehnya, Jepang tidak dikategorikan ke dalam masyarakat inti, tetapi bersama-sama dengan delapan negara tersebut, Jepang dan Rusia termasuk ke dalam Dunia Utara atau Dunia Pertama. Masyarakat setengah pinggiran yang menjadi satelit dan pengikut setia didukung atau dilindungi oleh masyarakat inti yakni terdiri Israel dan Kuwait untuk kawasan Asia Barat, Afrika Selatan pada kawasan Afrika (saat menjadi negara apartheid, tetapi negara ini sekarang lebih memilih disebut sebagai masyarakat pinggiran), Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, dan seluruh negara Eropah Barat diluar lima negara yang telah disebut di atas, kecuali Swiss, dan Selandia Baru. Semua bangsa-bangsa di kawasan Amerika Latin dan Amerika Selatan, berdasarkan pengetahuan Alqadrie (2005:21), tidak bersedia mengkategorikan negara mereka ke dalam masyarakat Setengah Pinggiran, tetapi mereka dengan bangga mengklasifikasikan Negara mereka sebagai masyarakat Pinggiran, termasuk semua negara-negara di seluruh Afrika, Asia, Eropah Timur, dan Asia Tengah bekas negara US. Secara ideologis, social, budaya dan ekonomis, mereka memiliki satu kesetiakawanan sosial (social solidarity) dan bergabung ke dalam negara non blok (non-alignment countries). Walaupun teori ini tidak dapat disamakan persis dengan sebuah sintesis dari dua hal yang dikotomis, karena ia bukan campuran murni antara teori modernisasi dengan teori dependensi, tetapi dalam memandang faktor yang menentukan berhasil atau tidak berhasilnya suatu bangsa dalam pembangunannya, para penganut teori sistem dunia mengambil dua faktor sekaligus -- faktor dalam yaitu nilai budaya dan faktor Luar yaitu non budaya atau faktor struktural seperti warisan sejarah kolonial, proses hubungan luar negeri dan politik internasional yang tidak seimbang dan eksploitatif -- menjadi faktor penentu bagi teori ini dalam melihat keberhasilan dan keterpurukan suatu bangsa. Dengan kata lain, berdasarkan perspektif sistem dunia, kemajuan atau keterbelakangan suatu bangsa memang dipengaruhi oleh faktor non budaya, tetapi faktor nilai budaya juga ikut berperanan dalam mendorong mobilitas naik atau turun bagi negara-negara di dunia dalam persaingan global di dalam sistem Dunia. Oleh karena itu, faktor tatanan dan nilai budaya dapat dan seharusnya juga menjadi pertimbangan utama dalam menjelaskan, membuka “simpul-simpul” dan memberi makna terhadap proses globalisasi, karena melalui proses ini, menurut pengamatan saya, sudah menjadi obsesi dari gerakan kapitalis internasional membuat dunia ini menjadi satu masyarakat dunia di bawah payung kapitalisme internasional dengan iming-iming kemakmuran dan “kesejahteraan” material yang disebut oleh Parsons dan Moore (dalam Harisson, 1988:34-37) dengan masyarakat konsumsi tinggi (high consumption society) yang “dibimbing,” didasari dan dikembangkan oleh dominasi budaya sekuler (secular culture). Tidak berbeda dengan teori Maslow (1964) mengenai tahap pertumbuhan masyarakat Maslow dari tahap yang paling sederhana ke tahap masyarakat konsumsi tinggi, globalisasi, menurut perspektif system dunia, dapat dianggap secara analogis semacam proses yang dapat membawa dan mengantarkan masyarakat ND3 untuk pindah dan masuk secara meningkat dengan pasti dari “tahap” masyarakat pinggiran ke “tahap” masyarakat setengah pinggiran, bahkan mungkin dapat meningkat lagi ke “tahap” masyarakat inti, sepanjang NSB dapat dan mampu merevitalisasi, merevivalisasi dan mereutilisasi tatanan dan unsur-unsur nilai budaya sendiri yang positif -- yang mampu menggerakkan masyarakat -- serta sebaliknya mampu melihat dan memanfaatkan nilai-nilai kapitalisme yang sesuai dengan tatanan budaya dan sendi-sendi kehidupan bangsa secara ketimuran dan agamais. Pada penghujung alinia ini, perbedaan prinsip mulai timbul antara analisis evolusioner baik dari perspektif evolusioner klasik Comte (1964) maupun perspektif baru Rostow (1964) dengan analisis perspektif system dunia. Pada perspektif pertama, tatanan dan unsur nilai budaya dari masyarakat ND3 baik nasional maupun lokal atau daerah, merupakan penghambat perubahan social dan pembangunan, sebaliknya tatanan dan nilai budaya Barat yang diselimuti oleh kapitalisme merupakan pendorong ke arah dan sumber perubahan sosial dan kemajuan. Oleh karena itu, ada kesan kuat bahwa proses modernisasi tidak lain adalah proses westernisasi, dan globalisasi dengan didukung sepenuhnya oleh teori modernisasi dan paradigma instrumental knowledge – yang, dilihat oleh Mansour Fakih (2001:31-33) tidak menciptakan kesadaran kritis -- adalah proses menginternasionalisasikan atau mengglobalisasikan westernisasi. Akan tetapi, pada perspektif kedua, tatanan dan nilai budaya baik dari masyarakat ND3, termasuk Indonesia, lebih khusus lagi Kalbar, maupun dari Barat, merupakan factor mempengaruhi perubahan sosial pembangunan pada masyarakat ND3. Persoalannya adalah dapat dan mampukan masyarakat ND3, termasuk Indonesia, khusus lagi Kalbar menyeleksi dan memanfaatkan tatanan dan nilai budaya positif yang mendorong perubahan sosial dan kemajuan dari manapun datangnya.
Daripada menggunakan istilah mengantisipasi, penulis lebih tertarik dan suka menggunakan istilah menghadapi globalisasi. Mengantisipasi berasal dari kata antisipasi (anticipation) berarti mengharap-harapkan kedatangan, mendahului, memenuhi atau mengetahui lebih dulu, sudah menyangka, menunggu dan menanti (Echols dan Shadily, 1975:31). Oleh karena itu, mengantisipasi globalisasi dapat diartikan mengharap-harapkan kedatangannya, sudah ditunggu-tunggu, karena kita sudah mengetahui atau menyangka lebih dulu apa itu globalisasi, dan ia mengandung harapan dan segi positif, karenanya siap dituggu kedatangannya. Padahal apa yang tersirat dari yang diharapkan pada makalah ini tidak demikian. Menghadapi ternyata lebih pas, karena siap tidak siap, suka tidak suka ia akan disongsong untuk ditemui dan dihadapi. Istilah ini juga sesuai dengan analisis pada perspektif sistem dunia sebagaimana dikemukakan sebelumnya pada mana tatanan dan nilai budaya daerah merupakan factor yang mempengaruhi baik mendorong dan dapat memanfaatkan atau menambah manfaat maupun menghambat, mencegah atau mengurangi berlakunya proses globalisasi. Ini berarti bahwa menghadapi globalisasi cenderung mengandung 2 (dua) konsekuensi yang akan dihadapi: positif dan negatif. Pada konsekuensi positif, tatanan dan nilai budaya diharapkan dapat mendorong berjalannya proses globalisasi dan dapat pula memanfaatkan atau menambah manfaat globalisasi. Sebaliknya pada konsekuensi negatif, tatanan dan nilai budaya diharapkan pula dapat menghambat dan mencegah berlakunya proses globalisasi atau mengurangi segi negatif dari globalisasi. Pertanyaan penting dalam menghadapi globalisasi adalah tatanan dan/atau unsur nilai budaya daerah apa dan bagaimanakah yang dapat mempengaruhi, dalam arti mendorong atau memanfaatkan, dan menghambat atau mengurangi segi negatif globalisasi? Tatanan dan/atau unsur nilai budaya daerah yang dapat mempengaruhi, dalam arti mendorong atau memanfaatkan, dan menghambat atau mengurangi segi negatif globalisasi pertama-tama sekali adalah nilai budaya malu. Nilai budaya malu ini dapat ditemui hampir di semua daerah di negeri ini, tidak terkecuali di Kalbar. Percampuran antara sistem nilai budaya pendatang, terutama para perantau Bugis, dengan nilai budaya siri’, terutama siri’ masiri, dan Madura, dengan nilai budaya tanretan, dengan nilai budaya penduduk setempat seperti Melayu, seperti prisip marwah (dignity), dan Dayak, dengan prinsip menerima dan menghargai tamu dari manapun datangnya, menghasilkan tatanan dan nilai budaya daerah Kalbar yang welcome terhadap pendatang, sesuatu yang baru, termasuk ide baru dan globalisasi. Nilai budaya malu ini berkaitan dengan orientasi menegak-kan harga diri, tidak mau berbuat tidak baik seperti mempermalukan orang lain dan diri sendiri yang pada gilirannya mempermalukan kelompok, masyarakat dan bangsa. Di lain fihak, ia juga tidak mau dipermalukan oleh orang lain atau diri sendiri. Berkaitan dengan terakhir ini, penganut budaya malu ini akan berusaha sama dengan atau lebih tinggi daripada orang lain dari berbagai segi, seperti tingkat dan kualitas dalam pendidikan, pengalaman, wawasan, kesehatan, pemilikan materi atau ekonomi, dan sebagainya. Dengan demikian, dengan nilai budaya, seseorang tidak saja dapat mencegah segi negatif dari globalisasi, tetapi juga dapat meningkat manfaat globalisasi pada diri dan masyarakatnya. Tatanan atau nilai budaya yang siap dalam menghadapi globalisasi adalah nilai kearifan lokal (local wisdom values). Nilai ini berkaitan langsung baik pada keahlian dan pengetahuan tentang manfaat segala sesuatu flora dan fauna di sekitarnya, maupun pada sikap, perasaan dan perilaku atau tindakan yang menghargai, mencintai alam dan hidup menyesuaikan diri dengan alam, tanpa merusaknya. Orientasi utama mereka yang memiliki nilai kearifan lokal ini adalah mencintai alam dengan segala kehidupan di atas dan di dalamnya, dan mencegah kerusakan lingkungan. Para anggota komunitas Dayak dan Melayu di dalam dan di sekitar hutan pada kawasan pedalam Kalbar menganggap hutan adalah ”dunia” kita dan ”pasar swalayan” (self service and upermarket) yang dimanfaatkan untuk memenuhi keperluan sehari-hari dengan tidak menghancurkannya. Dengan nilai budaya seperti ini, segi negatif dari proses globalisasi yang menerjang masyarakat NSB, khususnya Indonesia, lebih khusus lagi Kalbar, dalam bidang ekonomi dengan menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi melalui eksploitasi hutan secara besar-besaran dapat dikurangi. Sebaliknya nilai kearifan lokal itu ternyata mampu menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kerusakan lingkungan di daerah ini bukan disebabkan oleh tatanan dan nilai-nilai budaya budaya setempat, tetapi lebih oleh nilai-nilai budaya dari luar yang berkaitan dengan sistem nasional dan internasional yang mengandung ketidakadilan dan keserakahan. Dengan demikian, nilai kearifan lokal juga dapat berfungsi sebagai penyaring (filter) bagi proses globalisasi. Disiplin dan kerja keras adalah salah satu tatanan dan nilai budaya yang sangat diperlukan dalam menghadapi proses globalisasi. Unsur nilai budaya seperti ini pada umumnya secara langsung dan tidak langsung telah dikenalkan dan disosialisasikan sejak kecil oleh para orang tua kepada anak-anak mereka melalui kebiasaan keluarga baik di lapangan kerja, khususnya di sektor pertanian (sekitar 80% penduduk Kalbar tinggal di kawasan pedesaan, dan 90% dari jumlah penduduk di situ, bekerja di sektor pertanian) maupun di sektor kaeagamaan dan ibadah (sekitar 65% penganut agama Islam beribadah secara individu dengan teratur paling sedikit 5 (lima) kali sehari dan sekali dalam semingga beribadah jamaah) untuk penganut agama Islam, dan dengan cara mereka masing-masing untuk penganut agama non-Islam. Kebiasaan sejak kecil ini yang diharapkan berlanjut hingga dewasa dan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai disiplin dan kerja keras, cenderung akan mampu memperlancar masuk dan berjalannya proses globalisasi dan dapat pula memanfaatkan atau menambah manfaat globalisasi. Berbicara tentang tatanan budaya, dikenal pula salah satu orientasi nilai yaitu orientasi hubungan antara manusia dengan manusia lain (Kluckhohn dan Strodtbeck, 1961:12). Dalam hubungan ini, Masyarakat Timur, termasuk masyarakat Kalbar, mengenal secara lebih dekat orientasi nilai budaya yang berkaitan dengan variasi orientasi hubungan antar manusia. Orientasi hubungan jenis ini pada dasarnya berkaitan dengan hubungan kekeluargaan dan kebersamaan, bukan penekanan pada hubungan yang individualistis. Tatanan budaya daerah dalam kaitan dengan hubungan antar manusia tidak mengenal prinsip hubungan individualistis. Hubungan itu masih menekankan kebersamaan, dan kepentingan bersama masih lebih menjadi acuan. Oleh karena itu, masyarakat di ND3, khususnya Kalbar, akan mempertanyakan apakah proses globalisasi tidak akan menggangu orientasi hubungan yang telah mapan yaitu mementingkan kekeluargaan dan kebersamaan, bukan individualisme sebagaimana yang menjadi penekanan pada globalisasi yaitu prisip persaingan bebas. Dengan demikian, tatanan budaya seperti ini tidak saja akan menjadi penyaring bagi, tetapi juga akan mempersulit proses globalisasi, paling tidak globalisasi akan menyesuaikan dengan tatanan budaya ini. Variasi lain dari orientasi nilai sebagai unsur lain dari tatanan budaya menurut konsep Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) adalah orientasi manusia terhadap waktu. Masyarakat Kalbar pada umumnya dalam melihat hubungan manusia dengan waktu, berdasarkan hasil penelitian Alqadrie (1987:11-16), masih berorientasi pada masa sekarang/masa kini (present time orientation), tidak lagi pada masa lalu (past time orientation), tetapi belum umum berorientasi ke masa depan (future time orientation). Kalaupun, ada sebagian anggota masyarakat telah berorientasi pada masa depan, pandangan mereka ke depan itupun belum melangkaui 5 (lima) tahun. Sebagian anggota masyarakat masih berkutat dengan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal seperti ini ditambah lagi dengan pemanfaatan penggunaan waktu yang belum effektif dan ketepatan dalam penggunaan waktu. Dalam kondisi orientasi nilai berkenaan waktu seperti ini, bukan saja proses globalisasi akan mengalami hambatan tetapi juga globalisasi akan tidak termanfaatkan. Kontrol sosial berupa kepedulian dan keingintahuan terhadap tetangga dan orang lain di sekitarnya merupakan salah satu tatanan dan nilai budaya penting dalam masyarakat Timur, terutama di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, lebih khusus lagi di Kalbar. Di daerah ini kepedulian dan keingintahuan terhadap orang lain dan sesuatu sering berkaitan atau dikaitkan dengan keramahmatamaan, tetapi, sikap ”peduli” dan ”ingin tahu” seperti itu kadangkala mengarah pada dan dianggap sebagai tindakan ”keterlaluan” atau tindakan ”mencampuri urusan” orang lain. Pada individu dan kelompok yang yang lebih menekankan pada variasi hubungan antar manusia yang berorientasi pada sikap individualistis, mereka menganggap bahwa sikap dan perilaku seperti itu tidak memberi ruang pada privacy mereka yang lebih luas dan juga tidak menghargainya. Anggapan seperti ini cenderung berkembang menjadi suatu mekanisme kontrol masyarakat (social control) terhadap situasi dan kondisi sekitarnya, atau sikap dan perilaku semacam itu dapat dijadikan kontrol sosial. Konsekuensinya, pada masyarakat yang memiki tatanan budaya seperti itu, dalam hal ini masyarakat Barat, dalam mana nilai individualisme yang berkembang bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme, sering ada dan keluar kata-kata: ”Ini/itu urusan saya, bukan urusan anda ”(it is my business, not yours) untuk menunjukkan ketidaksetujuan dan kritik terhadap sikap dan perilaku tersebut. Dalam kaitan dengan proses globalisasi, tatanan dan nilai budaya yang diwujudkan ke dalam sikap dan perilaku ”peduli” dan ”ingin tahu” serta ”keterlaluan” dan ”mencampuri” urusan orang lain, di satu fihak, dapat digunakan sebagai kontrol sosial terhadap dampak negatif globalisasi yang menekankan pada individualme, egoisme dan kebebasan yang hanya untuk kebebasan, sehingga merusak tatanan dan nilai budaya daerah yang sudah ada. Namun, di lain fihak, mestinya ada hubungan timbal balik dan pengaruh mempengaruhi antara tatanan budaya daerah yang asing (alien) bagi nilai budaya luar di dalam arus globalisasi dengan proses globalisasi itu sendiri yang di dalamnya ada misi ”membudayakan” tatanan budaya daerah. Dengan demikian, kemungkinan dampak positif dari globalisasi itu diharapkan dapat pula mengurangi ”keinginantahuan dan ”campur tangan” yang berlebihan dari unsur tatanan budaya ini, sehingga menjadi kepedulian, partisipai dan tanggung sosial yang konstruktif (constructive social careness, participation and responsibility) yang mampu mendongkrak bangsa ini, khususnya masyarakat daerah ini dari keterpurukan mereka. Masyarakat Indonesia, khususnya Kalbar, adalah masyarakat majemuk (plural). Kemajemukan (pluralisme) ini meliputi keanekaragaman yang berbeda-beda atas suku bangsa (eethnicity/ethnic culture), agama, jenis ras dan kelamin, asal usul keturunan, unsur primordial lainnya, pemikiran, ide, wacana, pendapat dan jenis/macam kelompok, seperti antara lain kelompok kepentingan dan kelompok penekan, dan sebagainya. Secara implisit, bahwa kemajemukan ini, sebagaimana disinyalir oleh Alqadrie (2005a:9-10) adalah sesuatu yang dapat dilihat dan diterima secara kasat mata, sesuatu yang menjadi realitas fisik (physical reality), merupakan unsur lain tatanan sosial yang masih potensial dalam bentuk fisik, artinya ia diterima sebagai suatu yang ada (entity), karena itu ia mendasari konsep multuralisme. Akan tetapi, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan multikulturalisme (Suparlan, 2002). Multikulturalisme, menurut Lawrence Blum ( di dalam May, dkk., 2001), merupakan ‘sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan, keingintahuan tentang budaya etnis orang lain’ dan ini juga mencakup upaya ‘mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri.’ Pengertian tersebut di atas mengandung toleransi untuk menerima dan menghargai pendapat, ide, pemikiran dan karya orang atau fihak lain, kendatipun berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat dan menghargai perbedaan itu, sebagaimana disinyalir oleh John Stuart Mill (di dalam Ahimsa-Putera, 2002), terletak kesempatan untuk (menemukan = tambahan dari penulis) dan memperlakukan semua sisi kebenaran secara merata. Unsur apa yang disebut dengan multikulturalisme -- menampilkan toleransi dalam menerima dan menghargai perbedaan pendapat, berdasarkan pengamatan Koentjaraningrat (1961:354-370; dalam Sayogyo,1980: 34-43) masih sering dapat ditemui dan teripelihara di dalam musyawarah antar tokoh dan tetua adat, rapat kampung dan rembug desa. Ini ternyata merupakan unsur penting lain dari tatanan budaya yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Akan tetapi, tampaknya sikap seperti ini jarang lagi tampak dalam hampir setiap rapat dan pertemuan resmi lainnya, kenyataan yang muncul adalah kecenderungan mau menang sendiri, tidak menghargai pendapat, ide dan karya orang lain maupun perbedaan berkaitan dengan unsur budaya dan agama. Dengan demikian, berkaitan dengan bergulirnya proses globalisasi,, tatanan dan nilai budaya yang memunculkan sikap toleran dan perilaku menerima perbedaan yang pernah ada sebelumnya, hendaknya perlu dihidupkan dan ditampilkan kembali dalam rangka menghadapinya. Kalau masyarakat daerah ini mengalami kesulitan menghidupkan dan menampilkan kembali sikap dan perilaku tersebut, diharapkan globalisasi mampu melakukannya. Masyarakat Kalbar hendaknya dapat menerima dan menghargai perbedaan, kalau tidak, nilai-nilai positif yang terdapat di dalam globalisasi itu tidak dapat dimanfaatkan. Multikulturalisme, berdasarkan pengamatan Fay (1996), Watson (2000) dan Suparlan (2001b), sebagai sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual, kelompok maupun secara budaya, bukanlah barang baru di negara ini. Ia telah menjadi sumber inspirasi bagi pendiri bangsa (founding fathers) ini dalam merumuskan kebudayaan bangsa di dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah. Akan tetapi, sekarang ini istilah multikulturalisme dianggap sesuatu yang ”baru” dan ”asing.” Oleh karena akar kata multikulturalisme, menurut Suparlan (2002), adalah kebudayaan, ia bersinggungan langsung dengan aliran, idelogi, konsep, asas dan isu dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti bidang social, budaya, ekonomi dan politik yang menyentuh langsung atau tidak langsung dengan demokrasi, otonomi daerah (Otda), keadilan, hukum, system nilai budaya dan tradisi, etika, norma-norma. Bahkan, Multikulturalisme bersinggungan secara langsung tidak langsung dengan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa atau kelompok etnis, kesukubangsaan (ethnicity), keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komunitas, dan konsep-konsep lainnya yang releven (Fay, 1996; Rex, 1998; Suparlan, 2001a). Jadi, multikulturalisme sudah menjadi tatanan dan nilai budaya yang sebenarnya dapat berhubungan langsung dengan globalisasi. Karena itu, keduanya -- unsur nilai budaya ini dan globalisasi -- dapat berjalan bersama-sama dan isi mengisi. Globalisasi dapat dapat menyegarkan kembali toleransi yang telah ada pada tatanan budaya ini, sedangkan nilai budaya yang mengakui dan menerima perbedaan dalam kesederajadan ini dapat pula menyaring, membersihkan dan melengkapi nilai globalisasi, agar kesejagatan dan kemanusiaan yang menjadi misi globalisasi tidak bertentang dan menjadi asing di negeri dan daerah ini. Penduduk dunia, menurut Diamond & Mc Donald (dalam Suparlan, 2001a), berada di antara dua gerakan yang saling bertentangan: Pertama, gerakan yang mengarah kepada unity (keseragaman) di mana batasan negara menjadi semakin kabur dan dunia seolah-olah diproyeksikan menjadi “global village”. Gerakan kedua yang mengarah justru pada diversity (keberagaman). Gerakan pertama mengarah pada proses globalisasi yang sedang dialami dunia, dan yang dilihat oleh Mansour Fakih (2001:208-213), diingini oleh negara NIM terhadap NSB. Negara-negara Eropah dengan persatuan Eropah (European Union) merupakan contoh dari paradigma pertama ini. Gerakan kedua dapat dilihat pada negara-negara bagian atau propinsi di beberapa negara antara lain baik di Utara (NIM) seperti Quebec(ouis) di Canada, Basque di Spanyol dan di Prancis, Flemming di Denmark, dan Checnya di Rusia, maupun di Selatan (NSB) seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia, Phillipina Selatan di Phillipina, dan Kurdi di Turki dan di Irak, dan Thailand Selatan yang ingin melepaskan diri dari masing-masing negara Induk mereka. Di Kalbar sendiri, menurut Alqadrie (2005c:14), bentuk negara federalisme, sebagai perwujudan dari paradigma kedua ini, memang pernah menjadi wacana pemikiran politik yang diperjuangkannya oleh Hamid Al-Qadrie. Akan tetapi, pemikiran politik yang sebelumnya dianggapnya paling baik bagi daerah ini, ternyata kurang tepat dikaitkan dengan waktu, dan masih ada alternatif utama yaitu otonomi daerah yang luas atau otonomi khusus yang dikenal sebagai Daerah Istimewa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan. Wacana pemikiran seperti ini bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih mengandung keadilan dan lebih mampu memakmurkan rakyatnya melalui pemerintahan daerah sendiri yang otonom nyata, kuat dan sepenuhnya, bukan ”kepala dilepas ekor dipegang.” Sekarang ide besarnya itu baru dapat difahami rakyat Kalbar bahwa keterpurukan, kesenjangan, ketertinggalan daerah luar Jawa dari Pusat dan dari Jawa, dan kekecewaan daerah, seperti Aceh, Papua, Riau dan sebagainya, antara lain disebabkan justru bangsa ini terlalu takut dengan sistem pemerintahan yang lebih mampu menjejahterakan dan memanusiakan rakyatnya, sebaliknya menekan keserakahan dan ketidakadilan. Padahal keinginan untuk membebaskan diri, berdasarkan hasil pengamatan Anthony Smith (1979;1981) dan Michel Hecter (1975), bukan timbul dengan sendirinya -- karena hobby dan refleksi dari tatanan dan nilai budaya yang patrimonial dari suatu kelompok etnis -- tetapi lebih karena ketidakadilan, keserakahan dan dominasi internal. Oleh karena itu, timbulnya paradigma atau gerakan kedua di Kalbar -- membebasakan diri dari pemerintah pusat dan membentuk federalisme -- tidak perlu dikhawatirkan dan tidak akan terjadi, sepanjang pemerintah pusat meningkatkat kepedulian dan keadilan terhadap daerah-daerah. Dalam kaitannya dengan proses globalisasi, sejarah yang pernah menyudutkan daerah ini sebagai akibat dari berkembangnya wacana federalisme dan daerah istimewa, akan dinetralisir oleh semangat globalisasi yang justru ingin mempersatukan tidak saja dunia – negara-negara bangsa – menjadi satu dunia global, tetapi juga daerah-daerah yang tergabung di dalam satu negara bangsa. Kekuatan suatu negara bangsa akan memperkuat dunia ini secara global. Sebaliknya, globalisasi -- yang ingin mempersatukan dunia ini ke dalam satu tatanan budaya kapitalisme --akan diingatkan oleh sejarah Kalbar dengan gagasan dan ide daerah istimewa bahwa bagaimanapun gencarnya proses pensejagatan itu akan sulit berhasil sepanjang tidak memperhatikan harkat, martabat, HAM, dan kesejahteraan masyarakat daerah ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Ahimsa-Putera, 2002 Alqadrie, Syarif Ibrahim. 1987. Cultural Differences and Social Life Among Ethnic Group, The Buginese, Dayaknese and Madurese, in West Kalimantan, Indonesia. M.Sc. Thesis in Agricultural and Rural Sociology, Department Of Agricultural and Rural Sociology. Lexington, Kentucky: University Kentucky Press.
------------. 2005a. Sosialisasi pluralisme dan multikuturalisme melalui pendidikan. Makalah disajikan kepada para peserta sarasehan (warkshop) tingkat nasional tentang Sosialisasi Pendidikan Multikultural di Indonesia Timur diselenggarakan oleh Asdep Urusan Pemikiran Kolektif Bangsa, Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata R.I. bekerjasama dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Kalimantan Barat, di Hotel Santika, Pontianak, 15-16 Juli 2005.
----------------. 2005b. Politik Keamanan Internasional dan Dampaknya Terhadap Pertahanan dan Keamanan Negara-Negara Dunia Ketiga: Tinjauan Teoritis dan Realitas. Makalah ini disajikan kepada para peserta Latihan Kader (Advance Training) III Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi (BADKO) HMI Kalimantan Barat (Kalbar) Pengurus Daerah HMI Kalbar di Pontianak pada tanggal 14 – 22 Juli 2005.
------------- 2005c. ”Pola Tingkah Kaku Politik Lokal pada Kesultanan Pontianak Hingga 1950.” Halaman 14. Dalam Pontianak Post, 23 September 2005.
Blomstrom, Magnus dan Bjorn Hettne. 1984. Development Theory in Transition, the Dependency Debate and Beyond: The Third World Responses. London: Zed Book Limited.
Chirot, Daniel. 1976. Social Change in a Peripheral Society: The Creation of Balkan Colony. New York: Academic Press.
----------------- dan T.D. Hall. 1982. “World System Theory,” dalam Annual Review of Sociology 8 (81-106).
Comte, A. 1964. “The Progress of Civilization Through Three States.” Hal. 14-19 dalam Amitai Etzioni dan Eva Etzioni (Penyt.). Social Change. New York: Basic Books.
Cordoso, Fernando. 1973. “Associated-Dependent Development: Theoretical and Practical Implications” (hal. 142-176). Dalam Alfred Stephen (Penyt.) Authoritarian Brazil. New Haven, CT: Yale University Press.
Fakih, Mansour. 2001. Sesat Pikir: Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press. 2001. Fay (1996)
Harrison, David. 1988. The Sociology of Modernization and Development. Boston: Unwin Hyman.
Kluckhohn, Florence and Fred Strodtbeck. 1961. Variation in Value Orientation. New York: Row Paterson & Co.
Levy, Marion. 1967. ”Social Patterns (Structures) and Problems of Modernization.” Hal. 189-208 dalam Wilbert Moore dan Robert Cook (penyt.). Readings on Social Change. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. May, dkk., 2001 Moeliono, Anton, Sri Sukesi Adiwimarta, Adi Sunaryo, Hermanu Maulana, Sri Timur Suratman, dkk. (penyt.). 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Diterbitkan atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan oleh Badan Pustaka.
Parsons, Talcott. 1951. The Social System. Clencoe, Illinois: Free Press.
---------------- dan Edward Shils. 1951. Toward a General Theory of Action. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Portes, Alejandro. 1980. “Convergencies between Conflicting Theoretical Perspectives in National Development.” Hal. 220-227 dalam Herbert Blalock (penyt.). Sociological Theory and Research. New York: Free Press. Rex, 1998 Ritzer, George dan Douglas Goodman. 2003. Modern Sociological Theory. New York: Mc Graw Hill.
Rostow, W.W. 1964. “The Takeoff into Self Sustained Growth.” Hal. 285-300 dalam Amitai Etzioni and Eva Etzioni (Penyt.). Social Change. New York: Basic Books.
Santos, T. Dos. 1973. “The Crisis of Development Theory and the Problem of Development in Latin Amerika,” dalam H. Bersntein (penyt.) Underdevelopment and Development. Harmondsworth: Penguin Books. Sayogyo,1980: 34-43 Smith, Anthony Smith (1979;1981)
So, Alvin. 1990. Social Change and Development: Modernization, Dependency, and World System Theories. Newbury Park, California: Sage Publication. Suparlan (2001b) Suparlan, 2001a Suparlan, 2002.
Smith, Anthony Smith (1979;1981) dan Michel Hecter (1975),
Watson (2000)
[1] Makalah ini disajikan kepada para peserta Seminar /Dialog Kebudayaan sehubungan dengan kegiatan Festival Budaya Bumi Khatullistiwa (FBBK) dalam rangka pencanangan Tahun Festival Seni Budaya Nusantara Tahun 2005 dan 2006 diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Barat di Pontianak pada tanggal 24 September 2005. [2] Alqadrie adalah Profesor Sosiologi pada FISIPOL Universitas Tanjungpura (UNTAN), Pontianak. Sejak Agustus 1995 s/d September 2001 ia menjabat Dekan pada fakultas tsb selama dua kali masa jabatan. Pengalaman kerjanya dimulai dari menjadi Guru SD Islamyah Kampung Bangka, Ptk. (1966-1968), Guru SMEP Negeri Ptk. (1968-1972), Guru SMEA Negeri, Ptk. (1972-1974), Asisten Dosen Luar Biasa UNTAN (1969-1974) dan Dosen Tetap UNTAN (1975-sekarang). Pendidikan Sarjana Satu (S1) diperolehnya dalam Jurusan Ilmu Administrasi Negara (IAN) di FISIPOL UNTAN (1974). Sarjana Dua (S2) [M.Sc] tahun 1987 dan Sarjana Tiga (S3) [Ph.D] tahun 1990 diperolehnya masing-masing dalam Jurusan Sosiologi Pertanian dan Pedesaan (Agricultural and Rural Sociology) dan Jurusan Sosiologi Politik dan Etnisitas (Political Sociology and Ethnicity) pada University of Kentucky, Lexington, AS. Tahun 1993 ia memperoleh Penghargaan David Penny Award dari Pemerintah Australia sebagai penulis terbaik tentang Kemiskinan. Tahun 1998 mengikuti Kursus Singkat Angkatan (KSA) VII LEMHANNAS (selama 4½ bulan) di Jakarta. Pada tahun 1999 dianugrahi Bintang Jasa Utama oleh Presiden R.I. Dalam tahun yang sama dianugrahi Bintang Kesetian Dalam Pengabdian 30 tahun dari Pemerintah Daerah Kalbar yang diserahkan oleh Rektor UNTAN. Sejak Juli 2000 s/d 2004 diangkat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Sosial UNTAN. Sejak 1999 dan 2002 diangkat sebagai anggota masing-masing Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) berkedudukan di Bandung dan Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) berkedudukan di Yogyakarta.
|
|||||||||||
|
Copyright 2006, Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, M.Sc.